Masalah Lahan Ganjal Swasembada Gula

NERACA

 

Jakarta - Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Ahmad Manggabarani mengatakan tidak akan ada swasembada gula jika hanya tetap mengandalkan luas perkebunan tebu saat ini 450.000 ha. Kendati rendemen gula dinaikkan menjadi 10% dari 7,2%, produksi gula maksimal hanya 4,5 juta ton.

“Target swasembada gula pada 2014 dengan produksi 5,7 juta ton tidak mungkin tercapai jika tidak ada penambahan luas lahan perkebunan tebu sedikitnya 350.000 hektare,” tegas Ahmad di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, intensifikasi dengan meningkatkan rendemen, bongkar ratun seluruh perkebunan tebu, bibit baru tidak cukup untuk swasembada, jika tidak ada penambahan lahan baru sedikitnya 350.000 ha. "Kunci dari swasembada gula yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Swasembada tidak akan tercapai kalau tidak ada perluasan lahan dan meningkatkan tingkat rendemen tebu," ujarnya.

Tambahan Lahan

Karena itu, pemerintah harus mengusahakan adanya tambahan lahan tebu baru minimal 350.000 ha. Tingkat rendemen tebu juga harus meningkat dari rata-rata 7% menjadi 10%. Manggabarani mengharapkan ada anggaran untuk perkebunan tebu untuk stimulan yang diberikan kepada petani agar lahan yang ada tidak beralih fungsi ke komoditas lain.

Dia juga mengkritisi kebijakan Kementerian Pertanian yang tidak memberikan anggaran dalam jumlah cukup untuk sektor perkebunan, seperti karet, gula, kakao, dan kelapa sawit. Padahal, keempat komoditas itu masih terdapat banyak perkebunan rakyat yang dikelola petani. Selain itu, ada pungutan bea keluar ekspor kakao dan kelapa sawit yang seharusnya ada bagian untuk pengembangan komoditas tersebut.

Dia menjelaskan, jika untuk kebutuhan konsumsi langsung sebanyak 2,7 juta ton per tahun, akan mampu mencapai swaembada, tetapi untuk memenuhi kebutuhan industri masih harus diimpor. Padahal, pemerintah menargetkan swasembada gula untuk konsumsi langsung dan industri pada 2014 sebanyak 5,7 juta ton.

Sementara itu anggota DPR, Anthon Sihombing meminta pemerintah fokus pada pencapaian swasembada komoditas pertanian. "Negara ini sudah salah urus. Sistem pertanian sudah tidak menentu lagi arahnya," ujarnya.

Masalah pencapaian target swasembada gula pada 2014 dengan produksi 5,7 juta ton, katanya, sulit terealisasi jika tidak didukung dengan anggaran memadai. Dia menilai Menteri Pertanian kurang berpihak pada masalah swasembada gula karena lebih mementingkan pencapaian swasembada daging sapi. "Menteri Pertanian saya lihat masih kurang mendukung, lebih sreg ke peternakan. Jangan sampai subsidi pemerintah jadi sasaran empuk pengusaha-pengusaha besar," jelasnya.

Kementerian Pertanian mendapat anggaran sebesar 17,8 triliun untuk tahun ini. Dari jumlah itu, Ditjen Perkebunan hanya mendapat jatah Rp1,77 triliun lebih rendah dari anggaran Badan Penelitian dan Pengembangan Kementan Rp1,8 triliun dan Ditjen Peternakan Rp2,6 triliun. "Sekarang gula sudah tidak dipedulikan. Dulu ada kapal khusus mengangkut gula, sekarang tidak ada," ungkapnya.

Selain itu, rumitnya pencapaian target swasembada gula akibat petani beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan seperti kelapa sawit.

Di tempat berbeda, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Abdul Wachid mengungkapkan swasembada gula tidak akan tercapai jika penggunaan varietas pada on farm masih mengandalkan bibit kultur jaringan dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI).

Produksi gula nasional terus menurun karena tidak ada varietas unggul tebu baru yang produksinya menjanjikan. Hingga kini, produksi gula hanya mencapai 2,1 juta ton di lahan tanam seluas 450.000 hektar. Menurut Wachid, importasi bibit merupakan solusi jangka pendek yang dapat mendongkrak produksi panen hingga 4,5 juta ton. Perbaikan mutu rendeman merupakan upaya ideal yang perlu ditempuh pemerintah ketimbang membuka keran impor gula kristal rafinasi

Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir mengakui saat ini Indonesia mengalami kekurangan bibit tebu. Hal ini telah mengakibatkan turunnya aktivitas bongkar ratun atau pengolahan lahan bekas tebu untuk meningkatkan produksi gula. Menurut Gamal, pemerintah memang telah menyepakati upaya pengadaan bibit dari luar negeri. Hanya saja, katanya, proses pengapalan bibit unggul membutuhkan produk hukum agar tahapan-tahapan yang dilewati nantinya tidak berlangsung rumit.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…