Benci Produk Asing, Mabuk Barang Impor

Oleh: Sarwani, Pengamat Kebijakan Publik

Seruan Presiden Joko Widodo untuk mencintai produk asli Indonesia dan membenci atau tak menyukai produk dari negara asing bergaung luas tidak hanya di seluruh Nusantara, tapi juga hingga ke level internasional. Pernyataan itu pun tidak sekali didengungkan. Setidaknya dua kali dikatakan dalam forum resmi yakni saat memberikan sambutan dalam rapat kerja Kementerian Peradagangan dan saat membuka Rapat Kerja Nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).

Forum tempat Jokowi menyampaikan seruanpun sangat pas, yakni Kementerian Perdagangan yang memiliki wewenang mengatur perdagangan domestik maupun internasional. Perkataan seorang presiden apalagi disampaikan dalam forum resmi kementerian akan menjadi acuan utama dalam menyusun kebijakan perdagangan ke depan.

Ditambah lagi ajakan untuk  mencintai produk asli Indonesia dan membenci produk asing juga disampaikan di forum HIPMI, satu organisasi yang berisi para pelaku bisnis yang memiliki pengaruh kuat dalam masalah perdagangan di Tanah Air.

Kementerian Perdagangan dan HIPMI merupakan ujung tombak untuk meningkatkan penyerapan produk dalam negeri melalui kebijakan yang disusun pemerintah maupun perdagangan riil oleh para pelaku usaha.

Tentu tidak berlebihan jika pelaku usaha dan industri lokal yang selama ini memasok kebutuhan masyarakat di dalam negeri melalui produksi asli Indonesia sumringah dengan seruan presiden tersebut. Barang mereka akan menjadi tuan di negeri sendiri.

Sinyal yang sama ditangkap oleh dunia internasional yang mengartikan seruan Jokowi tersebut sebagai satu langkah untuk membatasi masuknya produk luar ke dalam negeri yang dilakukan dengan cara predatory pricing dan mendorong penggunaan produk lokal agar ekonomi terdorong naik dengan target pertumbuhan pada tahun ini sebesar lima persen.

Jokowi pun menegaskan agar kecintaan terhadap produk dalam negeri itu harus dimulai dari pemerintah dan BUMN. Di samping itu, pengusaha Indonesia juga diminta untuk memanfaatkan secara optimal pasar dalam negeri yang berjumlah 270 juta jiwa dengan tingkat daya beli yang sangat besar untuk mendongkrak perekonomian Indonesia.

Seruan Jokowi secara cepat justru direspon oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang menegaskan pentingnya penggunaan produk dalam negeri agar tidak semuanya pakai produk asing.

Dia menginginkan agar alat yang digunakan Badan Meteorologi, Klimatalogi, dan Geofisika (BMKG) harus buatan dalam negeri. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diminta untuk merancang alat pendeteksi sekaligus mengurangi impor. Apalagi 70 persen peralatan yang digunakan oleh BMKG selama ini merupakan impor.

Sayangnya, tak berselang lama dari seruan Jokowi agar membenci produk asing, pemerintah mengumumkan akan mengimpor beras, garam, dan gula. Apa yang dinyatakan oleh Jokowi bertentangan dengan prakteknya, paradoks. Hal ini yang membuat rakyat bingung.

Seruan membenci produk asing disampaikan, namun pemerintah masih membuka keran impor sejumlah komoditas yang bisa diproduksi dalam negeri. Apalagi industri dalam negeri tidak didukung dan dilindungi.

Seharusnya pernyataan Jokowi yang mengajak masyarakat agar membenci produk luar negeri diikuti dengan kebijakan menutup keran impor dan sejumlah kebijakan strategis. Pemerintah harus mengurangi ketergantungan terhadap komoditas impor dan mendorong sektor-sektor yang bisa dikelola sendiri.

Untuk itu pemerintah harus membuat kebijakan politik yang memihak sektor produksi dalam negeri, memberikan bantuan berupa dana yang tidak kecil karena terdapat sejumlah budidaya yang harus didorong, dan membantu memasarkan produk lokal.

Selama ini pemerintah masih memihak kepada produk impor. Pemerintah kerap melakukan tindakan yang instan, bahkan terhadap sejumlah komoditas yang bisa diproduksi dalam negeri seperti, beras, gula, garam, hingga cangkul yang tidak membutuhkan teknologi canggih dan kompetensi tinggi.

Garam, misalnya, para petambak garam Indonesia telah mampu membuat garam berkualitas tinggi untuk kebutuhan industri. Bahkan pada saat musim hujan, mereka bisa memproduksi garam dengan jumlah ratusan ton.

Seharusnya pemerintah membangun kekuatan petambak garam nasional supaya Indonesia berdaulat. Namun fakta menunjukkan sebaliknya, pemerintah Indonesia mengambil jalan pintas melakukan impor daripada membangun kekuatan garam nasional dalam jangka panjang.

Melihat paradoks tersebut, seruan membenci produk asing tidak akan efektif diikuti masyarakat luas selama pemerintah masih mabuk produk impor. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…