Perlunya Indikator Keberlanjutan Pengeleloaan CPO

 

 

Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti BKF Kemenkeu *)

 

Fakta bahwa perkebunan kelapa sawit (CPO) merusak lingkungan sepertinya sulit untuk dibantah. Demikian halnya dengan upaya terus menerus menciptakan sistem pengelolaan kelapa sawit yang memenuhi aspek keberlanjutan juga bukan hal yang sepele. Terlebih melihat fakta bahwa kontribusi kelapa sawit sangat signifikan bukan hanya bagi pemerintah melainkan juga pemangku kepentingan lainnya. Namun demikian, hal ini juga tidak melunturkan komitmen pemerintah untuk terus menciptakan pembangunan ekonomi yang rendah karbon, sehingga titik kompromi dari semua isu tersebut adalah menciptakan industrialisasi kelapa sawit yang memiliki rantai pasok secara optimal dengan melibatkan korporasi dan petani sawit mandiri.

Jika ini mampu diwujudkan maka Indonesia tidak hanya menghasilkan kelapa sawit dari sisi ekstraktif semata melainkan sudah masuk dalam tahap produksi bernilai tinggi. Efisiensi kemudian menjadi kata kunci khususnya dikaitkan dengan penurunan laju pembukaan lahan baru plus menyempurnakan rantai pasok CPO di daerah. Peran daerah menjadi kata kunci berikutnya khususnya dalam upaya meningkatkan kapasitas petani sawit mandiri dalam konstelasi bisnis korporasi. Supaya daerah menunjukkan komitmen yang tinggi, penulis merasa perlu memberikan rekomendasi intervensi melalui penempatan isu masuk ke dalam tujuan dan sasaran daerah di dalam dokumen Rencana Pembangunan Daerah Jangka Menengah (RPJMD). Masuk menjadi tujuan dan sasaran daerah juga diterjemahkan sebagai upaya menempatkan isu tersebut menjadi indikator kinerja utama Kepala Daerah.

Indikator Kinerja Utama

Sebagai dokumen politik anggaran di daerah, RPJMD jelas menjadi rujukan yang sah bagi masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di dalam menyusun program, kegiatan dan anggaran. Menempatkan isu perbaikan tata kelola CPO ke dalam tujuan dan sasaran RPJMD juga bermanfaat dalam upaya membuka pendekatan ego sektoral yang hanya menjadikan isu ini sebatas tugas dan fungsi OPD teknis terkait, dalam hal ini Dinas Pertanian atau Perkebunan semata. Dengan diletakkan di dalam indicator kinerja utama Kepala Daerah, seluruh OPD wajib menindaklanjuti ke dalam dokumen rencana kerja dan rencana strategis tahunan. Dengan demikian, isu yang awalnya bersifat sektoral menjadi lebih luas perspektifnya.

Problem berikutnya adalah bagaimana menciptakan sebuah indikator ukuran kinerja keberlanjutan pengelolaan CPO tersebut. Dengan demikian nantinya indikator pencapaian tersebut akan bersanding dengan beberapa indikator eksisting yang ada di sasaran daerah seperti Indeks Gini, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Pendapatan per kapita dan beberapa indikator pencapaian kinerja lainnya. Beberapa contoh pendekatan dapat digunakan di dalam penyusunan kebutuhan indikator ini. Apakah nantinya akan berbentuk sebuah indikator komposit yang terdiri dari beberapa sub-indikator atau justru akan berdiri sendiri sebagai sebuah indikator masdiri.

Jika akan menjadi sebuah indicator komposit, beberapa contoh dapat dijadikan pedoman. Pembentukan IPM misalnya yang diperkenalkan oleh United Nation Development Programme (UNDP). Sejak tahun 1990, indikator tersebut telah disepakati dipakai untuk menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara berkelanjutan. Pada dasarnya IPM mencakup tiga komponen dasar manusia yang secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia, yaitu komponen (i) peluang hidup (longevity), (ii) pengetahuan (knowledge), dan (iii) standar hidup layak (decent living).

Menurut konsep ini pembangunan harus seimbang antara membangun dan memanfaatkan kemampuan. Proses pembangunan setidak-tidaknya harus mampu menciptakan lingkungan buat manusia, baik individu, keluarga maupun masyarakat, dalam mengembangkan kemampuannya secara optimal dan memiliki cukup kesempatan untuk dapat hidup yang produktif dan kreatif sesuai kebutuhan dan minatnya. Dengan kata lain pembangunan manusia tidak melulu peduli dengan pembentukan kemampuan manusia seperti kesehatan yang lebih baik serta pengetahuan dan ketrampilan. Pada sisi lain, proses pembangunan manusia juga peduli pada pemanfaatan kemampuan, baik untuk bekerja, berlibur serta kegiatan egara politik lainnya. Dua sisi pembangunan tersebut harus berkembang secara berimbang.

Usulan lainnya yang relative mendekati kebutuhan misalnya terkait dengan sebuah konsep mengenai areal bernilai konservasi tinggi (ABKT) atau high conservation value forest (HCVF). Merujuk pada temuan ABKT Document oleh Treckson Energi Asia, 2019, kawasan bernilai ekosistem penting pada prinsipnya sama dengan areal bernilai konservasi tinggi (ABKT). Secara umum sebetulnya terminologi ABKT sudah dikenal masyarakat pelaku usaha sektor kehutanan, perkebunan, pertanian dan pertambangan dalam rangka mendapat sertifikasi pengelolaan berkelanjutan. Perlu disadari juga bahwa skema sertifikasi pengelolaan berkelanjutan mengharuskan setiap Unit Pengelolaan (UP) mengidentifikasi dan mengelola  ABKT di tingkat tapak. Pengelolaan ABKT didasarkan prinsip kehati-hatian dan mempertahankan/ meningkatkan nilai konservasi tinggi yang ada di dalamnya.

Sertifikasi pengelolaan berkelanjutan tersebut tentu memiliki tujuan yang sangat spesifik khususnya jika dikaitkan dengan upaya menghasilkan produk-produk yang ramah lingkungan dan serta memiliki daya saing global. Sayangnya berbagai usaha dari pihak pengelola konsesi dalam proses pengajuan sertifikasi pengelolaan berkelanjutan tidak berjalan seperti yang diharapkan. Mereka mengalami banyak kendala dalam menindak-lanjuti hasil identifikasi ABKT yang menjadi persyaratn utama. Perlu dipahami bahwa konsep ABKT ini awalnya dirancang untuk pengelolaan hutan produksi, namun faktanya juga memiliki peluang untuk dimanfaatkan bagi kepentingan beberapa sektor lainnya. Di beberapa negara lainnya, ABKT juga digunakan dalam perencanaan pada tingkat nasional dan daerahnya seperti di Bolivia, Bulgaria dan Indonesia.

Di sektor perkebunan sendiri, ABKT ini juga dimanfaatkan oleh organisasi internasional Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sebagai persyaratan sertifikasi pengelolaan perkebunan sawit yang keberlanjutan. Pada tahun 2003 diterbitkan panduan nasional sebagai terjemahan Toolkit HCVF Global dan dilakukan penyesuaian dengan kondisi Indonesia.  Sebuah panduan yang disusun oleh sekelompok pakar yang memiliki pengalaman dalam sertifikasi hutan dan keahlian dari berbagai ilmu, seperti: kehutanan, sosial, antropologi, biologi konservasi, ekologi hutan, biologi vertebrata, dan hutan produksi hutan.

Terlepas dari banyaknya konsep yang akan dibangun, makna sesungguhnya dari perlunya pembentukan indikator keberlanjutan CPO adalah mempermudah penilaian atas kinerja pihak-pihak yang nantinya akan diberikan mandate dan wewenang di dalam pengelolaan. Jika memang diperlukan, penyusunan indikator ini dapat dilakukan secara empirik melalui mekanisme bottom-up. Jadi masing-masing daerah mencoba menyusun sesuai kebutuhan dan karakter masing-masing untuk kemudian nantinya akan disahkan dan dinilai oleh pusat. Ingat bahwa terbentuknya indikator tersebut bukan akhir dari segala proses karena evaluasi dan monitoring tentu akan terus dijalankan demi menciptakan pengelolaan CPO yang lestari dan berkeadilan. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…