Persoalan Akut PPN?

Masyarakat kini bingung jika rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 15%-20% pada 2022 menjadi kenyataan. Ini menunjukkan sinyal indikasi penerimaan dalam negeri khususnya dari PPN tidak optimal, belum lagi yang bersumber dari PPh, pengelolaan sumber daya alam dan aset.

Adapun indikator penyebabnya sudah kita tebak yaitu masalah shortfall pajak. Yaitu sebuah kondisi di mana realisasi penerimaan negara lebih rendah ketimbang dengan target yang ditetapkan APBN. Problem fundamentalnya jelas keseimbangan primer yang merupakan selisih antara total pendapatan di kurangi belanja negara, di luar pembayaran bunga utang, membuat kondisi neraca keuangan menjadi minus.  

Jika keseimbangan primer negatif, pemerintah tetap harus mencari dana pinjaman, baik menarik dana dari lembaga-lembaga keuangan internasional maupun dari pasar obligasi. Jelas, pemerintah menghadapi masalah cashflow sehingga rencana menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 15%-20% pada  2022 pasti menjadi bagian dari cara pemerintah untuk mengatasi shortfall pajak.

Tidak hanya itu. Masih ada jalur lain seperti melakukan intensifikasi, yakni memaksimalkan potensi pajak yang ada, misal menambah objek pajak. Upaya lain adalah ekstensifikasi, yakni memperluas basis subjek pajak. Namun, menaikkan tarif PPN menjadi 15% merupakan pilihan kebijakan yang tepat? Sebagai diskursus soal UU PPN dinyatakan bahwa tarif PPN dapat dinaikkan setinggi-tingginya 15% dan serendah-serendahnya 5%.

PPN sesungguhnya adalah pajak atas konsumsi yang menganut sistem kredit pajak. PPN dipungut pada saat terjadi pengadaan barang dan jasa, biasa disebut pajak masukan (input). Juga dipungut pada saat penjualan barang dan jasa, biasa disebut sebagai pajak keluaran (output). Pajak masukan dapat dikreditkan terhadap pajak keluarannya.

Bila tarif PPN naik menjadi 15%, pertanyaannya, menjadi beban siapa akibat kenaikan tersebut? Jawabannya akan menjadi beban konsumen. Lalu siapa konsumen antara? Mereka adalah industri dan pedagang atau dunia usaha. Sedangkan konsumen akhir pasti masyarakat sebagai pemakai barang dan jasa yang di produksi dan diperdagangkan di pasar.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa dunia usaha seringkali mempermasalahkan PPN? Jawabannya, selain tarifnya dinilai ketinggian, juga karena proses restitusi tidak bisa cepat diselesaikan. Bagi industri dan kalangan pengusaha, beban itu dirasakan berat karena pada waktu belanja barang dan jasa untuk diproses sudah lebih dahulu dipungut PPN masukan. Sementara itu, barang dan jasa tersebut masih akan diproses lebih lanjut menjadi barang jadi sebagai output, yang kemudian baru akan dijual.

Selain rencana kenaikan PPN secara umum, masyarakat saat ini juga bingung terhadap rencana pengenaan PPN atas bahan pokok kehidupan (Sembako). Ketua Pengurus Harian Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi kepada media (10/6) menilai, wacana pengenaan PPN pada sembako sebagai wacana kebijakan yang tidak manusiawi, apalagi di tengah pandemi seperti saat ini di mana daya beli masyarakat sedang turun drastis.

Seperti diketahui, Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang kebutuhan pokok atau sembako yang penting bagi kebutuhan rakyat. Ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPN barang kebutuhan pokok tersebut. 

Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12%. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5%, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN 1%. Kita tunggu putusan DPR.

BERITA TERKAIT

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…