G-20, COP dan Industri Syariah Hijau

 

 

Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti Madya BKF Kemenkeu *)

 

 

Pertemuan G-20 baru saja usai. Dalam sebuah kesempatan, pemerintah menyampaikan rangkuman hasil pertemuan KTT Negara G20 tersebut. Secara umum, Deklarasi dalam SHERPA Track banyak membahas beberapa topik krusial diantaranya  isu kesehatan terkait dengan akses, keterjangkauan harga (affordability) vaksin dan cara mendeteksi pandemi lebih cepat. Untuk isu perdagangan dan investasi, disetujui menjalankan mekanisme multilateral trading system yang bebas, adil, inklusif, non diskriminatif dan transparan terutama untuk reformasi di WTO.

Di bidang ekonomi digital, terus diupayakan pengembangan konektivitas, teknologi digital, dan kebijakan untuk meningkatkan transformasi ekonomi digital dengan tetap menjaga free flow data flow, cross-border, dan memperhatikan aspek kemanannya. Sebagai salah satu sektor paling terdampak bencana pandemi, pembahasan seputar isu pariwisata difokuskan kepada solusi bagaimana aliran orang justru tidak menyebabkan pandemi makin buruk.

Isu besar lainnya yang turut dibahas adalah masalah pemberdayaan wanita karena wanita di masa pandemi Covid dianggap menjadi segmen yang sangat terdampak parah dibanding laki-laki sehingga perlu diberi pemihakan yang lebih. Selanjutnya, lapangan kerja, karena covid menyebabkan penambahan orang yang kehilangan pekerjaan.

Menariknya, isu sustainable development dan climate change kembali mendapatkan perhatian yang besar terutama energi baru terbarukan untuk pasokan energi untuk pertumbuhan ekonomi dan respon terhdap Covid-19. Dari sisi pendanaan, bagaimana fiskal moneter membantu ekonomi dan action plan sebuah negara dalam memulihkan ekonomi negara G20 dan kebijakan struktural untuk memperkuat ekonomi. Disebutkan bahwa negara miskin diberikan relaksasi untuk pembayaran utangnya akibat tekanan Covid-19 melalui debt treatment dan DSSI. Juga ada dukungan terhadap reviu ke-16 IMF terutama dari sisi kecukupan (adequacy) resourcesnya.

Sebagai penutup, Presidensi G20 dengan tuan rumah Italia untuk tahun 2021 memilih tema besar people, planet, prosperity sebagai bentuk jawaban atas komitmen terus berupaya mencari solusi terbaik bagi pemulihan dampak kerusakan bumi akibat pembangunan. Indonesia sendiri juga diminta menjadi tuan rumah tahun berikutnya yaitu 2022, meski masih dalam skenario pemulihan pandemi Covid-19.

Fokus 3P

Penetapan fokus 3P oleh Presidensi Italia di Konferensi G-20 tahun 2021 menarik untuk dibahas secara mendalam. Terlebih mengingat status kelompok G20 ini merupakan forum kerjasama negara–negara perekonomian besar dunia yang secara kolektif mewakili 85% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia serta 75% perdagangan. G20 beranggotakan 19 negara, antara lain Amerika Serikat (AS), Afrika Selatan, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brazil, China. Kanada, Jepang, Jerman, Indonesia, Italia, Korea Selatan, Meksiko, Perancis, Rusia, Turki dan satu kelompok regional, yakni Uni Eropa (UE)

Dalam waktu bersamaan, konferensi pengendalian perubahan iklim global (COP) seharusnya juga dilangsungkan. Namun sayangnya rencana pertemuan COP tersebut dibatalkan untuk digeser di tahun 2021. Jika nantinya waktu pelaksanaan keduanya berdekatan, tentu diharapkan mampu memberikan impresi yang positif. Jika merujuk kepada sejarah, momen tersebut pernah terjadi di tahun 2018. Pada kesempatan tersebut, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla yang hadir di KTT G20, secara khusus juga menyuarakan sejumlah kepentingan nasional Indonesia melalui pengembangan inovasi keuangan melalui bisnis model dengan digitalisasi ekonomi dan referensi energi terbarukan.

Dalam kesempatan lain, Wapres juga memamerkan komitmen nyata Indonesia di dalam mendukung upaya pembangunan rendah karbon sekaligus pengembangan industri syariah melalui penerbitan Indonesian Green Sukuk. Beliau juga mengajak negara-negara internasional untuk memperkuat kerjasama di dalam mengatasi bersama isu perubahan iklim dalam kerangka hubungan multilateral. Secara kebetulan, momen Wapres menyampaikan komitmen Green Sukuk di pertemuan G20, selaras dengan apa yang dibahas di dalam COP 24 di Polandia di waktu yang berdekatan.

Penerbitan Green Sukuk sebetulnya menjadi salah satu cara bagi pemerintah untuk meningkatkan daya akselerasi pendanaan terkait isu penanggulangan dampak perubahan iklim, yang sebelumnya masih di dominasi oleh pendanaan pemerintah melalui skema APBN/APBD. 

Pada 1 Maret 2018, Indonesia secara resmi menerbitkan the 1st Sovereign Green Sukuk di dunia dengan nilai transaksi mencapai USD1,250 mm untuk tenor 5 tahun dan USD1,750 mm untuk tenor 10 tahun. Green sukuk yang lebih dikenal dengan sukuk hijau pemerintah ini, menggunakan joint lead managers Abu Dhabi Islamic Bank, CIMB, Citibank, Dubai Islamic Bank serta HSBC yang sudah memiliki reputasi internasional dalam industri syariah hijau ini. Mengapa disebut the first issuer di dunia? Karena memang belum ada negara di dunia yang menerbitkan sukuk hijau pemerintah sebelumnya. Pemerintah Perancis, Fiji dan Polandia memang tercatat sudah menerbitkan surat utang hijau, namun berbentuk sukuk konvensional (green bond).

Fenomena inilah sebetulnya yang harus ditangkap oleh industri pasar obligasi ke depannya. Proses memadukan green dengan bisnis syariah ternyata justru menimbulkan pangsa pasar baru dengan captive market yang membesar, karena konsumen potensial yang nantinya dapat membeli terdiri dari konsumen konvensional, syariah dan sekaligus konsumen green. Dengan demikian proses pendalaman pasar akan segera terjadi dan imbasnya portofolio investasi akan semakin berkembang. Hal inis ekiranya penting mengingat pasar obligasi Indonesia sendiri masih relatif kecil dengan kontribusi yang belum signifikan. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi  

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…