Ekonom: Insentif Fiskal Dorong UMKM Naik Kelas

NERACA

Jakarta - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) membutuhkan insentif fiskal yang dapat mendorong mereka masuk ke dalam rantai nilai global.

Menurut dia, insentif fiskal tersebut juga dibutuhkan di samping kredit untuk membuat UMKM naik kelas. Selain itu, UMKM juga perlu mengembangkan model bisnis yang dapat dikaitkan dengan korporasi besar.

"Skala UMKM kita kebanyakan terlalu kecil jadi tidak bisa bersaing dan akibatnya dia cuma bisa berdagang di dalam saja, tidak menjadi pemasok atau masuk ke rantai pasok global. Jadi saya rasa fiskal lebih berperan dalam memperbaiki UMKM," kata Aviliani dalam FGD daring bertajuk “Pengaturan Inklusi Perbankan” yang dipantau di Jakarta, kemarin (23/9).

Dia mengatakan bahwa sebanyak 60 persen dari total UMKM yang berkontribusi hingga 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia bergerak di sektor perdagangan. Di tengah digitalisasi, UMKM yang berdagang tersebut pun akan saling bersaing dan membanting harga sehingga margin keuntungan semakin kecil. "Dengan 60 persen UMKM bergerak di perdagangan, tidak akan naik kelas, bahkan bisa turun dengan margin yang semakin menurun. Jadi mungkin dari sisi UMKM sendiri membutuhkan kebijakan dari fiskal," ujarnya seperti dikutip Antara. 

Saat ini, insentif fiskal yang paling banyak digunakan oleh UMKM ialah subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR). Menurut Aviliani, penyaluran KUR mestinya diutamakan untuk UMKM sektor pertanian dan industri agar dapat masuk ke rantai nilai global, dan bukan ke UMKM perdagangan.

Sementara itu, terkait penyaluran kredit UMKM yang diwajibkan minimal 20 persen pada akhir Juni 2022 oleh Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23 Tahun 2021, Aviliani mengkhawatirkan dapat memicu kredit macet UMKM.

Menurut dia, sejak 2015 sampai 2019 kredit rata-rata tumbuh 9 persen atau lebih besar dari pertumbuhan UMKM yang berkisar antara 7 sampai 10 persen. Pada 2021 sampai 2024, ia memperkirakan kredit baru bisa bertumbuh sekitar 3 sampai 5 persen karena permintaan masyarakat yang belum kembali normal.

"Jadi artinya di satu sisi kalau kita paksakan perbankan menyalurkan kredit sebesar itu, mungkin akhirnya bisa menjadi kredit macet. Bahkan sekarang data menunjukkan kredit macet UMKM sekitar 4 persen, lebih dari korporasi yang sekitar 3 persen," ucapnya.

Sementara, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menyarankan Bank Indonesia (BI) berfokus memperbaiki anomali suku bunga perbankan yang masih tinggi saat BI telah menurunkan suku bunga acuan BI 7 Day (Reverse) Repo Rate. “PR (pekerjaan rumah) utama BI adalah mengatasi anomali suku bunga. Karena suku bunga ini sangat mengganggu perekonomian kita dimana suku bunga bank yang begitu tinggi,” ujarnya. 

Dengan suku bunga perbankan yang tinggi, menurutnya, bank menjadi lebih memilih menaruh uang di Surat Berharga Negara (SBN) ketimbang menyalurkan kredit, apalagi ke Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang lebih berisiko.

Untuk mendorong penyaluran kredit kepada UMKM, BI sebaiknya tidak mengatur Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) dimana perbankan diwajibkan menyalurkan kredit kepada UMKM minimal 20 persen pada akhir Juni 2020 mendatang.

Menurutnya BI sebaiknya berfokus pada wewenangnya di kebijakan makroprudensial, seperti kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan potensi risiko sistem keuangan.

“Jadi bicara makroprudensial bukan di sini tempatnya, bukan di dalam mengatur penyaluran kredit kepada UMKM, tapi kepada hal-hal yang lebih sesuai dengan perspektif yang seharusnya dikandung di dalam makroprudensial,” imbuhnya.

BI pun bisa menyalurkan instrumen lain, misalnya memudahkan bank dalam menyalurkan kredit kepada UMKM. “BI tentunya dengan niat sangat baik menelurkan kebijakan Peraturan BI Nomor 23 Tahun 2021, tapi sebelumnya kalau kita amati kepada tujuan penyaluran kredit kepada UMKM, BI bisa menggunakan instrumen lain,” ujarnya. Mohar

 

 

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…