Defisit APBN Melebar, Pajak Sembako Disasar

Oleh: Sarwani, Pengamat Kebijakan Publik

Kelak setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) disahkan menjadi UU, setiap telur yang baru saja brojol dari seekor ayam kena pajak.

Pasalnya, RUU ini akan menghapuskan pengecualian pengenaan pajak untuk barang kebutuhan pokok (sembako), yang terdiri dari beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

Bersama dengan sembako, RUU ini juga akan menghapus pengecualian pengenaan pajak untuk sektor pendidikan dan kesehatan.

Masyarakat pun meradang dengan digulirkannya RUU. Dimana moralitas pemerintah? RUU ini dicetuskan pada saat pemerintah memberikan insentif pajak mobil baru nol persen alias pembebasan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang ditanggung pemerintah hingga mencapai 100 persen. Kebutuhan rakyat dipajaki, orang kaya pesta pora bebas pajak.

Pandemi Covid-19 menyebabkan resesi. Mereka yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat menengah bawah. Di dalamnya ada para petani dan peternak rakyat, yang memproduksi barang kebutuhan pokok, dan konsumen kelas menengah bawah yang membutuhkan hasil produksi mereka.

Pemerintah yang mengajukan RUU, termasuk DPR yang menyetujui RUU ini tidak memiliki empati kepada rakyat yang tengah mengalami kesulitan. Padahal merekalah yang selama ini menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Konsumsi rumah tangga menopang sekitar 58 persen Produk Domestik Bruto Negara (PDB) Indonesia.

Selama pandemi, konsumsi rumah tangga mengalami kontraksi sebesar 2,63 persen, menyeret pertumbuhan ekonomi Indonesia ke zona merah dengan mencatatkan minus 2,07 persen, terburuk sejak krisis 1998.

Dari total pengeluaran rumah tangga, sebagian besar dihabiskan untuk pangan. Apalagi untuk masyarakat bawah, porsi pengeluaran untuk pangan bisa mencapai 69 persen. Jika pajak sembako  diberlakukan maka kemampuan membeli masyarakat semakin drop.

Saat pendapatan semakin habis untuk pangan yang harganya naik karena pajak, masyarakat akan mengorbankan kebutuhan lain, yakni pendidikan dan kesehatan. Kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan pun semakin jauh untuk dapat dipenuhi karena biayanya menjadi mahal lantaran ikut dikenakan pajak Akibatnya, kesejahteraan masyarakat menurun.

Pandemi Covid-19 memang menimbulkan kejatuhan drastis pada penerimaan negara, menjadi Rp1.647,7 triliun atau kehilangan Rp312,8 triliun pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Akibatnya, defisit APBN melebar menjadi enam persen dari PDB atau sebesar Rp947,6 triliun.

Pemerintah berusaha untuk menekan defisit ini untuk kembali kepada khittahnya yakni maksimal tiga persen dari PDB paling lambat pada 2023. Berbagai upaya dicoba untuk mencapai target tersebut.

Sampailah pemerintah pada satu kesimpulan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak. Salah satunya adalah dengan mengajukan RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan menyasar sembako yang selama ini dikecualikan untuk dikenakan pajak.

APBN memang tengah megap-megap. Namun di tengah resesi ekonomi saat ini seharusnya pemerintah memikirkan bagaimana memperbaiki perekonomian, bukan bagaimana menyelamatkan keuangan negara dengan meningkatkan penerimaan pajak sebesar-besarnya. Keuangan negara tidak akan kuat jika ekonomi lemah. Tidak bisa berlaku sebaliknya bahwa jika keuangan negara selamat, maka perekonomian aman. Yang terjadi perekonomian justru tambah melemah.

Potensi penerimaan pajak sembako pun tidak akan banyak. Dari sekitar 65 juta rumah tangga dan tarif pajak sembako sekitar 10 persen maka diperkirakan dana yang dapat dikumpulkan sekitar Rp21,1 triliun, atau hanya 1,7 persen dari total penerimaan pajak.

Penerimaan pajak sembako yang tidak begitu signifikan harus dibayar dengan potensi dampak negatifnya yang ditimbulkannya, salah satunya adalah kenaikan inflasi yang diekspektasi. Ekspektasi inflasi terjadi karena perkiraan akan kenaikan harga barang yang dikenakan PPN.

Selain itu, sembako umumnya terkait dengan sektor informal yang tidak tercatat dengan baik sehingga akan mempersulit pengenaan pajaknya. Apalagi dengan kondisi pegawai pajak yang berjumlah sekitar 45.000 maka akan timbul banyak kesulitan.

Melihat lebih banyak mudharatnya maka pemerintah tidak perlu mengenakan pajak terhadap barang kebutuhan pokok. Prinsip menghindari kesulitan lebih diutamakan daripada mengambil sebuah kemaslahatan (dar’ul mafsidi awla min jalbil-masholihi) harus menjadi pijakan etika di setiap kebijakan pemerintah. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…