Penting Mana, Akuisisi KCI atau Integrasi?

Oleh: Deddy Herlambang, Direktur Eksekutif INSTRAN

Pada 12 Januari 2020, SPKA (Serikat Pekerja Kereta Api) mengeluarkan rilis intisarinyanya adalah salah satu keputusan dan hasil dari agenda tersebut adalah merekomendasikan kepada pihak-pihak terkait dan Manajemen PT KAI (PT Kereta Api Indonesia (Persero)) untuk menolak Aksi Korporasi PT MRT Jakarta yang akan mengakuisisi 51% Saham PT KCI dari PT KAI. SPKA keberatan bila PT KCI (d/h PT KCJ) yang telah dibangun bersusah payah sebagai anak perusahaan KAI sejak tahun 2009 dan berhasil melayani yang baik lalu dibeli saham mayoritas oleh MRTJ.

Kini KCI mau diakusisi saham mayoritas oleh PT MRTJ yang masih perusahaan baru dan aset masih minim bila dibandingkan PTKAI. Di mana-mana yang dapat membeli saham mayoritas adalah perusahaan yang sehat dan lebih besar asetnya daripada aset perusahaan yang akan dibelinya.

Isu akuisisi saham KCI oleh MRTJ adalah sebagai tindak lanjut dari rapat terbatas (ratas) Presiden bersama Gubernur DKI, Jawa Barat dan Banten pada tanggal 8 Januari 2019. Dikutip dari Kompas 9 Januari 2019, secara umum disimpulkan bahwa pengelolaan transportasi terpadu (integrasi) Jabodetabek akan dilakukan terpusat. Rencana itu pun disepakati oleh Gubernur DKI, Banten, dan Jabar. Arahan presiden saat itu ”Kami ingin ada penyederhanaan dalam manajemen yang ada sehingga semakin gampang dimulai, dikerjakan, dan tidak saling dilempar antar institusi satu dengan lainnya,” ujar Presiden menyoroti rencana realisasi pembangunan berorientasi transit (transit oriented development/TOD). Secara terpisahpun Kepala Staf Presiden Moeldoko, menjelaskan, kemungkinan pemerintah tidak membuat badan atau lembaga baru. Sebab saat ini sudah ada Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) yang bisa dioptimalkan peranannya.

Sebenarnya dalam kutipan di atas, presiden telah mengarahkan adanya “penyederhanaan dalam manajemen yang ada”, artinya membuat penyederhanaan manajemen yang sudah ada jadi tidak perlu membuat hal-hal yang baru termasuk membuat korporasi/ lembaga baru. Memang ratas tersebut bukan produk hukum, namun memungkinkan membuat terobosan baru yang penting adalah penyederhanaan agar mudah dan cepat untuk dieksekusi. 

Dalam ratas tersebut ada 2 pilihan, hal inipun sebagai “permisalan” yakni memberikan saham mayoritas di PT KCI kepada Pemprov DKI Jakarta “atau” dengan membentuk joint venture antara PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan Pemprov DKI Jakarta mengenai pengelolaan stasiun. Sebenarnya telah dipilih dengan joint venture (JV) antara MRTJ dan KCI dengan membentuk PT Multimoda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MITJ). Namun akhirnya Pemprov DKI melalui MRTJ umumkan akan akusisi saham mayoritas KAI di KCI sebesar 51%. Kenyataan ini, artinya Pemprov DKI mau semuanya, dua-duanya pilihan diambil, mau saham mayoritas KCI dan mau JV.

Belum ada kajian yang menyatakan dengan akusisi tersebut pasti ada peningkatan shifting ke angkutan umum atau bakal ada perbaikan pelayanan. Apakah ada jaminan setelah akuisisi saham KCI akan ada penambahan penumpang dari 1 juta per hari, menjadi 2 - 4 juta per hari? apakah ada perbaikan pelayanan AC KRL selalu dingin? perjalanan KRL akan selalu tepat waktu?, ada pergantian sarana/prasarana KRL? dan lain-lain. Kita masih belum paham maksud dari pembelian saham mayoritas KCI tersebut untuk perbaikan layanan KRL commuter line (CL) atau untuk kepentingan yang lain.

Justru yang kita takutkan adalah kapitalisasi pelayanan transportasi publik. Biaya-biaya yang besar untuk pembelian saham dari hutang Pemprov DKI dari PT SMI sebesar 1,7 triliiun itu bahkan lebih akan dikembalikan kepada konsumen sebagai pengguna KRL menjadi kenaikan tarif CL atau kenaikan tarif lain non fare box seperti tarif sewa space/ booth stasiun yang mahal, akhirnya penumpang juga yang terdampak karena akan merasakan mahalnya produk/ barang apabila membeli di stasiun KCI. Kalau tidak sadar bila terjadi kapitalisasi pelayanan seperti itu malah blunder ke end-user ( pengguna KRL ).

Arahan Presiden juga sewaktu ratas tersebut menyatakan bahwa pengelolaan moda transportasi di Jadebotabek “dapat” diserahkan kepada  Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, karena memiliki anggaran besar, termasuk dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang hampir 20 triliun. Sementara bila kita lihat dari laporan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) 2021 Pemprov DKI tahun 2020 hanya ada SILPA 2 triliun.  Kondisi keuangan tersebut ternyata kurang sehat untuk menyuntikan dana lagi kepada MRTJ. Barangkali mengingat masih kondisi pandemic Covid-19, lebih baik Pemprov DKI me recovery keuangannya, pinjaman dana untuk PEN sebesar 1,7 T dari SMI lebih baik digunakan untuk kegiatan produktif perekonomian yang lebih mengakar rumput buat warga DKI. 

Kita pilah lagi dalam arahan presiden itu bahwa pengelolaan moda transportasi di Jadebotabek “dapat” diserahkan kepada  Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Secara semantis kata “dapat” adalah bukan sebuah makna keharusan apalagi kewajiban sehingga “dapat” merupakan makna pilihan. Dalam konteks tersebut hasil ratas presiden adalah bukan sebuah produk hukum. Bila produk hukum wajib dilaksanakan, namun dalam hasil ratas tersebut ada beberapa arahan presiden berupa wacana-wacana kreatif untuk pengelolaan transportasi terpadu yang dikelola terpusat.

Belum lagi kita bahas masalah hukum yang masih berlaku akan menjadi pertentangan antar regulasi. Saat in masih berlaku Perpres No 83 Tahun 2011 tentang tentang Penugasan kepada KAI untuk menyelenggarakan Prasarana dan Sarana KA Bandar Udara Soekarno Hatta dan Jalur Lingkar Jabodetabek. Kalau nantinya jadi MRT ambil saham mayoritas di KAI di KCI, Perpres tersebut harus dicabut dulu karena KAI menjalankan produksi di Jabodetabek melalui anak perusahaannya PT KCI dan PT Railink. Yang lain adalah penugasan Pemerintah Pusat kepada KAI untuk subsidi tarif PSO, perawatan / IMO dan TAC, bila KAI dipaksa akusisi berarti semua Permenhub, Permenkeu dan Perdirjen akan diganti semua berikut turunannya. Selama ini belum pernah ada PSO Pemerintah pusat diberikan kepada BUMD, karena status MITJ adalah BUMD Pemprov DKI. Bila semua piranti hukumnya tidak diganti dalam operasinya MITJ nya nanti akan “ruwet”. Apalagi bila akan mengelola TOD di 72 stasiun KAI/KCI di Jabodetabek akan berhadapan dengan aturan BMN yang ada di Kemenkeu. Sementara saat ini yang telah menjadi aset milik KAI baru ada 4 stasiun (PMN).

Kalau melihat sejarah terbentuknya KCI (dulu KCJ) adalah hasil Inpres no 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008 – 2009, terdapat bunyi target pemisahan operasi manajemen kereta api Jabodetabek pada Desember 2008. Maka dari produk hukum itu pada tahun 2009 beroperasilah PT KAI Commuter Jabodetabek / KCJ (kini KCI). Dari namanya kini PT KCI (Kereta Commuter Indonesia) bukan untuk Jabodetabek saja, sehingga KAI / KCI mendapat tugas operasikan KRL Yogya – Solo. Jadi sangat sulit diterima secara hukum apabila KCI akan berusaha di luar Jabodetabek sebagai penugasan dari Pemerintah kepada KAI namun KAI tidak punya saham mayoritas di KCI.

Dalam konteks integrasi antar moda terlalu naif apabila juga harus ada integrasi antar korporasi juga. Di jalan tol juga ada integrasi tarif, namun perusahaan operator jalan tolnya tidak perlu ada akusisi ataupun merger karena pentarifan jalan tol diatur oleh BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol). Bila kita ingin optimalkan tupoksi BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek), maka pentarifan semua moda yang berjalan di aglomerasi Jabodetabek harus menjadi tanggung jawab BPTJ. Termasuk tarif KRL CL lebih baik diatur oleh BPTJ, yang saat ini masih ditentukan oleh DJKA.

Integrasi juga termasuk TOD (transit oriented development) sebenarnya adalah domain wilayah tugas tata ruang kota. Operator transportasi walau ada mandat secara khusus untuk TOD melalui Peraturan Gubernur Nomor 140 Tahun 2017 tentang penugasan PT MRT Jakarta sebagai pengelola utama kawasan transit oriented development sebenarnya rancu. Aset-aset semua itu adalah milik Pemprov DKI yang selama ini telah lancar sebagai pendapatan daerah yang telah masuk melalui Badan Pendapatan Daerah Pemprov DKI, kini wewenangnya diminta MRTJ untuk menjadi pendapatan MRTJ. Tentunya hal ini akan mengurangi pendapatan daerah Pemprov DKI Jakarta itu sendiri.

Bila dihubungan dengan berdirinya MITJ, sebenarnya sama saja bahwa aset di luar stasiun tetap menjadi milik Pemprov DKI. Dalam konteks ini sebenarnya MITJ tidak diperlukan bila hanya mengelola TOD stasiun itu karena di luar stasiun adalah aset Pemprov DKI sendiri. Berbeda halnya bila MRTJ ingin mengincar bisnis di dalam area stasiun (transit joint development/TJD) yang milik KAI/DJKA memang perlu akusisi saham KAI di KCI. Sangatlah jelas, bahasan akusisi saham tersebut tidak ada korelasinya dengan perbaikan pelayanan KCI itu sendiri.

Apabila Pemprov DKI serius mengelola TOD cukup keluarkan aturan Pergub atau yang lebih kuat Perda untuk mengatur TOD. Buat aturan semisal larangan adanya fasilitas parkir kendaraan sejauh radius 500 meter (RITJ) dari stasiun KCI, karena TOD basis nya adalah non motorist transport (sepeda dan pejalan kaki). Jadi buat aturan TOD tidak selalu dalam pola desain tata kota dan selalu target pendapatan pajak/non pajak pada TOD.

Pelayanan ruang publik adalah domain pemerintah bukan operator transportasi (badan usaha/perseroan), karena badan usaha/ perseroan adalah profit oriented. Paling sederhana dapat saja dibentuk BLU ( Badan Layanan Umum) sebagai holding company yang bertanggung jawab kepada BPTJ, sehingga peran pemerintah sebagai regulator tetap ada di sana. Seperti halnya holding company untuk pengelolaan transportasi pada Greater Tokyo, Greater Berlin, Greater Paris dan Greater London semua moda transportasi masuk dalam holding tersebut. Kalau di sini holding BLU-nya dapat membawahi: KCI, Railink, MRTJ, LRTJ, Damri, TransJakarta, Mayasari Bakti, Lorena, Steady Safe, Lorena, Taxi Blue Bird, Angkot KWK dan lain-lain.

Segera saja pemangku kebijakan terkait menyelesaikan permasalahan ini agar tidak menjadi polemik yang berkepanjangan. Bila selalu menjadi polemik panjang, operator selalu bertahan dengan kepentingannya masing-masing, maka yang akan dirugikan pelayanan publik itu sendiri yakni pengguna kereta CL. Apalagi di masa PSBB kali ini diperlukan pengawasan ekstra dalam aplikasi protokol kesehatan dalam perjalanan kereta. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…