Apakah PPKM Darurat Efektif?

Di tengah upaya pemerintah mengendalikan laju penularan Covid-19, ada sebagian masyarakat yang terlihat makin sulit dikendalikan dan bahkan ada yang membangkang enggan mematuhi protokol kesehatan dengan baik. Lantas apa yang membuat sebagian masyarakat kurang disiplin mematuhi protokol kesehatan?  

Meski resistensi masyarakat masih bersifat kasuistis, di sejumlah daerah kita tidak menutup mata adanya kasus penolakan sebagian masyarakat terhadap kebijakan PPKM darurat. Di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lain, sebagian masyarakat melakukan penolakan dan perlawanan ketika hendak ditertibkan petugas.

Mereka tidak hanya berteriak-teriak memprotes penetapan kebijakan PPKM Darurat, tetapi juga ada diantara mereka yang berani melemparkan batu ke aparat dan melakukan aksi anarkis lainnya. Intinya ada banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa masyarakat bersikap resistan. Pertama, karena adanya perbedaan penerapan standar PPKM dan bahkan sebagian dirasa masyarakat inkonsisten. Karena itu, hasilnya pun tidak berjalan efektif seperti yang diharapkan.

Di media sosial, sering kita melihat berita tentang pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pejabat dan anggota Satgas Covid-19. Ada pejabat yang menggelar pesta pernikahan, ulang tahun, dan lain sebagainya dan ada pula anggota Satgas Covid-19 yang malah ikut nongkrong di kafe atau tempat-tempat tertentu yang semestinya tidak diperkenankan.

Kedua, berkaitan dengan cara pendekatan yang dikembangkan aparat dalam penegakan protokol kesehatan, dan program PPKM Darurat. Dalam banyak kasus, penerapan protokol kesehatan cenderung dilakukan dengan ancaman sanksi dan penerapan yang lebih banyak memperlakukan masyarakat sebagai terdakwa ketimbang sebagai korban situasi.

Dapat dibayangkan, apa yang terpikir di benak masyarakat ketika orang kecil yang melanggar protokol kesehatan didenda, sementara orang lain yang melanggar tidak diperlakukan sama. Seorang tukang bubur misalnya, yang ketahuan membiarkan 4 orang pembelinya makan di warungnya dilaporkan telah didenda hingga Rp5 juta. Sementara itu, di berbagai hotel dan tempat hiburan lain, terhadap pengunjung yang berjubel tidak diberlakukan sanksi yang sama. Masyarakat merasa pemberlakuan kebijakan PPKM Darurat dalam beberapa kasus bersifat 'tebang pilih' maka jangan heran jika kemudian muncul resistensi.

Ketiga, berkaitan dengan desakan kebutuhan riil sehari-hari yang tidak bisa ditunda. Pemberlakuan kebijakan penyekatan dinilai tidak menyelesaikan dan bukan sebagai jalan keluar yang adil. Lihat saja Instruksi Mendagri No. 15/2021 jelas disebutkan ada kegiatan Esensial dan Kritikal yang dikecualikan aturan PPKM Darurat, namun mengapa aparat (polisi) menutup total pintu keluar tol Semanggi? Harusnya petugas yang berjaga harus bekerja, yaitu selalu memeriksa kelengkapan persyaratan pengemudi yang akan keluar tol Semanggi sesuai dengan Instruksi Mendagri tersebut.  

Kemudian Pemprov DKI Jakarta membuat aturan STRP (surat tanda registrasi pekerja) yang mirip dengan SIKM (surat izin keluar masuk) yang akhirnya mubazir, karena dianggap menambah rantai birokrasi administrasi yang seharusnya tak perlu dilakukan. Pasalnya, apakah STRP mendukung pencegahan penyebaran Covid-19 dalam praktiknya? Bukankah syarat Kartu Vaksin I dan surat tugas kantor harusnya yang diterapkan oleh Pemprov DKI, sebagai upaya mendukung program vaksinasi massal?

Tidak heran jika masyarakat yang sehari-hari hidup dalam penderitaan dan tekanan kebutuhan hidup yang kronis umumnya menjadi korban pertama akibat ulah birokrasi administrasi seperti itu. Mereka yang berada di Hilir merasa menjadi korban dari proses penyekatan jalan dengan dalih Covid-19. Akhirnya mereka lebih memilih jalan pintas, yakni bagaimana tetap bisa mencari nafkah sembari menghindari kemungkinan menjadi korban penyebaran virus Covid-19.  

Nah, apakah pemberlakuan kebijakan PPKM Darurat akan berhasil efektif menurunkan laju penyebaran virus Covid-19, tentu masih harus menunggu waktu. Saat ini, bahkan ada indikasi kebijakan PPKM Darurat ini akan diperpanjang jika memang penurunan kasus covid-19 belum signifikan. Sebab itu, kita berharap masyarakat dan para pelaku usaha 100% mendukung penerapan kebijakan PPKM Darurat walau diakui agak sulit dilakukan dalam implementasinya.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…