Tarif Listrik Golongan 3.500 VA Naik, Masyarakat Pilih Turun Daya?

Tarif Listrik Golongan 3.500 VA Naik, Masyarakat Pilih Turun Daya? 
NERACA
Jakarta - Pemerintah secara resmi akan menaikkan tarif listrik dengan pelanggan Rumah Tangga R2 dengan daya 3.500 VA hingga 5.500 VA dan R3 dengan daya 6.600 VA ke mulai 1 Juli 2022 tarifnya disesuaikan dari Rp1.444,70 per kWh menjadi Rp1.699,53 per kWh.
Demi menghindari kenaikan tarif tersebut, muncul kabar bahwa masyarakat lebih pilih turun daya. Namun, PT PLN (Persero) menyebut permintaan turun daya dari masyarakat masih relatif kecil. Hal itu seperti disampaikan Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril dalam webinar bertajuk "Keadilan Tarif Dasar Listrik, Perlukah Dilakukan Penyesuaian?" pada Kamis (30/6). 
Bob mengungkapkan sangat minimnya permintaan turun daya dari golongan pelanggan yang tarif listriknya dinaikkan. "Jadi apakah banyak yang turun daya sekarang? Nggak juga. Dalam catatan kami sedikit sekali, (tapi) memang ada yang nanya-nanya bisa turun daya nggak," jelasnya. 
Menurutnya, listrik sudah menjadi kebutuhan, apalagi untuk orang-orang mampu yang memiliki rumah mewah di mana sensitivitas terhadap harga listrik hampir tidak ada. "Turun daya memang bisa, tetapi kalau turun daya jadi jeglek-jeglek kan kenyamanan mereka terhalang juga," tambahnya. 
Pelanggan Pemerintah P2 dengan daya di atas 200 kVA tarifnya disesuaikan dari Rp1.114,74 per kWh menjadi Rp1.522,88 per kWh, dengan kenaikan rekening rata-rata sebesar Rp38,5 juta per bulan dengan daya 3.500 VA per 1 Juli 2022. Bahkan Bob mengatakan tarif listrik rumah tangga Indonesia untuk skala Asia menjadi termasuk dua dari bawah. "Tapi, Pemerintah tentu akan  bersikap adil dan hati-hati. Kenaikan tarif listrik ini meski kecil akan mendapatkan respon beragam dari masyarakat. Untuk yang di-adjustment itu, kita juga masih rendah. Tarif industri itu kita paling kompetitif," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Energy Wacth Mamit Setiawan menyampaikan babwa kebijakan penyesuaian tarif listrik sudah tepat dilakukan di tengah kondisi indikator kenaikan biaya produksi yang sudah memang masuk syarat untuk meng-adjustment tarif listrik. "Selain itu juga sebagai salah satu upaya dari pemerintah dalam melakukan penghematan terhadap beban kompensasi yang harus dibayarkan kepada PLN. Jadi beban pemerintah bisa berkurang dan PLN sendiri bisa sedikit bernapas lega karena beban beban yang harus dibayar terlebih dahulu akhirnya bisa berkurang juga," katanya. 
Jadi, menurut Mamit, langkah ini memang langkah yang cukup tepat meskipun memang masih ada pro kontra karena yang namanya kebijakan itu tidak ada yang sempurna, apapun kebijakan itu pasti akan membuat ramai di publik. "Mudah-mudahan PLN dan juga pemerintah masih tetap bisa konsekuen dan yang pasti tidak boleh ditinggalkan adalah sosialisasi bahwa ini memang akan terus ada ajustmen tergantung kepada indikator-indikator terhadap biaya pokok produksi bahwa ketika memang naik maka akan naik dan ketika turun maka juga akan turun," ujarnya. 
Mamit berharap masyarakat juga tidak perlu panik terutama kepada masyarakat penerima subsidi karena kebijakan ini tidak menyentuh mereka. "Jadi saya harapkan semua bisa berjalan dengan baik dan lancar. Mudah-mudahan yang namanya tarif adjustmen ini bisa dijalankan terus menerus sampai nanti ke depan ketika indikator ekonomi sudah mulai tumbuh, maka sektor industri dan sektor-sektor yang lain atau golongan-golongan yang lain pun bisa membantu pemerintah untuk mengurangi beban kompensasi yang harus dibayar," tukasnya. 
Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai pemerintah dan PLN harus tegas dan jelas terkait data rakyat atau rumah tangga miskin yang berhak dan tak berhak menerima subsidi listrik. "Karena selama ini, banyak data rakyat/keluarga miskin yang beda-beda, seperti BPS, Kemensos, Kemendagri dan lainnya. Data rakyat miskin ini harus jelas dulu, dan siapa yang harus disubsidi. Jangan sampai subsidi energi khususnya listrik justru dinikmati orang tak berhak," tukasnya. 

 

NERACA


Jakarta - Pemerintah secara resmi akan menaikkan tarif listrik dengan pelanggan Rumah Tangga R2 dengan daya 3.500 VA hingga 5.500 VA dan R3 dengan daya 6.600 VA ke mulai 1 Juli 2022 tarifnya disesuaikan dari Rp1.444,70 per kWh menjadi Rp1.699,53 per kWh.

Demi menghindari kenaikan tarif tersebut, muncul kabar bahwa masyarakat lebih pilih turun daya. Namun, PT PLN (Persero) menyebut permintaan turun daya dari masyarakat masih relatif kecil. Hal itu seperti disampaikan Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril dalam webinar bertajuk "Keadilan Tarif Dasar Listrik, Perlukah Dilakukan Penyesuaian?" pada Kamis (30/6). 

Bob mengungkapkan sangat minimnya permintaan turun daya dari golongan pelanggan yang tarif listriknya dinaikkan. "Jadi apakah banyak yang turun daya sekarang? Nggak juga. Dalam catatan kami sedikit sekali, (tapi) memang ada yang nanya-nanya bisa turun daya nggak," jelasnya. 

Menurutnya, listrik sudah menjadi kebutuhan, apalagi untuk orang-orang mampu yang memiliki rumah mewah di mana sensitivitas terhadap harga listrik hampir tidak ada. "Turun daya memang bisa, tetapi kalau turun daya jadi jeglek-jeglek kan kenyamanan mereka terhalang juga," tambahnya. 

Pelanggan Pemerintah P2 dengan daya di atas 200 kVA tarifnya disesuaikan dari Rp1.114,74 per kWh menjadi Rp1.522,88 per kWh, dengan kenaikan rekening rata-rata sebesar Rp38,5 juta per bulan dengan daya 3.500 VA per 1 Juli 2022. Bahkan Bob mengatakan tarif listrik rumah tangga Indonesia untuk skala Asia menjadi termasuk dua dari bawah. "Tapi, Pemerintah tentu akan  bersikap adil dan hati-hati. Kenaikan tarif listrik ini meski kecil akan mendapatkan respon beragam dari masyarakat. Untuk yang di-adjustment itu, kita juga masih rendah. Tarif industri itu kita paling kompetitif," jelasnya.

Sementara itu, Direktur Energy Wacth Mamit Setiawan menyampaikan babwa kebijakan penyesuaian tarif listrik sudah tepat dilakukan di tengah kondisi indikator kenaikan biaya produksi yang sudah memang masuk syarat untuk meng-adjustment tarif listrik. "Selain itu juga sebagai salah satu upaya dari pemerintah dalam melakukan penghematan terhadap beban kompensasi yang harus dibayarkan kepada PLN. Jadi beban pemerintah bisa berkurang dan PLN sendiri bisa sedikit bernapas lega karena beban beban yang harus dibayar terlebih dahulu akhirnya bisa berkurang juga," katanya. 

Jadi, menurut Mamit, langkah ini memang langkah yang cukup tepat meskipun memang masih ada pro kontra karena yang namanya kebijakan itu tidak ada yang sempurna, apapun kebijakan itu pasti akan membuat ramai di publik. "Mudah-mudahan PLN dan juga pemerintah masih tetap bisa konsekuen dan yang pasti tidak boleh ditinggalkan adalah sosialisasi bahwa ini memang akan terus ada ajustmen tergantung kepada indikator-indikator terhadap biaya pokok produksi bahwa ketika memang naik maka akan naik dan ketika turun maka juga akan turun," ujarnya. 

Mamit berharap masyarakat juga tidak perlu panik terutama kepada masyarakat penerima subsidi karena kebijakan ini tidak menyentuh mereka. "Jadi saya harapkan semua bisa berjalan dengan baik dan lancar. Mudah-mudahan yang namanya tarif adjustmen ini bisa dijalankan terus menerus sampai nanti ke depan ketika indikator ekonomi sudah mulai tumbuh, maka sektor industri dan sektor-sektor yang lain atau golongan-golongan yang lain pun bisa membantu pemerintah untuk mengurangi beban kompensasi yang harus dibayar," tukasnya. 

Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai pemerintah dan PLN harus tegas dan jelas terkait data rakyat atau rumah tangga miskin yang berhak dan tak berhak menerima subsidi listrik. "Karena selama ini, banyak data rakyat/keluarga miskin yang beda-beda, seperti BPS, Kemensos, Kemendagri dan lainnya. Data rakyat miskin ini harus jelas dulu, dan siapa yang harus disubsidi. Jangan sampai subsidi energi khususnya listrik justru dinikmati orang tak berhak," tukasnya. 

BERITA TERKAIT

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…