Oligarki vs Pemerintah

Seperti kita ketahui, kebutuhan minyak goreng di dalam negeri kecil dibandingkan total produksi nasional. Konsumen di dalam negeri hanya sekitar sepersepuluh dari total produksi. Dengan sedikit menyisihkan produksi, pasar dalam negeri sudah kebanjiran minyak goreng. Itu jika para pengusaha minyak goreng sadar untuk memenuhi pasar dalam negeri.

Namun masalahnya, mereka masih memburu rente di ceruk pasar domestik yang sudah kecil ini. Keuntungan terus mereka kejar. Selama ada peluang, mengapa tidak dilakukan. Begitu pada umumnya karakter pengusaha bermental rakus. Memiliki kekayaan satu gunung emas tidak akan pernah cukup, akan mencari gunung emas yang lain.

Padahal, jika diasumsikan margin pengusaha minyak sawit 20%, sekalipun minyak goreng dibagikan secara cuma-cuma, mereka masih menikmati keuntungan sebesar 10%. Jelas, keuntungan di bisnis minyak goreng membuat oligarki terus berusaha menghembuskan wacana kerugian yang ditimbulkan akibat pelarangan ekspor CPO dan turunannya.

Isu yang digulirkan adalah jika ekspor CPO dilarang maka pemerintah akan kehilangan devisa yang sangat besar. Ditambah lagi dengan kehilangan ceruk pasar yang direbut Malaysia sebagai pesaing eksportir minyak sawit terbesar kedua dunia setelah Indonesia. Lalu pemerintah juga ditakut-takuti oleh mereka dengan isu rusaknya tanaman kelapa sawit jika panennya tertunda akibat kelebihan pasok. Kelapa sawit yang buahnya tidak segera dipanen akan merusak tanaman itu sendiri. Begitu juga dengan petani sawit yang rusak pendapatannya.

Faktanya memang seperti itu bahwa negara akan kehilangan devisa dari pelarangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng. Namun di atas itu semua ada kepentingan rakyat yang harus diprioritaskan. Minyak goreng termasuk bahan kebutuhan pokok dimana pemerintah wajib menjamin keberadaannya dengan harga yang terjangkau oleh rakyat.

Pelarangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng sekaligus sebagai sinyal bahwa pemerintah tidak boleh kalah oleh oligarki. Drama minyak goreng ini dapat dijadikan momentum oleh pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dan menjaga kewibawaan pemerintah di mata oligarki.

Kita tahu bahwa oligarki bisa jadi tidak tinggal diam. Mereka melawan dengan melakukan kampanye mengenai kerugian yang akan ditimbulkan oleh kebijakan pelarangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng agar pemerintah melunak dan mau mencabut beleid tersebut.

Pemerintah pernah bertekuk lutut saat larangan ekspor batubara dicabut kembali dalam kurun waktu kurang dari dua minggu. Apakah hal yang sama akan terjadi di kebijakan pelarangan ekspor CPO yang sudah berjalan hampir sebulan? Waktu yang akan membuktikan.

Padahal UUD 45 Pasal 33 (3) mengamanatkan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Mestinya perusahaan perkebunan sawit bekerja hanya sebagai kontraktor saja yang dibayar pekerjaannya untuk menghasilkan kelapa sawit, sementara pemilik bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah negara yang dengan kuasa yang ada padanya menjamin tercukupinya kebutuhan masyarakat akan minyak goreng, melakukan ekspor atas kelebihan produksi, menentukan harga, dan menyimpan hasil penjualan ke luar negeri sebagai tambahan devisa.

Kini rakyat harus menanggung ulah oligarki yang membuat minyak goreng langka dan mahal. Mereka terpaksa mengirit pemakaian minyak goreng atau memakainya berulang-ulang. Tingkat kenikmatan terhadap makanan yang digoreng pun turun, sekaligus harus menerima risiko kesehatan karena penggunaan minyak goreng berkali-kali yang melebihi standard kesehatan.

Oligarki memang rakus meraup keuntungan di tengah situasi kenaikan harga energi dunia. Minyak goreng dibuat menjadi langka dan mahal. Seharusnya hal ini tidak terjadi karena ada kewajiban untuk menyisihkan sebagian hasil produksi untuk pasar domestik. Karena itu, pemerintah tetap konsisten dan tegas dengan memperhitungkan kondisi perekonomian nasional ke depan. Semoga.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…