PPN Sembako, Sebuah Harapan atau Tamparan?

 

Oleh: Angga Sukma Dhaniswara, Penyuluh Pajak Ahli Pertama Ditjen Pajak *)

 

Beberapa minggu ini masyarakat dibuat resah dengan maraknya pemberitaan mengenai wacana pemerintah untuk mengenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok atau sembako. Meskipun berasal dari sumber informasi yang tidak resmi, namun rencana ini tentu saja mendapatkan respon negatif dari publik yang masih belum bisa bangkit dari hantaman efek pandemi Covid-19. Masyarakat menganggap pemerintah tidak peka terhadap situasi terkini.

Lantas apa sebenarnya yang melatarbelakangi pemerintah untuk mulai menjamah objek yang sangat sensitif ini khususnya bagi kalangan menengah ke bawah?

Sebelum membahas hal tersebut, mari kita cermati peta reformasi fiskal yang sedang dijalankan pemerintah. Struktur pajak kita saat ini secara umum masih sangat bergantung kepada pajak korporasi atau yang lebih sering kita kenal dengan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan). Hal ini sangat berbeda dengan negara maju yang penopang utama penerimaan pajaknya berasal dari Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP).

Ketergantungan pemerintah terhadap pajak korporasi sangat berisiko khususnya ketika terjadi perlambatan ekonomi seperti di kala pandemi. Jika ekonomi melambat, maka laba perusahaan akan mengalami penurunan. Situasi ini akan berimbas pada mengecilnya pajak yang dibayarkan oleh korporasi. Lain halnya jika PPh OP yang mendominasi , penerimaan pajak bisa tetap aman walaupun terjadi guncangan ekonomi., sebab konsumsi masyarakat tidak akan terlalu banyak terpengaruhi.

Selain itu, pajak korporasi sangat rentan dengan praktik penghindaran pajak atau tax avoidance.  Meskipun langkah ini acapkali dimanfaatkan karena bersifat legal atau tidak melanggar hukum, namun hal ini berisiko menggerus basis pajak dan mengurangi penerimaan negara. Celah-celah hukum yang menganga seperti yang dijabarkan oleh Smarak Swain dalam bukunya yang berjudul “Loophole Games: a Treatise on Tax Avoidance” seolah menasbihkan bahwa praktik yang digunakan berbagai perusahaan untuk memindahkan penghasilannya ke negara dengan yurisdiksi tarif pajak rendah merupakan “legal ways” dan sesuatu yang tidak dapat dihindari.

Maka tidak mengherankan jika muncul fenomena “race to the bottom”, di mana setiap negara berlomba-lomba untuk menawarkan tarif PPh Badan yang lebih rendah demi memikat para pengusaha agar mau berinvestasi di negaranya.

Kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Penurunan tarif yang disertai dengan administrasi perpajakan yang baik tentu saja akan membantu pencapaian penerimaan negara. Namun sebaliknya, jika tak mampu diimbangi dengan pengelolaan data yang cermat bisa merusak potensi pencapaian penerimaan pajak dan menimbulkan efek candu untuk terus menurunkan tarif demi menggaet hati para investornya. Hal ini tentu saja berbahaya pada keberlangsungan penerimaan pajak di masa depan.

Singkat kata, penerimaan dari pajak korporasi bukanlah sumber penerimaan yang berkelanjutan. Pemerintah perlu mencari sumber penerimaan lain yang mampu menggantikan peran dari PPh Badan, yaitu melalui optimalisasi PPN.  Pertanyaannya mengapa harus PPN?

Sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri yang menganut prinsip destinasi, PPN lebih bersifat netral. Hal ini karena negara tempat konsumen beradalah yang berhak atas penerimaan PPN tersebut, sehingga  tidak akan terdistori oleh keputusan pengusaha dalam menentukan lokasi untuk berinvestasi.

Selain itu, tarif PPN yang saat ini besarnya 10% atau jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata PPN global yang berada di kisaran 11% - 30% masih membuka ruang untuk melakukan kenaikan tarif. Hal ini mengingat UU PPN kita memberikan diskresi bagi pemerintah untuk menyesuaikan tarif tersebut menjadi paling tinggi sebesar 15%. Langkah ini bisa menjadi udara segar bagi pemerintah untuk memperbesar ruang fiskal di tengah upaya untuk menekan kembali defisit APBN ke level di bawah 3% pada tahun 2023.

Jika kita berkaca pada realisasi defisit APBN di tahun 2020 yang besarnya 6.09% dari PDB, maka pemerintah membutuhkan extra effort melalui pemanfaatan beragam instrumen yang ada untuk dapat mendongkrak penerimaan pajak, sehingga defisit tersebut dapat kembali ditekan sesuai outlook yang ditetapkan.

Salah satunya wacana yang menyeruak adalah kenaikan tarif dan perluasan basis pajak khususnya objek pajak yang dikenakan PPN di mana termasuk di dalamnya produk sembako. Upaya ini mengemuka di tengah upaya pemerintah yang masih struggle dalam optimalisasi penerapan pajak digital dan berjibaku dengan banyaknya pengecualian serta fasilitas yang diberikan pemerintah sebagai insentif PPN .

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa harus sembako? Bukankah masih banyak objek pajak lain yang bisa dioptimalisasi pemungutannya? Bukankah pengenaan pajak sembako justru malah akan menambah kemiskinan?

Jawabnya di momentum dan layering.

Menerapkan PPN sembako di kala pandemi tentu akan menjadi langkah bunuh diri pemerintah di tengah upaya untuk kembali menggairahkan ekonomi dan seolah menjadi tamparan bagi rakyat kecil yang sedang tertatih-tatih untuk menutupi kekurangan biaya hidup. Namun, jika saja kebijakan ini diterapkan di momentum yang tepat, maka tak ayal akan menjadi penawar di saat mandegnya beragam upaya untuk mencapai penerimaan pajak.

Maka yang harus dipastikan adalah kapan sebenarnya kebijakan ini akan diterapkan? Pemerintah harus jeli dan peka untuk membaca setiap kondisi yang ada. Jangan sampai upaya menerapkan PPN sembako merupakan “jalan ninja”  untuk mencapai target yang ada.

Selain itu yang harus benar-benar dijaga adalah terkait perlu adanya layering penerapan PPN Sembako. Dengan skema yang dijalankan saat ini, baik kelompok masyarakat kelas atau maupun kelompok masyarakat menengah ke bawah sama-sama menikmati sembako sebagai suatu bahan pokok yang tidak dikenakan PPN. Padahal jika ditinjau dari sisi kemampuan, tentu saja akan sangat jauh berbeda dan ini sungguh mencederai prinsip keadilan.

Skema layering PPN sembako harus hadir untuk memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat dapat membayar pajak sesuai dengan kemampuannya. Misalnya beras premium seharga Rp 75.000 per kilogram lah yang dikenakan PPN, atau besaran plafon tertentu yang sekiranya hanya golongan yang mampulah benar-benar menanggungnya. Adanya layering ini juga merupakan salah satu bentuk perlindungan pemerintah bagi rakyat kecil berpendapatan rendah agar kebijakan yang diharapkan menjadi tumpuan untuk menambal APBN, tidak berbalik menjadi tamparan karena ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi rakyatnya.

Untuk itu, patut kiranya kita sama-sama memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk merumuskan berbagai kebijakan terbaik bagi keberlangsungan pembangunan. Namun, tentu  kita pun harus mengawasi agar setiap kebijakan yang diambil nanti tidak mencederai hak-hak masyarakat untuk dapat menikmati keadilan pengenaan pajak. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…