NERACA
Jakarta – Peningkatan transaksi keuangan digital yang semakin dipercepat dengan adanya pandemi Covid-19, harus dibarengi dengan kemampuan literasi keuangan yang memadai agar dapat bermanfaat bagi konsumennya.
“Meningkatnya transaksi keuangan digital di Indonesia ini tentunya menjadi angin segar bagi investor karena hal ini berpotensi menarik minat mereka untuk menanamkan modalnya dalam bentuk investasi dana pada perusahaan di Indonesia maupun dalam bentuk perusahaan berbasis teknologi dan komunikasi itu sendiri. Namun konsumen perlu dilengkapi dengan literasi supaya transaksi ini bermanfaat untuk mereka,” terang Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu, sebagaimana dikutip dalam keterangannya, kemarin.
Tanpa literasi keuangan yang memadai tersebut konsumen akan dapat terjerat pinjaman fintech lending dan juga mungkin dapat mengalami kebocoran data pribadi. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2019 menunjukkan tingkat literasi finansial di Indonesia baru mencapai 38% yang menunjukkan konsumen masih belum memiliki pemahaman dan keterampilan memadai dalam mengelola keuanganan, Angka ini kontras jika dibandingkan dengan tingkat inklusi keuangan nasional yang telah mencapai 76% yang mengindikasikan banyaknya masyarakat yang sudah mengakses layanan keuangan digital di Indonesia seperti untuk perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan mikro.
Potensi transaksi keuangan digital di Indonesia menjanjikan dan akan terus meningkat. Berdasarkan data Google, Temasek & Bain 2020, akumulasi nilai pembelian melalui platform digital di Indonesia akan mencapai USD 124 miliar pada tahun 2025.
Thomas menyebutkan, investasi asing yang masuk ke Indonesia sebaiknya tidak dilihat sebagai hal negatif yang dapat mengancam perekonomian domestik. Investasi asing juga memiliki dampak positif karena, tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi secara makro, tetapi juga dapat membuka lapangan kerja dan secara tidak secara langsung mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Lapangan kerja baru juga akan meningkatkan daya beli masyarakat, menambah capital lending yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perusahaan dalam negeri. Upaya perlindungan konsumen juga perlu terus diperkuat untuk mendukung tumbuhnya ekonomi digital. Pemerintah perlu merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena UU ini belum memasukkan ekosistem ekonomi digital di dalamnya.
Kegiatan ekonomi digital yang melibatkan penyedia jasa dan layanan serta konsumen membutuhkan payung hukum terkait perlindungan konsumen untuk meningkatkan kepercayaan konsumen dalam bertransaksi. Payung hukum tersebut juga merupakan instrumen penting yang harus disiapkan pemerintah sebelum menerapkan pajak digital.
NERACA Jakarta - Menteri BUMN Erick Thohir mengapresiasi kinerja PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BSI) yang berhasil…
NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) bekerja sama dengan perbankan nasional dan mitra lainnya menyediakan layanan penukaran…
NERACA Jakarta - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan sebanyak 10…
NERACA Jakarta - Menteri BUMN Erick Thohir mengapresiasi kinerja PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BSI) yang berhasil…
NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) bekerja sama dengan perbankan nasional dan mitra lainnya menyediakan layanan penukaran…
NERACA Jakarta - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan sebanyak 10…