Fenomena Ranah Maya Hingga Program Pengungkapan Sukarela

 

Oleh: Ika Hapsari, Asisten Penyuluh Pajak DJP

Tren pada media sosial acapkali menghadirkan fenomena yang mengundang dinamika dalam masyarakat. Interaksi dalam ekosistem ini bahkan mampu mengaktifkan diskursus hingga mempengaruhi proses pengambilan kebijakan publik. Bahkan tak jarang, isu-isu yang memicu perdebatan publik dapat dijadikan pemantik untuk menetapkan beleid yang bersifat transformatif.

Salah satunya adalah proses penetapan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang kini telah disahkan menjadi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebelumnya, sejumlah pokok-pokok RUU KUP yang diusulkan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sempat menjadi konsumsi khalayak, bahkan sebelum pembahasan dimulai. Imbasnya, sejumlah topik sensitif meramaikan lini masa bahkan menjadi sorotan utama. Diantaranya mengenai rencana pemajakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang kebutuhan pokok hingga rencana pengintegrasian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Interpretasi yang keliru tentang hal ini, rawan berubah menjadi mispersepsi yang meliar di masyarakat.

Menjawab keresahan tersebut, panitia kerja (panja) DPR membuka pintu keterlibatan masyarakat dalam proses pengesahan UU HPP. Ketua Komisi XI DPR RI, Dito Ganinduto menyampaikan ini dalam sepak perdana (kick off) UU HPP pada Jumat, 19 November 2021 di Bali. Dalam periode yang singkat di tengah situasi pandemi, DPR melakukan dengar pendapat dengan berbagai kalangan dan perwakilan masyarakat. Asosiasi pengusaha hingga akademisi memberikan masukan pada proses pembahasan yang hasilnya tertuang dalam 9 bab UU HPP.

Hasilnya, telah resmi bahwa barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pendidikan, dan jasa pelayanan sosial mendapatkan fasilitas pembebasan PPN. Pokok pengaturan ini memberikan kepastian hukum atas polemik yang bergulir tentang rencana pemajakan yang akan dikenakan atas Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang semula nonobjek PPN tersebut.

Bersamaan dengan isu fiskal yang menjadi fenomena di jagad virtual tersebut, beberapa pekan kemudian muncul tren baru yang viral di platform media sosial Tiktok. Pamer saldo tabungan pada mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) menggunakan lagu latar “Ganteng review saldonya dong!” menuai jutaan penonton. Tren ini menampilkan sejumlah warganet berusia muda yang menunjukkan saldo ATM bernilai miliaran rupiah. Lantas, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun dengan cekatan menanggapi tren ini melalui konten media sosial yang juga berujung viral di dunia maya.

Setali tiga uang dengan fenomena polemik RUU KUP, tren reviu saldo pun menjadi fokus DJP. Strategi pengawasan berbasis kewilayahan yang menjadi inisiatif strategis DJP tahun ini, digadang-gadang mampu menjaring potensi pajak termasuk dari platform digital. DJP telah mengantongi basis data yang bersumber dari pertukaran data otomatis (AEOI), data Instansi, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lain (ILAP), serta data internal lainnya. Terlebih, implementasi Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang sedianya akan segera diluncurkan resmi dalam 2 tahun mendatang. Upaya ekstra dalam mengamankan penerimaan negara dari sektor Pajak Penghasilan (PPh) dilakukan melalui pendekatan teknologi informasi dan komunikasi. Upaya ini juga telah didukung dari aspek reformasi di bidang peraturan dengan diresmikannya UU HPP.  

Program Pengungkapan Sukarela WP

UU HPP memberikan peluang bagi Wajib Pajak Orang Pribadi untuk mengungkapkan penghasilan yang sebelumnya belum dilaporkan sepenuhnya secara sukarela. Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (PPSWP) ini tertuang dalam pasal 8 Bab V UU HPP. Tujuannya adalah meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan. Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati dalam perhelatan sepak perdana UU HPP mengajak masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas PPSWP ini.

Program ini berlangsung selama 6 bulan yakni sejak 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, baik yang belum maupun sudah mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty) sebelumnya.

Basis harta bersih yang dijadikan dasar pelaporan adalah aset yang diperoleh antara tahun pajak 2016 sampai dengan 2020. Syarat berikutnya adalah harta bersih tersebut masih dimiliki pada tanggal 31 Desember 2020 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2020. Harta bersih berupa nilai harta dikurangi dengan hutang tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diperoleh selama tahun pajak 2020.

Atas tambahan penghasilan tersebut dikenakan PPh yang bersifat final. Tarif final terbagi dalam 3 jenis yakni 12%, 14%, dan 18%. Tarif final 12% dikenakan atas harta bersih yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maupun di luar NKRI yang dialihkan ke NKRI. Ketentuan berikutnya adalah harta diivestasikan pada hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) atau energi terbarukan di dalam negeri dan/atau Surat Berharga Negara (SBN).  Sementara jika tidak diinvestasikan pada sektor tersebut, dasar pengenaan pajak dikenai tarif final 14%. Terakhir, atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam negeri dikenai tarif final 18%.

Wajib Pajak Orang Pribadi yang hendak mengikuti PPSWP diwajibkan menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta dan telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2020. Surat pemberitahuan pengungkapan harta tersebut harus dilampiri sejumlah dokumen, diantaranya bukti pembayaran PPh final, daftar rincian harta bersih, daftar utang, serta pernyataan pengalihan harta yang dialihkan ke dalam negeri maupun diinvestasikan. Ketentuan lebih lanjut mengenai PPSWP akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

PPSWP diharapkan mampu meminimalisasi disparitas yang terjadi antara Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah patuh dengan mereka yang belum. Sementara bagi para miliarder muda, PPSWP dapat menjadi alternatif untuk mengungkapkan bakti dan kontribusi bagi negeri. Efek berganda yang diharapkan selanjutnya adalah meningkatnya kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di tahun pajak mendatang. Hal ini telah dibuktikan pasca periode program amnesti pajak lalu. Pertumbuhan PPh Orang Pribadi yang disetorkan peserta amnesti pajak melonjak drastis dibandingkan nonpeserta amnesti pajak. Demikian pula persentase pertumbuhan kepatuhan pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi peserta amnesti pajak meningkat signifikan dibandingkan rasio kepatuhan nasional.    

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…