Soal Perbedaan Prediksi Harga Mie, Berdampak Kebijakan Pemerintah Tidak Kredibel

 

 

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute

Satu pemerintahan berbeda prediksi terkait harga mie instan. Ini menunjukan tidak konvergen dan komprehensifnya data yang dimiliki pemerintah selama ini. Perlu evaluasi bagaimana dapur kebijakan pemerintah dilakukan selama ini.

Senin (8/8) lalu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan harga mie instan akan naik 3 kali lipat karena dampak perang Rusia-Ukraina yang mengakibatkan naiknya harga gandum.

Menurut Mentan Limpo, terdapat kurang lebih 180 juta ton gandum di Ukraina tidak bisa keluar dari negara tersebut. Sementara Indonesia menjadi salah satu negara yang bergantung pada impor gandum.

Mentan pun menyarankan agar publik lebih waspada jangan makan mi banyak dari gandum, besok harganya 3 kali lipat. Mentan mengakui pendapatnya adalah ekstrem. "maafkan saya, saya bicara ekstrem saja ini," ujar Syahrul dalam webinar ‘Strategi Penerapan GAP Tanaman Pangan Memacu Produksi Guna Antisipasi Krisis Pangan Global’.

Mentan bicara ekstrem tersebut mungkin niatnya adalah untuk mengingatkan publik, agar lebih mempersiapkan diri gelombang kenaikan harga-harga pokok yang akan terjadi bulan-bulan mendatang.

“Kami menuliskan prediksi bahwa akan muncul gelombang kenaikan harga bahan pokok di Indonesia yang mulai terjadi ekstrem pada September 2022 sampai triwulan II-2023.” Peringatan Mentan tersebut sejalan dengan prediksi kami tersebut.

Sebenarnya bukan hanya Mentan yang memberikan peringatan, Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan pun beberapa kali memberikan optimisme negatif terkait ekonomi ke depan.

Presiden Jokowi menceritakan saat bertemu dengan para pemimpin dunia, seperti Sekjen PBB Antonio Guterres, para kepala lembaga internasional IMF, dan negara G7 bahwa tahun 2022 ini kita akan sangat sulit, terus kemudian tahun depan 2023 seperti apa? Tahun depan akan gelap. Ini bukan Indonesia, ini dunia, hati-hati, bukan saja Indonesia, namun dunia.

Namun pada Rabu (10/8), Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan bahwa harga mi instan tidak akan naik 3 kali lipat. Hal itu berbeda dengan pendapat Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo. Ini menunjukan seolah-olah terjadi perang opini terkait harga mi diantara keduanya.

Mendag Zulhas berpendapat bahwa  negara penghasil gandum seperti Australia, Kanada dan Amerika yang dulu sempat mengalami gagal panen, kini sudah bisa panen. "Dengan panen yang sukses di  Australia, Kanada, Amerika, dan sudah dibukanya perdagangan gandum di laut hitam Ukraina, harga mi instan tidak akan naik 3 kali lipat" saat ditemui media nasional di Jakarta, Rabu. Tidak hanya itu, Zulhas berani memprediksi harga gandum secara global akan turun pada September 2022.

Perbedaan tersebut mensinyalkan adanya persoalan data yang tidak konvergen dan tidak komprehensif antar kementerian lembaga. Perbedaan data tersebut berbahaya karena data menentukan dasar pengambilan sebuah kebijakan publik.

Kekacauan data yang dimiliki pemerintah akan berdampak luas, data mampu membuat mayoritas publik menderita dan data juga mampu menindas kelompok minoritas. Hal tersebut seharusnya tidak boleh terjadi di level nasional.

Ketidakaakuratan data dalam jangka waktu yang panjang akan menyebabkan kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah bisa salah arah dan salah sasaran. Padahal ada triliunan rupiah dana APBN yang dihabiskan untuk kebijakan-kebijakan tersebut.

Data soal ketersedian bahan pokok misalnya, saat data tersebut tidak akurat dampaknya bisa terjadi kelaparan dimana-mana. Perbedaan data antara Mentan dan Mendag terkait harga bahan pangan seperti mi instan tersebut seharusnya dikonsolidasi oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Menko perlu menguji akurasi data tersebut dan perlu memperbaiki bagaimana database pemerintahan tersebut disusun.

Rekomendasi

Semua instansi pemerintahan baik itu kementerian maupun lembaga harus menerapkan pertukaran data yang komprehensif dan akurat. Klaim hanya data dari kementerian tertentu saja yang benar akan menjadikan pengelolaan kebijakan negara akan kacau balau.

Persoalan data adalah persoalan yang besar, saat ini terdapat ketiadaan kelembagaan yang bertugas menguji kebenaran data masing-masing KL dan  menjamin terjadi pertukaran data antar instansi pemerintahan secara simultan dan lancar.

Presiden perlu melakukan evaluasi komprehensif bagaimana dapur kebijakan pemerintah dilakukan selama ini. Bila tidak pemerintahan menjadi tidak efektif karena perbedaan pendapat antar KL dan para pembantu Presiden yang benar-benar terlihat pemerintah tidak kredibel dimata publik.

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…