Oleh : Ahmad Febriyanto, Mahasiswa FEB Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Perbincangan hangat terkait kebijakan penggunaan aplikasi my pertamina dalam pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan jenis pertalite dan solar masih menimbulkan banyak pertanyaan pada masyarakat. Walaupun memang permasalahan utama yang selalu dihadapi bangsa Indonesia adalah permasalahan sumber energi utamanya ketersediaan minyak bumi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa minyak bumi merupakan sumber energi tak terbarukan. Sehingga memang diperlukan adanya inovasi-inovasi baru untuk dapat membuat sumber energi terbarukan pengganti minyak bumi. Namun, saat ini faktanya Indonesia masih sangat bergantung dengan minyak bumi. Pada tiap tahunnya terus terjadi pembengkakan pada budget impor bahan bakar minyak mentah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari-Maret 2022 impor minyak mentah tercatat mencapai US$ 1,81 miliar atau Rp 25,9 triliun ( dengan asumsi kurs Rp 14.300 per US$ ). Jumlah angka tersebut naik 21,5% dibandingkan periode yang sama pada 2021 dengan jumlah US$ 1,49 miliar.
Selain ketergantungan impor minyak yang tinggi berpengaruh juga pada subsidi yang membengkak. Dengan pertimbangan ICP US$ 63 per barel, subsidi BBM dan LPG Rp 77,5 triliun, listrik Rp 56,5 triliun, kompensasi BBM Rp 18,5 triliun dan kompensasi solar Rp 18,5 triliun. Akan tetapi, realisasinya ICP berada pada US$ 100 per barel, dengan subsidi BBM dan LPG Rp 149,4 triliun dan subsidi listrik Rp 59,6 triliun. Kemudian kompensasi untuk BBM Rp 213,2 triliun dengan perincian solar Rp 98,5 triliun, pertalite Rp 114,7 triliun dan listrik Rp 21,4 triliun.
Sehingga dengan adanya perubahan dari ICP US$ 63 per barel, subsidi BBM dan kompensasi Rp152,5 triliun menjadi ICP US$ 100 per barel maka subsidi dan kompensasi menjadi Rp 443,6 triliun. Sehingga terdeteksi adanya pembengkakan sebesar Rp 291 triliun yang membebani APBN. Terlepas dari adanya perang antara Rusia dan Ukraina persoalan subsidi dan kenaikan harga bahan bakar dan listrik terus menjadi persoalan pada setiap lima tahun sekali. Akan tetapi, nyatanya masyarakat masih berharap dengan adanya subsidi BBM dan listrik yang terus ditawarkan setiap lima tahun sekali.
Selain persoalan semakin membengkaknya impor minyak mentah Indonesia. Ada juga persoalan yang lebih global dan juga menjadi masalah bagi negara-negara di dunia yaitu semakin berkurangnya cadangan minyak bumi. Memang tidak bisa dimungkiri bahwa minyak bumi merupakan sumber energi tak terbarukan yang tercipta dari fosil yang terkubur selama ribuan tahun. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah haruskah kita menunggu selama ribuan tahun untuk dapat membeli bensin dan menggunakan listrik lagi?
Energi Solusi
Perbincangan serta pembahasan terkait energi alternatif memang sudah lama dan bahkan sudah sama-sama kita pelajari pada tingkat Sekolah Dasar. Negara di seluruh dunia juga sudah meyakini bahwa beralih menuju energi alternatif yang terbarukan merupakan solusi utama untuk menghadapi menipisnya cadangan minyak bumi dunia. Sebenarnya penelitian terkait adanya energi baru atau kemandirian energi sudah ada sejak tahun 1917.
Dengan usulan Alexander Graham Bell terkait konsep energi alternatif yang berasal dari biokonversi bahan organik seperti jagung menjadi etanol yang dimuat dalam Majalah National Geographic. Penemuan tersebut sebenarnya juga menunjukkan bahwa konsepsi terkait adanya energi alternatif bukanlah pemikiran baru lagi, akan tetapi sudah menjadi bentuk penemuan yang harus terus dikembangkan.
Persiapan untuk menghadapi kelangkaan pasokan minyak tampaknya juga sudah dipersiapkan oleh beberapa negara maju. China contohnya, pada tahun 2019 China sudah membangun ribuan panel surya di atas ladang seluas 248 hektare dengan kapasitas 100 MegaWatt. Serta melakukan pemaksimalan pada listrik tenaga angin dengan kapasitas 20.000 MegaWatt. Selain itu ada Islandia yang sejak 1970 sudah beralih pada energi terbarukan. Islandia memanfaatkan panas bumi yang mampu diolah menjadi pemasok listrik utama negara tersebut, bahkan pada saat ini sudah 99% menggunakan energi terbarukan. Dari 2 contoh negara diatas sebenarnya memiliki kesamaan dengan Indonesia, seperti energi matahari yang mampu dimanfaatkan dan energi panas bumi yang juga mampu dikembangkan lagi. Lantas apa hubungannya antara pasokan listrik dan bahan bakar minyak?
Saat ini banyak industri kendaraan yang memproduksi kendaraan listrik. Penggunaan kendaraan listrik tampaknya juga dapat menyelesaikan masalah terkait penggunaan BBM dan pengurangan polusi udara yang ada. Sehingga dengan penggunaan kendaraan listrik harus juga didukung dengan sumber energi listrik yang besar pula. Maka dengan melihat contoh China dan Islandia yang memiliki latar belakang kondisi geologi dan iklim yang sama maka memang Indonesia memiliki potensi yang sama untuk megembangan energi terbarukan tersebut. Akan tetapi, persoalan yang kembali muncul adalah biaya dalam pembangunan dan pengembangan sumber energi tersebut.
Jika berbicara masalah besarnya biaya memang juga menjadi kendala. Akan tetapi, energi lain yang bisa dimanfaatkan adalah pengolahan biodiesel atau bioetanol. Melihat juga bahwa potensi masih banyak peternak yang hanya menggunakan sisa kotoran sebagai pupuk yang sebenarnya dapat dimanfaatkan lebih lanjut menjadi bahan bakar.
Dengan beralih menggunakan sumber energi terbarukan maka beban impor negara terhadap minyak mentah juga akan berkurang, karena dengan mengembangkan potensi alam yang melimpah yang mampu dijadikan sebagai sumber energi pengganti minyak bumi dan batu bara. Sehingga tidak masyarakat juga tidak harus menunggu adanya subsidi dan program kerja lima tahunan ini. Selain itu dengan energi terbarukan maka anak cucu kita juga akan merasakan dampak dari energi tersebut. Sehingga pada tahun 2045 Indonesia memang betul-betul siap dikatakan sebagai negara maju dengan memanfaatkan kekayaan alam sebagai sumber energi potensial.
Oleh: Fajar Dwi Santoso, Pemerhati Sosial dan Kemasyarakatan Penetapan hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) oleh Mahkamah Konstitusi…
Oleh: Cahyo Widjaya, Pengamat Ekonomi Kerakyatan Presiden Prabowo Subianto secara tegas menjadikan Koperasi Merah Putih sebagai salah satu…
Oleh: Syafira Nanda, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Pemerintah terus memperkuat komitmennya dalam membangun fondasi…
Oleh: Fajar Dwi Santoso, Pemerhati Sosial dan Kemasyarakatan Penetapan hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) oleh Mahkamah Konstitusi…
Oleh: Cahyo Widjaya, Pengamat Ekonomi Kerakyatan Presiden Prabowo Subianto secara tegas menjadikan Koperasi Merah Putih sebagai salah satu…
Oleh: Syafira Nanda, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Pemerintah terus memperkuat komitmennya dalam membangun fondasi…