Menaati Pajak

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi

Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo

 

Suap pajak kembali terjadi dan terbongkar di awal Maret 2021 yang kemudian menjadi Gayus jilid II. Terkait ini Menkeu Sri Mulyani menegaskan bahwa kasus ini secara tidak langsung menunjukan adanya pengkhianatan terhadap niatan memacu perolehan pajak demi penerimaan negara untuk mendukung pendanaan pembangunan. Selain itu, realitas juga membenarkan pasokan pajak cenderung tidak pernah berhasil mencapai target yang ditetapkan sehingga harapan terhadap kemandirian pembangunan gagal tercapai karena sisanya harus ditutup dengan utang luar negeri. Oleh karena itu, culas kasus suap pajak yang diduga melibatkan oknum di jajaran Direktorat Jenderal Pajak atau DJP menarik dikaji, tidak hanya melukai semangat kepatuhan wajib pajak tetapi juga mencederai rasa keadilan di masa pandemi.

Perpajakan pada tahun 2020 kemarin juga terdampak pandemi sehingga realisasi hanya Rp.1.070 triliun sehingga hanya bisa mencapai 89,3% dari target APBN 2020 (diubah lewat Perpres 72/2020 menjadi Rp.1.198,8 triliun). Artinya, penerimaan pajak di tahun 2020 berkurang 19,7% dibanding 2019. Pencapaian ini dirasa lebih baik karena prediksi sebelumnya terkontraksi 21%. Situasinya semakin runyam ketika terbersit berita culas suap pajak dengan kerugian mencapai miliaran rupiah. Jika dicermati sepertinya suap pajak cenderung akan terus berulang selama ada kesempatan dibalik niat ketaatan para wajib pajak.

Betapa tidak, apa yang terjadi dengan Gayus beberapa waktu lalu juga memberikan gambaran adanya celah untuk menyiasati pajak, bukannya justru menaati pajak. Oleh karena itu, kasus culas suap pajak yang kemudian disebut Gayus jilid II bisa jadi akan kembali terulang dan terulang di lain kesempatan.

Candu culas suap pajak menjadi preseden buruk terhadap niat ketaatan wajib pajak dan di sisi lain memberi dampak negatif terhadap kepercayaan investor. Jadi, kongkalikong di balik culas suap pajak harus dibongkar secara tuntas sebab jika tidak maka ancaman culas suap pajak akan berdampak sistemik terhadap penerimaan negara. Hal ini menjadi penting jika dikaitkan dengan semakin sulitnya merealisasikan pencapaian target pajak setiap tahunnya. Jika dicermati sejatinya kegagalan penerimaan pajak di tahun 2020 lalu bisa terlihat dari penerimaan perbulannya sebab sampai Oktober 2020 lalu setoran pajak Rp.826,94 triliun atau 68,98% dari target Rp.1.198,8 triliun. Hal ini melambat 18% dibanding tahun 2019 yaitu Rp.1.018,44 triliun. Upaya mengejar kekurangan Rp.371,88 triliun gagal terutama dikaitkan pandemi yang memicu resesi pasca pertumbuhan minus.

Fakta ini menjadi koreksi bagi penetapan target penerimaan perpajakan tahun 2021. Di sisi lain meski tekor tetapi APBN 2021 ambisius dengan penerimaan pajak di 2021 naik 12,9% yaitu Rp.1.229,6 triliun atau naik Rp.159,6 triliun dari realisasi pajak tahun 2020 yaitu Rp.1.070 triliun. Ambisius tentu wajar meski tetap harus realistis apalagi ada culas suap pajak yang mencederasi etos ketaatan wajib pajak.

Lesunya penerimaan pajak tidak hanya kali ini saja terjadi tetapi sejak tahun 2015 hanya 81,5% dari target Rp.1.055,61 triliun. Meski menembus Rp.1.000 triliun yang pertama tetapi pencapaian masih di bawah target sehingga pertumbuhan penerimaan pajak 2015 sebesar 7,15% atau lebih tinggi dari 2014 yaitu 6,92%. Pada tahun 2016 penerimaan pajak Rp.1.283,5 triliun atau lebih rendah dari target APBN-P 2016 Rp.1.539,16 triliun. Tahun 2017 jumlah pajak Rp.1.339,8 triliun (91% dari target APBN-P 2017 Rp.1.472,7 triliun). Pada tahun 2018 menjadi Rp.1.315,9 triliun (92% target APBN 2018 Rp.1.424 triliun) sehingga shortfall yang tersisa Rp.108,1 triliun. Sejatinya pertumbuhan ini yang terbesar sejak 2012 dan rasio pajak di tahun 2018 menjadi 11,5% dari PDB (naik 0,8% dari tahun 2017). Pada tahun 2019 juga gagal target (Rp.1.332,1 triliun atau 84,4% dari target Rp.1.577,56 triliun). Jadi pertumbuhannya mencapai 1,4% dibanding tahun 2018.

Fakta tersebut menjadi runyam ketika semangat memacu penerimaan pajak dan juga niat taat pajak para wajib pajak justru dibarengi perilaku culas suap pajak yang akhirnya bisa mereduksi penerimaan negara dan memunculkan kasus Gayus jilid II. Oleh karena itu, besar harapan agar ke depan tidak terjadi edisi Gayus jilid III dan tentu ini membutuhkan komitmen dari semua aparat perpajakan, baik di pusat atau di daerah.

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…