Urgensi Badan Pengelola Dana Pariwisata Daerah (BPDPD)

 

 

Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti BKF Kemenkeu *)

 

Jauh sebelum pandemi muncul dan mengganas, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali sempat mewacanakan aturan terkait pungutan pajak turis atau kontribusi dana dari para wisatawan. Pungutan baru ini akan menjadi komitmen nyata dari wisatawan turut berkontribusi menjaga keindahan alam dan budaya di Pulau Dewata. Ketika terwujud, Bali akan menjadi yang daerah pertama di Indonesia yang menerapkannya. Sebagai pionir, keberhasilan di Bali akan membuka peluang bagi penerapan di daerah wisata lainnya. Sebaliknya, kegagalan juga akan memberi pelajaran yang menarik untuk dikaji lebih dalam.

Karenanya pemerintah pusat mencoba memfasilitasi proses penyiapan kebijakan secara komprehensif. Satu hal yang pasti, seluruh pemangku kepentingan harus mendapatkan pemahaman yang sama sehingga pelaksanaannya sesuai yang digariskan. Tata kelola pemungutan juga wajib dirumuskan sempurna khususnya yang mengatur tentang obyek, subyek dan tarif serta pemanfaatan hasil pungutan. Pemanfaatan hasil pungutan ini justru menjadi hal yang paling krusial. Seringkali daerah semangat mencari sumber pungutan baru namun melupakan esensi pemanfaatan dananya. Perlu dirunut kembali bahwa ide pajak turis ini diharapkan mampu memberi manfaat dan kemaslahatan bagi perlindungan alam serta budaya Bali ke depannya. 

Menyoal Ide dan Tata Kelola

Penulis kemudian tertarik untuk mengupas lebih dalam rencana pengenaan pajak ini. Motivasi terbesar didasarkan pemikiran ide ini akan diterapkan di Pulau Bali, salah satu ikon wisata Indonesia milik dunia. Aspek lainnya, fakta bahwa sektor yang akan dipungut adalah sektor pariwisata. Bagi pemerintah pusat, pariwisata telah disepakati menjadi sektor andalan dalam pembangunan nasional ke depannya. Pariwisata juga diharapkan menjadi kontributor terbesar peningkatan devisa negara dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Di saat bersamaan, tahun 2018 kemarin publisher ternama Inggris, Rough Guides, memilih Indonesia menjadi negara terindah ke-6 di dunia, setelah Afrika Selatan, Italia, Selandia Baru, Kanada dan Skotlandia. Posisi tersebut relatif sangat prestisius bahkan melebih status beberapa negara indah di Asia lainnya seperti India yang hanya nangkring di posisi ke-13 ataupun Vietnam yang menyusul di peringkat 20. Indonesia dianggap unggul karena daya tarik suasana pedesaan, rasa ketenangan pulau-pulau terpencil serta puncak gunung yang menjulang. Selain itu, adat istiadat, ragam kuliner serta lebih dari 500 jenis dialek bahasa membuat kagum para traveler yang mengisi pooling penilaian.

Kembali ke soal rencana pajak turis, jika ditujukan sebagai sumber dana untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan budaya, sudah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Pada paragraf delapan, instrumen ekonomi lingkungan hidup (IELH) diatur secara lebirh rinci. IELH sendiri terdiri dari perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan hidup serta insentif/dis-insentif. Sebagai regulasi pelaksana, IELH diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2017 tentang implementasi IELH. Pengenaan pajak turis dalam kaca mata penulis masuk dalam pengaturan IELH khususnya terkait skema insentif/dis-insentif berupa pengenaan pajak, retribusi dan subsidi lingkungan hidup.

Permasalahannya, aturan perpajakan khususnya pajak daerah, wajib melihat Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Sayangnya, regulasi PDRD bersifat close list yang artinya daerah tidak dapat menciptakan jenis pajak baru selain yang sudah diamanatkan dalam UU. Di dalam pasal 2, dijelaskan jenis-jenis pajak yang kewenangannya dipungut oleh provinsi yaitu: Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok. Dengan demikian, ide pemungutan pajak turis oleh Pemprov Bali sepertinya tidak dimungkinkan jika merujuk aturan tersebut.

Bagaimana solusinya? Penulis merasa bahwa ide pengenaan pajak turis akan lebih memungkinkan jika dikemas dalam mekanisme ‘kontribusi’ wisatawan bukan sebagai pungutan pajak turis. Pemungutannya pun akan tidak dikenakan di lokasi wisata, karena mereka sudah membayar tiket retribusi. Cara yang lebih mudah dan lebih baik tata kelolanya adalah dititipkan via pembayaran kamar hotel atau penginapan. Harga kamar hotel atau penginapan dibedakan berdasarkan view atau pemandangan. Kamar yang memiliki view langsung melihat keindahan alam (terrace view) lebih mahal dibandingkan kamar yang biasa dan sebaliknya.

Ketika skema sudah didapat, yang terpenting adalah munculnya keterlibatan langsung dari masyarakat sebagai shareholders atau pemilik keindahan alam dan budaya. Harus dipastikan juga agar masyarakat menjadi pemanfaat utama dana kontribusi wisata ini. Jangan sampai masyarakat justru teralienasi dengan alasan apapun. Pemerintah wajib menjadi fasilitator yang memastikan seluruh mekanisme akan berjalan pada tempatnya, sekaligus menjaga tidak ada pihak yang dirugikan.

Dana hasil kontribusi wisata akan lebih bermanfaat jika dikelola dengan model pengelolaan Dana Abadi Pariwisata (DAP) serta dilembagakan dalam kebijakan Badan Pengelola Dana Pariwisata Daerah (BPDPD). BPDPD akan bergerak melalui kerangka Badan Layanan Umum (BLU) Pengelola Dana sehingga berpotensi untuk melakukan penghimpunan dana dari berbagai sumber baik pemerintah, swasta dan internasional khususnya lembaga multilateral. Potensi penghimpunan dana berbagai sumber ini memungkinkan terjadinya pencampuran dana (blended finance) yang akan dapat dimanfaatkan untuk menciptakan multiplier efek dari dana awal.

Multiplier efek inilah yang dijadikan strategi kemandirian pengembangan bisnis pariwisata di suatu daerah yang bersifat lintas generasi. Ketika pengelolaan dana pariwisata ini sudah terwujud, juga dapat dimanfaatkan sebagai bantuan modal bagi pelaku pariwisata ketika menghadapi bencana pandemi seperti saat ini. Dengan demikian, keberadaan BPDPD akan dapat mereduksi dampak krisis di sektor pariwisata. Dengan demikian, daerah-daerah destinasi wisata utama akan tetap dapat bertahan dan terus mengembangkan bisnis wisatanya. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi  

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…