Krisis Jilid II

 

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Krisis jilid II tengah menggelayuti pelayaran peti kemas. Seperti apa “potongan” krisis ini? Pertama, krisis ini ditandai dengan terjadinya congestion (kemacetan) parah di pelabuhan-pelabuhan utama dunia. Kapal-kapal mengantri, baik di pelabuhan maupun di lokasi labuh jangkar di sekitarnya, menunggu dilayani oleh operator pelabuhan. Ketika tulisan ini diselesaikan, laman kemaritiman Splash247 memberitakan, berdasarkan pantauan automatic identification system yang didapatnya dari eeSea, sebuah jasa maritime intelligence, ada belasan kapal yang antre di pelabuhan Hong Kong, Oakland, Savannah, Seattle dan Vancouver. Kapal-kapal ini merupakan tipe raksasa dengan kemampuan angkut belasan hingga puluhan ribu TEU yang dioperasikan oleh main line operator. Tidak jelas kapan situasi ini akan membaik.

Kedua, penyebabnya adalah kelangkaan peti kemas yang telah berlangsung sejak tahun lalu dan hingga kini pun masih dirasakan. Makanya tepat bila disebut apa yang dihadapi pelayaran kontainer kali ini disebut krisis jilid II. Adapun kelangkaan peti kemas dipicu oleh, seperti yang sudah disampaikan di awal karangan, mengendapnya ribuan peti kemas di berbagai depo-depo kontainer, khususnya di AS.

Mereka mengendap karena kecepatan mengosongkannya alias stripping oleh pekerja gudang amat lambat. Bila ingin peti kemas dikosongkan lebih cepat ada biaya tambahan sekitar AS$300 hingga AS$1,950 per container. Operasional truk pengangkut barang dari gudang menuju consignee juga turun tajam. Ini berarti kontainer disimpan di gudang lebih lama dari biasanya.

Ada juga masalah jalur kereta api yang rusak sementara jalur ini merupakan prasarana vital dalam pergerakan peti kemas. Indonesia jelas terpengaruh dengan krisis kelangkaan peti kemas jilid II ini. Pasalnya, negeri kita merupakan salah satu eksportir Asia, khususnya di Asia Tenggara, yang lumayan besar kiriman barang manufakturnya ke AS dan Eropa. Kendati ekspor ini banyak yang harus singgah terlebih dahulu di pusat-pusat transshipment alias hub seperti di Singapura, Malaysia atau Shanghai sebelum mendarat di AS atau Eropa. Sementara kongesti yang dialami oleh operator MLO di pelabuhan-pelabuhan besar pada gilirannya mempengaruhi jaringan kapal feeder yang mengantarkan muatan kepada mereka.

Sudah menjadi rahasia umum, feeder itu banyak yang wara-wiri dari dan ke pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Yang terberat dari krisis I dan jilid II adalah dampaknya bagi shipper. Mereka dapat dipastikan membayar lebih mahal karena pelayaran peti kemas jelas menaikkan freight-nya ditambah berbagai surcharge. Belakangan, di Tanah Air nasib shipper pelayaran peti kemas bak “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Sistem IT Bea Cukai CIESA mengalami masalah (down) dan terpaksa aktivitas ekspor-impor dilayani manual. Celakanya, operator pelayaran mengenakan surcharge untuk keterlambatan yang diakibatkan down-nya sistem BC. Tragis.

 

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…