Risiko Resesi vs Optimisme Domestik

Kondisi ekonomi Indonesia memang perlu hati-hati menjelang 2023. Pasalnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengingatkan negeri ini perlu mewaspadai lima potensi risiko global yang bisa mengganggu ekonomi dalam negeri. Sebab berbagai potensi tersebut bisa memengaruhi stabilitas dan pemulihan ekonomi dalam negeri.

Pertama, pertumbuhan ekonomi yang menurun (slow growth). Hal ini disebabkan risiko resesi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Kedua, inflasi. Sampai tahun depan, bank sentral memperkirakan tingkat inflasi terus naik dan sangat tinggi. Ini tidak terlepas dari dampak naiknya harga energi dan pangan yang terus merangkak naik.

Ketiga, tingkat suku bunga acuan yang masih akan naik dan tinggi. Apalagi suku bunga acuan The Fed Fund Rate bisa mencapai 5% dan tetap tinggi selama tahun depan. Keempat, risiko global akibat kenaikan nilai US$ yang sangat kuat. Sehingga menyebabkan tekanan depresiasi terhadap nilai tukar mata uang negara lain termasuk Rupiah. Kelima, adanya risiko penarikan dana investor global yang mengalihkan ke aset likuid karena risiko tinggi.

Karena itu, untuk menghadapi lima risiko global tersebut diperlukan penguatan sinergi dan koordinasi kebijakan antara pemerintah dan BI maupun Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Penguatan sinergi ini akan membawa perekonomian Indonesia menuju ketahanan dan kebangkitan pada 2023 sampai 2024.

Tidak hanya itu. Sebelumnya Presiden Jokowi pernah menyinggung antrean 28 negara yang meminta pertolongan IMF untuk dibantu perekonomiannya menjelang terjangan ‘perfect storm’. Dalam konteks ekonomi global, hal itu merujuk badai besar dari tiga hal mengerikan yang menjadi satu, yang dipastikan terjadi tahun depan.

Yang pertama adalah krisis lonjakan inflasi tertinggi yang dialami negara-negara maju dalam 30-40 tahun terakhir. Kedua, ancaman resesi atau penurunan ekonomi dua kuartal berturut-turut atau lebih, disertai gelombang pengangguran tinggi.

Ketiga, ketidakpastian geopolitik global yang menjadi momok setelah agresi Rusia ke Ukraina. Pecahnya perang yang tidak pernah diduga sebelumnya ini, tidak ada yang tahu kapan akan berakhir. Yang sudah bisa dipastikan hanyalah dimensinya meluas, tak hanya memicu melambungnya harga komoditas energi dan pangan.

Bagaimanapun, Indonesia sendiri tentu pastinya terdampak. Meski demikian, ekonomi nasional diyakini masih berpeluang tumbuh 5,3% tahun depan. Proyeksi ini bahkan lebih baik dari tahun ini yang diperkirakan 5,2%, setelah pada kuartal I melaju 5,01%, triwulan II sebesar 5,44%, dan berikutnya diperkirakan 5,2%.

Fakta lainnya, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebagai salah satu yang terbaik di dunia, berkat masih kuatnya konsumsi rumah tangga yang menjadi penyumbang separuh lebih produk domestik bruto (PDB). Daya beli masyarakat yang masih tangguh diindikasikan dari indeks keyakinan konsumen (IKK) yang tercatat di atas 100, tepatnya 117,2, pada September lalu.

Selain itu, investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) menguat, didukung pula likuiditas perbankan yang masih bagus untuk menunjang ekspansi usaha. Ekspor juga melambung, termasuk karena lonjakan harga komoditas energi batu bara, pangan minyak sawit, dan mineral seperti nikel. Ekspor ini juga ditopang laju industri pengolahan yang tetap ekspansif, yang mendorong neraca perdagangan Agustus surplus US$5,76 miliar, melonjak 36% dibandingkan pada bulan sebelumnya.

Cadangan devisa juga di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor, meski sebagian sudah dipakai Bank Indonesia untuk intervensi pasar guna stabilisasi rupiah. Dana asing masuk ke pasar saham juga masih berlanjut hingga kemarin, dengan akumulasi net buy secara year to date Rp 72,25 triliun.

Meski indikator ekonomi makro itu menunjukkan tingkat resiliensi Indonesia relatif tinggi, namun kita harus tetap waspada. Apalagi, sejumlah negara seperti AS terus menaikkan suku bunga acuannya guna memerangi lonjakan inflasi, sehingga dolar cenderung ‘pulang kandang’.

Di sisi lain, tercapainya proyeksi pertumbuhan RI itu juga masih sangat bergantung pada berlanjutnya pengendalian pandemi, respon kebijakan yang tepat, dan percepatan reformasi struktural. Kita harus segera memperbaiki fundamental ekonomi agar makin kokoh menghadapi badai dahsyat dunia yang sudah di depan mata.

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…