KPK: Sektor Swasta Tempati Peringkat Tertinggi Kasus Korupsi

NERACA

Jakarta - Direktur Antikorupsi Badan Usaha KPK Aminudin menyatakan bahwa sektor swasta menempati peringkat tertinggi dalam kasus korupsi di Indonesia yang ditangani oleh KPK.

“Keterlibatan swasta dalam menyumbang tindak pidana korupsi cukup signifikan,” kata Aminudin di seminar dalam jaringan (daring) bertema Pemberantasan Korupsi Sektor Usaha: Praktik Baik dan Tantangannya, dikutip Antara, kemarin.

Aminudin menampilkan data yang menunjukkan jumlah kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK dalam kurun waktu 2004-Mei 2020. Sebanyak 297 kasus korupsi dilakukan oleh sektor swasta, disusul dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh DPR yang menempati peringkat kedua dengan jumlah tindak pidana korupsi sebanyak 257 kasus.

Menurut Aminudin, keterlibatan swasta sebagai pelaku pidana korupsi seringkali diakibatkan oleh kepentingan bisnis mereka ketika berinteraksi dengan para birokrat, terlebih ketika kepentingan mereka terkait dengan perizinan.

Jenis perkara korupsi yang paling sering menjerat sektor swasta adalah jenis perkara suap. Pernyataan tersebut selaras dengan perkara suap yang secara konstan menempati peringkat tertinggi tindak pidana korupsi berdasarkan perkara sejak tahun 2004.

Akumulasi perkara suap, terhitung sejak tahun 2004-2020, berjumlah 739 kasus dengan total perkara korupsi secara keseluruhan adalah sebanyak 1122 kasus. Jenis perkara pengadaan barang/jasa menempati posisi kedua dengan jumlah total sebanyak 236 kasus (terhitung dari tahun 2004-2020).

Oleh karena itu, strategi yang dilakukan oleh KPK untuk mencegah korupsi di kalangan pelaku usaha mencakup perbaikan kebijakan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat.

Adapun yang dimaksud dengan perbaikan kebijakan adalah memperbaiki regulasi yang berlaku, sehingga melahirkan perizinan yang efektif dan bebas korupsi. Solusi ini memiliki kaitan yang erat dengan tingginya kasus suap dalam permasalahan perizinan.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata juga menyatakan hal yang serupa terkait dengan penyebab tingginya kasus korupsi yang dilakukan oleh sektor swasta. Berdasarkan dialog yang telah ia lakukan kepada para pengusaha, suap terkadang dilakukan dengan terpaksa oleh pelaku usaha demi mempercepat proses perizinan.

“Sebetulnya banyak kegiatan dunia usaha yang mereka merasa menjadi korban peras oleh birokrat,” tuturnya menjelaskan.

Kemudian Alex mengatakan 25 persen pelaku tindak pidana korupsi yang ditangani lembaganya berasal dari sektor usaha.

"Dari pengalaman KPK, ternyata sektor usaha para pengusaha maupun badan usaha itu juga sangat rentan terhadap 'fraud', kecurangan. Ada mungkin 25 persen pelaku korupsi yang ditangani KPK itu berasal dari sektor usaha, pengusaha maupun badan usahanya," kata Alex.

"Tidak heran karena sebagian besar perkara korupsi yang ditangani KPK itu kan persoalan suap, suap biasanya 'supplier'-nya itu badan usaha, pengusaha. Kaitannya misalnya untuk mendapatkan perizinan, mendapatkan proyek dari pemerintah dengan memberikan suap," lanjut Alex.

Namun sayangnya, kata dia, penanganan korupsi yang menjerat korporasi belum banyak dilakukan oleh KPK.

"Sayangnya sampai dengan sekarang ini, penanganan korupsi badan usaha itu yang pidana korporasinya itu belum banyak yang dilakukan KPK mungkin kalau hitungan saya belum ada 10 perkara korupsi yang tersangkanya itu korporasinya. Padahal UU Pemberantasan Korupsi itu sudah 20 tahun lebih, KPK keberadaannya sudah lebih dari 16 tahun," tuturnya.

Ia menegaskan bahwa KPK juga berkepentingan untuk menangani korporasi yang terjerat korupsi agar menimbulkan efek jera dan juga memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara.

Di sisi lain, Alex juga mengharapkan kepada pengusaha agar tidak segan-segan melapor kepada KPK jika "diperas", misalnya dalam mengurus perizinan.

"Dari pengalaman kami melakukan diskusi dialog dengan teman-teman pengusaha mereka mengatakan begini sebetulnya kami juga tidak mau menyuap kepada birokrat tetapi dalam praktik kalau tidak ada 'pelicin' istilahnya itu atau suap ternyata juga tidak gampang untuk mendapatkan perizinan, ini yang terjadi," katanya.

Alex mengatakan alasan para pengusaha rentan diperas karena mereka membutuhkan segala proses yang cepat, efisien, dan efektif.

"Sebagaimana filosofi dalam dunia usaha 'time is money' waktu adalah uang. Mereka ingin semuanya itu berjalan dengan cepat, efisien, efektif tetapi di sisi lain birokrasi kita itu masih ada juga yang filosofinya kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah, kalau bisa diperlama kenapa harus dipercepat. Karena apa? itu tadi motivasinya bagaimana agar teman-teman pengusaha atau perusahaan bisa memberikan sesuatu kepada birokrat," ujar Alex. Ant

 

BERITA TERKAIT

UU Perampasan Aset dan BLBI Jadi PR Prabowo-Gibran

Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka harus melanjutkan agenda pemberantasan korupsi yang sudah dicanangkan…

Kementan Gandeng Polri Tingkatkan Ketahanan Pangan

NERACA Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Polri dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan swasembada pangan seperti yang terjadi…

Remotivi: Revisi UU Penyiaran Ancam Kreativitas di Ruang Digital

NERACA Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

UU Perampasan Aset dan BLBI Jadi PR Prabowo-Gibran

Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka harus melanjutkan agenda pemberantasan korupsi yang sudah dicanangkan…

Kementan Gandeng Polri Tingkatkan Ketahanan Pangan

NERACA Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Polri dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan swasembada pangan seperti yang terjadi…

Remotivi: Revisi UU Penyiaran Ancam Kreativitas di Ruang Digital

NERACA Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam…