Jakarta - Penerbitan Perppu Cipta Kerja yang telah dilakukan oleh pemerintah beberapa waktu lalu, dinilai bukanlah sebuah hal yang mendadak dan serta-merta. Pasalnya, kebijakan tersebut sangat mampu untuk menjawab berbagai macam tantangan ekonomi hingga mengisi kekosongan hukum akibat pembekuan UU Cipta Kerja sebelumnya.
NERACA
Menurut Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Dhahana Putra, menyatakan bahwa penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah kebijakan yang mendadak.
Pasalnya, hal tersebut memang sudah sesuai dengan mandat dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan tenggat waktu selama 2 tahun kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan pada UU Cipta Kerja sebelumnya yang dinilai inkonstitusional bersyarat.
“Mendadak sih tidak, karena sesuai dengan peraturan MK bahwa pemerintah diberikan waktu 2 tahun sejak diucapkan oleh Hakim Konstitusi, yakni 25 November 2021,” ujarnya dalam keterangan, Sabtu (7/1).
Lebih lanjut, Dhahana Putra juga menambahkan bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja dipercepat lantaran memang saat ini kondisi Indonesia sedang dalam situasi yang genting dan terancam akibat perekonomian global yang tidak pasti.
“Dalam konteks pertumbuhan ekonomi global, ada kecenderungan yang negatif, banyak berbagai negara mengambil suatu kebijakan. Contohnya, IMF memproyeksikan perkembangan ekonomi global 2,7% ini menjadi suatu persoalan. Amerika sudah memberikan proteksi ekonomi, bahkan China pun terindikasi ada 1%. Indonesia dihadapkan dengan 6% tapi dengan kondisi saat ini akan terancam,” jelasnya.
Dengan tegas dia menyatakan, justru adanya penerbitan Perppu Cipta Kerja yang telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022 itu sangatlah membantu dalam pelaksanaan pertumbuhan ekonomi nasional. “Jadi kehadiran Perppu ini sangat membantu pelaksanaan pertumbuhan ekonomi Indonesia menghadapi pertumbuhan ekonomi global yang tidak menentu,” ujarnya.
Dhahana juga mengutarakan bahwa Presiden memang diberikan kewenangan, sehingga dirinya berhak membuat Perppu sesuai dengan yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22 ayat (1).
Di dalamnya dikatakan, bahwa selama Indonesia memang dalam kondisi yang genting, maka Presiden memiliki kewenangan untuk membuat Perppu sebagai pengganti Undang-Undang yang telah ada untuk bisa sesegera mungkin mengatasi kegentingan tersebut.
“Undang-Undang 11 Tahun 2020 itu kan masih on proses, kita lihat berbagai capaian pun juga signifikan terkait peningkatan investasi maupun juga dari segi stabilitas ekonomi. tentunya pada saat kita dihadapkan pada kondisi yang saat ini, dan pemerintah diberikan waktu 2 tahun untuk menyiapkan suatu regulasi, maka Presiden berdasarkan Pasal 22 ayat (1), diberikan kewenangan untuk menerbitkan Perppu, tapi ada kriterianya sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak serta merta Presiden menerbitkan Perppu tapi juga ada suatu parameternya berdasarkan putusan MK,” ujarnya.
Selain itu, urgensi penerbitan Perppu Cipta Kerja yang disahkan oleh Pemerintah ini juga mampu menjawab adanya kebutuhan hukum hingga kekosongan hukum akibat adanya pembatasan UU Cipta Kerja sebelumnya.
“Dengan tantangan ekonomi global yang tidak menentu, ini akan menjadi soal, pada saat ini pun juga Pemerintah dihadapkan pembatasan pemberlakuan terhadap UU Cipta Kerja selama 2 tahun. Dengan durasi yang sangat pendek ini perlu langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dengan pembuatan Perppu tadi, pertama adalah kebutuhan hukum, kedua ada kekosongan hukum, ketiga ada suatu extraordinary dari pembentukannya,” ujarnya.
Perppu Ciptaker Lecehkan Konstitusi?
Perppu Cipta Kerja makin kontroversi. Penolakan pun bermunculan dari berbagai kalangan. Kekhawatiran menyelimuti para buruh. Tapi sepertinya pemerintah tidak bergeming. DPR yang seharusnya menyuarakan apa yang menjadi aspirasi rakyat sepertinya tidak mau ambil peranan sebagai mestinya.
Menurut Pakar Kebijakan Publik Narasi Institusi Achmad Nur Hidayat, Hal ini memberikan kesan bahwa ada sesuatu yang memaksa pemerintah ngotot meloloskan konten dari Perppu sebagai peralihan dari UU Cipta Kerja yang dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK menurut Achmad, diakali untuk tidak dipenuhi dengan trik penerbitan Perppu Cipta Kerja ini adalah sebuah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Peranan dan marwah Mahkamah Konstitusi menjadi rendah. Hal ini menjadi preseden buruk terhadap upaya-upaya menegakkan konstitusi dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
“Alasan-alasan yang seolah logis digunakan untuk melegitimasi pemberlakuan Perppu ini yang justru inkonsisten dengan narasi-narasi pencapaian yang pernah diglorifikasi seperti pertumbuhan ekonomi dan surplus neraca perdagangan,” ujarnya.
Pertanyaan publik pun semakin besar tentang "Siapa yang sangat berkepentingan dibelakang pemaksaan pemberlakuan Perppu Cipta Kerja ini?" sehingga presiden rela menempuh jalan walaupun dengan mengangkangi konstitusi.
Muatan Perppu Cipta Kerja yang lebih berorientasi kepada kepentingan investor daripada kepentingan kalangan buruh sudah dapat disimpulkan, menurut dia, ada invisible hands dibalik Perppu ini sangat diduga kuat adalah para oligarki yang telah memberikan kontribusi kepada pemerintah, sehingga pemerintah mempunyai hutang politik yang harus dipenuhi sebagai timbal balik.
Bagaimana publik berasumsi ekstrim seperti ini karena melihat berbagai kebijakan yang banyak berorientasi kepada kalangan atas. Seperti kebijakan menurunkan harga BBM hanya untuk BBM Non Subsidi yang sebagian besar dikonsumsi oleh kalangan atas, sementara BBM bersubsidi yang telah dinaikkan dan menyebabkan inflasi tidak disentuh untuk diturunkan padahal jika dilakukan akan mempercepat pemulihan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat kebanyakan.
“Kebijakan-kebijakan yang terkesan hanya men-servis kalangan atas ini tentu saja dirasakan sebagai bentuk ketidakadilan dimata publik,” ujar Achmad.
DPR seharusnya ambil peranan sebagai perwakilan suara rakyat, harus diakui DPR lebih banyak diamnya daripada melaksanakan tugas dan fungsinya menyampaikan aspirasi rakyat.
MPR juga semestinya mengambil peranan diantaranya melalui: menyelenggarakan rapat konsultasi bersama DPR dan DPD tentang apakah ada potensi pemerintah melanggar konstitusi terkair penerbitan Perppu Cipta Kerja. Setelah itu bila dalam rapat konsultasi ada pimpinan lembaga tinggi yang berbeda pendapat maka MPR bisa berinisiatif menyelenggarakan Sidang Istimewa.
Jika peranan lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara ini tidak diperankan sebagaimana mestinya, maka publik akan menganggap bahwa pemerintah dan DPR setali tiga uang melakukan pelanggaran konstitusi. bari/mohar/fba
Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merespon daya beli masyarakat Indonesia yang dinilai mengalami pelemahan. Menurut dia. saat ini terjadi pergeseran…
NERACA Jakarta-Indonesia diakui menjadi pelopor penerbitan Green Sukuk di dunia, yang mendukung proyek infrastruktur berkelanjutan. Terkait dengan hal tersebut, Direktur dan Perwakilan…
Jakarta-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menginvestigasi dugaan manipulasi saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk…
Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merespon daya beli masyarakat Indonesia yang dinilai mengalami pelemahan. Menurut dia. saat ini terjadi pergeseran…
NERACA Jakarta-Indonesia diakui menjadi pelopor penerbitan Green Sukuk di dunia, yang mendukung proyek infrastruktur berkelanjutan. Terkait dengan hal tersebut, Direktur dan Perwakilan…
Jakarta-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menginvestigasi dugaan manipulasi saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk…