Skema Dana Bergulir untuk Dorong Perluasan Energi Surya

 

 

Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti BKF Kemenkeu *)

 

Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa pemerintah telah meratifikasi Kesepakatan Paris untuk terus menjaga temperatur global tidak melebihi 20 C sekaligus mengupayakan menjadi 1,50 C. Komitmen Kesepakatan Paris tersebut kemudian dilanjutkan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dalam kerangka Nationally Determined Contribution (NDC) yang menyebutkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dengan pendanaan domestik serta 41% jika ada penambahan dana internasional di tahun 2030. Sektor energi sendiri menyumbang target komitmen penurunan emisi GRK sebesar 314-398 juta ton CO2 di 2030, masih lebih rendah dibandingkan kontribusi sektor kehutanan yang menyentuh angka 497-650 juta ton CO2.

Namun demikian, perlu dipahami bahwa sektor berbasis lahan justru harus semakin dihemat pemanfaatannya, sementara sektor energi akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kompleksitas peradaban masyarakat. Artinya memang shifting beban sektor berbasis lahan menuju sektor energi ke depannya adalah sebuah keniscayaan. Dari target 314-398 juta ton CO2 itu sendiri kemudian dibagi menjadi beberapa sub sektor energi diantaranya: EBT sekitar 170,42 juta ton CO2, energi efisiensi mencapai 96,33 juta ton CO2, energi bersih sekitar 31,80 juta ton CO2, fuel switching sebesar 10,02 juta ton CO2 dan post mining reclamation sebesar 5,46 juta ton CO2.

Komitmen pemerintah terkait NDC ini tentu sinergi dengan beberapa kebijakan lainnya yang diamanatkan di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dalam KEN disebutkan mandat bauran energi primer di 2025 yang terdiri dari sumber energi gas (22%), EBT (23%), migas (25%) dan batubara (30%). Sementara dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sendiri, pemerintah mempunyai target untuk pengembangan beberapa jenis energi bersih khususnya energi surya sebesar 6,5 GW hingga 2025. Jika dibandingkan jenis EBT lainnya, target tersebut lebih tinggi dibandingkan target PLTB, PLTBm, PLTM/H serta hanya kalah dibandingkan target PLTA dan PLTP.  

Mengapa penulis sengaja tertarik untuk mengulas potensi energi surya? Dibandingkan sumebr energi bersih lainnya, energi surya adalah sumber energi bersih yang sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat bahkan di level paling bawah. Pemanfaatan energi surya bahkan sudah berkembang turun temurun seiring perkembangan jaman, budaya dan tradisi. Ketika sekarang upaya pemanfaatan energi surya tersebut lebih dikemas dalam model panel surya, seharusnya penerimaan masyarakat juga lebih mudah misalnya dibandingkan sumber-sumber energi bersih lainnya yang masyarakat sendiri mungkin masih awan dan tidak terlalu mengenal manfaatnya.

Teknis Pemeliharaan

Sayangnya, beberapa isu masih menjadi kendala utama upaya pengembangan pemanfaatan energi surya di Indonesia. Permasalahan utama tentu terkait dengan mahalnya investasi yang dibutuhkan dalam pemasangan panel surya khususnya di level rumah tangga. Problem tak kalah peliknya lebih terkait dengan isu teknis pemeliharaan baterai dan juga perangkat lainnya. Tak heran jika progress pengembangan energi surya di Indonesi boleh dikatakan masih jauh dari apa yang dicita-citakan meski progressnya menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Beberapa insentif sudah dicoba untuk dihadirkan namun pasar sendiri masih merespon secara lambat. Temuan IEA di tahun 2011 justru menyebutkan bahwa pasar masih membutuhkan stimulus lainnya dalam bentuk dukungan pembiayaan bersuku bunga rendah. Dan ini juga menjadi spirit utama PP Nomor 70 Tahun 2008 tentang Konservasi Energi yang menyebutkan pentingnya dukungan pembiayaan bersuku bunga rendah untuk proyek efisiensi energi.

Bagaimana menciptakan mekanisme pembiayaan suku bunga rendah bagi proyek energi efisiensi tentu membutuhkan peran serta aktif dari pemerintah melalui beberapa opsi baik skema subsidi bunga maupun dana bergulir. Pilihan atas opsi subsidi bunga atau melalui dana bergulir tentu memberikan implikasi dan konsekuensi yang berbeda khususnya jika dikaitkan beban pembiayaan APBN. Jika pemerintah memutuskan mengambil opsi subsidi bunga, maka skim tersebut akan menggunakan subsidi yang disediakan pemerintah untuk menutup selisih antara bunga yang berada di pasar dengan tingkat bunga yang diharapkan pemerintah.

Sebaliknya jika pemerintah mengambil opsi dana bergulir, maka besaran suku bunga pasar dapat ditekan melalui penurunan Harga Pokok Dasar Kredit (HPDK) yang diterima oleh bank penyalur. Penurunan HKPD inilah yang nantinya mampu menjadi dasar penurunan tingkat suku bunga yang akhirnya harus dibayarkan oleh konsumen. Jadi tedapat perbedaan yang kunci diantara skim subsidi bunga dan dana bergulir. Misalnya suku bunga yang ada di pasar sekitar 13% dan pemerintah bermaksud untuk menurunkan level tersebut hingga 8%, maka pemerintah harus membayar subsidi bunga 5% dengan HKPD yang tetap. Analisis berbeda jika menggunakan dana bergulir karena pemerintah akan menurunkan HKPD ke level minimal dengan cara menyiapkan dana awal dari pemerintah sehingga suku bunga di level konsumen akhir sama mencapai 8%.

Opsi mana yang seharusnya diambil oleh pemerintah? Dengan subsidi bunga maka pemerintah akan mencatatkan di akun belanja subsidi bunga dalam APBN dan akan dianggap menjadi sunk cost yang hilang dalam aktivitas ekonomi karena dimanfaatkan sebagai penambal selisih bunga. Dana bergulir akan dicatatkan di dalam akun pembiayaan APBN serta menjadi dana yang berkelanjutan tidak hilang dalam aktivitas ekonomi. Fakta ini jelas memberikan panduan bahwa pemerintah lebih baik mengambil opsi dana bergulir yang nantinya dilewatkan melalui mitra bank penyalur dalam pendistribusian kreditnya.

Untuk lembaga pengelola, pemerintah dapat memilih beberapa lembaga pembiayaan milik pemerintah seperti PT SMI dan PIP ataupun jenis lainnya yang memang memenuhi persyaratan untuk mengeola dana bergulir ini. Dana dari lembaga pembiayaan pemerintah ini kemudian di-chanelling kan dengan beberapa lembaga penyalur khususnya perbankan untuk menjadi mitra yang menyiapkan kredit efiesiensi energi pemasangan panel surya. Bagaimana cara memastikan bahwa kredit yang diambil akan dimanfaatkan dengan benar untuk pemasangan panel surya sehingga terjadi efisiensi energi yang dikonsumsi? Utamanya tentu dibutuhkan model bisnis yang mudah dan jelas indikator kinerjanya. Kemudian dipastikan juga bekerjanya reward and punishement barang siapa yang memanfaatkan dana bergulir ini bukan untuk kepentingan efisiensi energi panel surya, maka bank penyalur boleh mengubah terms condition dari suku bunga spesial menjadi suku bunga komesial. *)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…