Waspadai Ancaman Inflasi

Fenomena kenaikan harga bahan kebutuhan pokok selama Ramadhan dan Lebaran seperti siklus jarum jam yang berputar secara otomatis. Setiap tahun, sikus itu bekerja. Penyebabnya beragam, bisa semata-mata karena permintaan (demand) melebihi penawaran (supply), bisa pula karena faktor lain, seperti gangguan distribusi dan cuaca.

Pasalnya, jika ekonomi dalam kondisi normal, lonjakan harga bahan kebutuhan pokok selama Ramadhan-Lebaran mungkin dianggap biasa oleh pedagang. Namun, manakala perekonomian sedang berjuang untuk pulih dari krisis akibat pandemi Covid-19, lonjakan harga bahan pangan selama bulan ini dianggap berbahaya. Antara lain dapat meningkatkan laju inflasi secara signifikan.

Itu sebabnya, Bank Indonesia (BI) beserta segenap unsur pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) yang tergabung dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) kini dalam posisi waspada tinggi. Mengapa?

Karena target inflasi 2022 dipatok 3% plus-minus 1%. Meski pada Februari lalu terjadi deflasi 0,02% secara bulanan (mtm), inflasi tahunan (yoy) sudah mencapai 2,06%. Dengan komponen inflasi inti Februari sebesar 0,31% (mtm) dan 2,03% (yoy), dengan inflasi tahun kalender (Januari-April) 0,95%, ada kecenderungan inflasi bergerak naik pada bulan mendatang. Terlebih kondisi roda perekonomian mulai pulih.

Sikap waspada BI dan pemerintah bisa dipahami, mengingat ancaman inflasi saat ini bukan hanya datang dari dalam negeri, tapi juga dunia. Perang Rusia-Ukraina, lonjakan harga minyak dan komoditas, cuaca ekstrem, gangguan rantai logistik, apresiasi dolar AS, dan meningkatnya permintaan seiring mulai pulihnya perekonomian membuat harga pangan di pasar global melesat.

Kita tentu memberikan apresiasi kepada BI dan pemerintah yang all-out menjaga inflasi. Gejolak harga pangan adalah racun bagi perekonomian. Komoditas makanan menyumbang 74,05% terhadap garis kemiskinan. Maka jika harga pangan bergolak, jumlah penduduk miskin bakal membengkak. Upaya pemerintah menahan penambahan jumlah penduduk miskin selama pandemi bisa gagal total.

Patut diketahui, selama era pandemi Covid-19 jumlah penduduk miskin sejatinya menunjukkan tren penurunan. Penduduk miskin per September 2021 berjumlah 26,50 juta (9,71%), turun dibanding September 2020 yang mencapai 27,55 juta (10,19%). Juga turun dibanding Maret 2021 yang berjumlah 27,54 juta (10,14%). Namun, garis kemiskinan naik 2,89% dari Rp 472.525 per kapita per bulan menjadi Rp 486.168.

Bagaimanapun, kenaikan garis kemiskinan merupakan kabar buruk. Sebab semakin tinggi garis kemiskinan, semakin banyak pula orang Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal, selama pandemi, pemerintah sudah menggelontorkan anggaran ratusan triliun rupiah dari APBN untuk membantu masyarakat miskin.

Lihat saja pemerintah tahun ini mengucurkan anggaran Rp 154,76 triliun untuk program perlindungan sosial (perlinsos) dari total anggaran Rp 455,62 triliun untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Anggaran perlinsos digunakan antara lain untuk bansos berupa Program Keluarga Harapan (PKH) dan Sembako, Kartu Prakerja, Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Nah, anggaran perlinsos bisa membengkak lagi jika inflasi membubung yang pada akhirnya akan menguras APBN.

Tidak hanya itu. Indeks belanja masyarakat di setiap pulau mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi di Kalimantan yakni ke level 199,6. Disusul Sumatera di level 178 dan Jawa di level 137. Sementara untuk wilayah Maluku dan Papua di level 145,5 dan Bali-Nusa Tenggara di level 72,9.

Sementara itu dari sisi inflasi April 2022, terjadi peningkatan inflasi 0,95%. Menurut data BPS, peningkatan inflasi ini terdiri dari inflasi volatility food 5,48%, inflasi administered price 4,83% dan inflasi inti 2,6%. Sehingga tingkat inflasi pada tahun kalender tercatat 2,15% secara kuartalan dan 3,47% secara tahunan. "Sehingga inflasi rata-rata April 2022 tercatat 3,47% dan ini masih dalam range APBN, yakni 3% plus minus 1%," ujar Kepala BPS Margo Yuwono, belum lama ini.  

Patut disadari, inflasi tak cuma bisa melipatgandakan jumlah penduduk miskin. Inflasi juga bisa menggerus pertumbuhan ekonomi dan menyeret perekonomian nasional ke jurang resesi. Ekonomi Indonesia yang tengah susah payah bangkit dan tahun ini ditargetkan tumbuh 5,1%, bisa berubah negatif.  Sementara daya beli masyarakat juga belum pulih. Jika itu terjadi, perekonomian nasional bakal menghadapi tekanan ekonomi yang lebih besar.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…