De-karbonisasi Pertumbuhan Ekonomi

 

 

Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti BKF Kemenkeu *)

 

Munculnya bencana pandemi Covid-19, sering dianalogikan sebagai dampak krisis iklim yang terus berakumulasi. Di sisi lain, potensi ganda bencana iklim juga mengintai ketika kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terus berulang masih saja menyisakan PR untuk diselesaikan.  Terlepas dari besarnya dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan, eskalasi bencana iklim yang makin menghebat jelas memberikan tekanan yang besar bagi upaya mengatasi dampak perubahan iklim. Indonesia, sejatinya menjadi salah satu pemain utama dalam isu mengatasi dampak perubahan iklim ini. Luasan hutan yang sangat signifikan menjadi katalisator utama penurunan emisi secara global. Tak heran jika banyak pihak menuntut agar penanganan karhutla dipimpin langsung oleh Presiden, demi mencegah berbagai tarikan kepentingan antar sektor yang terkadang justru menjadi penghambat solusi penanganan.

Belum lagi maraknya arus perpindahan limbah dan sampah lintas negara. Sebagai informasi, sejak China mengumumkan kebijakan pembatasan impor limbah plastik dan kertas tahun 2017, banyak negara maju mencoba mencari lokasi pembuangan baru. Meski menimbulkan kritik, apa yang dilakukan oleh China sekiranya layak mendapatkan apresiasi. Sebagai negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, secara rutin mengimpor 56% limbah plastik dan kertas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestiknya.

Ketika arah pembangunan ekonominya mulai mempertimbangkan aspek kesehatan masyarakat, negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia mendadak menjadi lokasi favorit pengganti China. Filipina dan Malaysia bereaksi awal dengan menolak tegas limbah sampah dan plastik negara maju. Malaysia juga memperketat maraknya industri daur ulang ilegal serta mengawasi transportasi limbah sampah dan plastik via kontainer.      

Laporan panel ahli Intergovernmental Science Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) menjadi penegas lain betapa seriusnya dampak perubahan iklim terhadap laju kepunahan keanekaragaman hayati (kehati) secara global. Ketika laju kepunahan ini tidak dapat dicegah, akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia ke depannya. Secara detail kelimpahan spesies asli di sebagian besar habitat di daratan, air tawar dan lautan telah turun paling sedikit 25% sejak tahun 1990 dan laju degradasinya melonjak dalam 40 tahun terakhir termasuk munculnya berbagai endemik penyakit baru.

De-karbonisasi

Besarnya dampak destruksi yang ditimbulkan, mendesak munculnya sebuah upaya kolektif bersama seluruh pemangku kepentingan global untuk mengambil langkah-langkah revolusioner. Jargon yang diusung adalah gerakan de-karbonisasi laju pertumbuhan ekonomi. Perlu disadari bahwa pendekatan konvensional dengan menempatkan target pertumbuhan ekonomi sebagai indikator utama keberhasilan bangsa, menimbulkan sifat kompetisi yang mengarah pada aspek kanibalisme antar negara. Semua negara berlomba-lomba saling mengalahkan laju ekonomi negara lainnya tanpa mempertimbangkan praktek-praktek yang dijalankan justru menembus daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Ketika daya dukung dan daya tampung terlampaui, diperlukan adanya teknologi baru untuk memperbaiki status. Teknologi baru jelas membutuhkan investasi dalam skala besar yang pada gilirannya kembali mendorong eksploitasi sumber daya secara masal. Akibatnya muncul lingkaran setan yang terus saja berulang, dengan lingkungan hidup menjadi pihak yang paling dirugikan. Tak heran jika intensitas bencana terus meningkat di seluruh belahan dunia tanpa mengenal batas-batas administrasi. Ditambah munculnya berbagai konflik kepentingan, masa depan generasi mendatang terasa makin getir.

Secara global, komitmen dunia mengatasi dampak perubahan iklim sudah dibangun sejak lama. Pertemuan tingkat tinggi (KTT) Bumi di Brasil, masih menjadi tonggak sejarah munculnya kesadaran ini. Sayangnya hingga selesainya kesepakatan di bawah mekanisme Kyoto Protocol, progress yang dihasilkan justru berfluktuasi. Beberapa negara yang sebelumnya tampak akan menjadi champion dan berkomitmen tinggi, justru menarik diri dan terjebak pada persoalan politik domestik yang menyeruak. Di sisi lain, negara-negara yang tidak meyakini dampak perubahan iklim justru mengalami penguatan dan mendapatkan angin segar.

Tak salah jika di tahun 2015, disusun kesepakatan ulang dalam kerangka Paris Agreement yang memberikan mandat kepada masing-masing negara untuk mengambil langkah nyata dan konkret. Belajar dari kasus Kyoto Protocol, penguatan komitmen terhadap pencapaian Paris Agreement terus diperkuat salah satunya melalui Helsinki Principles sekaligus tercapainya Koalisi Menteri Keuangan beberapa negara. Pihak yang menyepakati koalisi mencapai 43 negara termasuk Indonesia dan bertujuan untuk meningkatkan dukung aspek pendanaan terhadap pencapaian target Paris Agreement. Bergabungnya para Menkeu dunia di dalam koalisi, mensyaratkan adanya pengakuan atas enam item utama dalam Helsinki Principles, selain membagi peran dan pengalaman masing-masing dalam menyusun kerangka pertumbuhan ekonomi baru rendah emisi (de-carbonizing) pertumbuhan ekonomi. 

Secara umum, enam item utama dalam Helsinki Principles diantaranya: menyelaraskan kerangka pertumbuhan ekonomi makro di masing-masing negara dalam kerangka Paris Agreement, membagi pengalaman masing-masing negara dalam membangun kesepemahaman bersama seluruh pemangku kepentingan domiestik terkait isu perubahan iklim. Berikutnya adalah menghitung secara cermat efektivitas pengenaan harga karbon dalam perekonomian domestik serta memasukkan isu perubahan iklim di dalam kerangka makro pertumbuhan ekonomi negara. Tak ketinggalan melakukan mobilisasi seluruh sumber daya dalam menciptakan pendanaan perubahan iklim menuju pencapaian target Nationally Determined Contributions (NDC) di masing-masing negara.    

Di level nasional, bergabungnya Indonesia di dalam koalisi kembali menegaskan kuatnya komitmen yang dibangun sejak tahun 2011, ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2011. Regulasi tersebut mengamanatkan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang dikombinasikan dengan Rencana Aksi Adaptasi (RAN-API). Tahun 2016 juga disahkan Undang-undang (UU) Nomor 16 tentang ratifikasi Paris Agreement dalam kerangka pencapaian target NDC sebesar 29% dengan pendanaan publik dan 41% dengan dukungan internasional di tahun 2030.

Dari seluruh penjelasan ini, terlihat betapa sentralnya peran negara dalam mewujudkan tujuan mengatasi dampak perubahan iklim. Negara dengan segala pranata dan kelengkapannya mampu dan memiliki kapasitas menjadi garda terdepan kelangsungan ekologi demi keberlanjutan antar generasi. Namun demikian, segala upaya menjadi sia-sia jika pemangku kepentingan lainnya tidak mendukung apa yang dijalankan pemerintah. Untuk itulah ke depannya sinergitas langkah dan upaya menjadi kata sakti dalam mewujudkan aksi nyata mengatasi dampak perubahan iklim secara bersama. *)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi  

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…