Proyek TPPI Menekan Impor Produk Kimia

NERACA

Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung penuh proyek revamping PT. Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur. Pasalnya, proyek pembenahan ini guna meningkatkan kapasitas produksi sekaligus dapat menjadikan substitusi impor.

“Kami menyambut baik kemajuan proyek revamping ini, mengingat produk-produk petrokimia khususnya produk aromatik ini sangat dibutuhkan di dalam negeri oleh berbagai perusahaan di Indonesia,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta.

Lebih lanjut, Agus menyampaikan, peran TPPI bakal mampu mengurangi secara signfikan terhadap impor bahan baku kimia dan difisit transaksi berjalan Indonesia. “Tentunya ini akan bisa membangkitkan perekonomian nasional,” tuturnya.

Bahkan Kemenperin bertekad untuk semakin memperkuat struktur industri kimia di Indonesia agar lebih berdaya saing di kancah global. Hal ini sesuai dengan program prioritas pada peta jalan Making Indonesia 4.0 yang memasukkan industri kimia sebagai satu dari lima sektor yang diprioritaskan pengembangannya.

“Industri petrokimia merupakan sektor hulu yang sangat strategis karena menunjang berbagai kebutuhan produksi di sejumlah manufaktur di sektor hilir,” ungkap Agus. Produk yang dihasilkan oleh industri petrokimia, antara lain digunakan sebagai bahan baku di industri plastik, tekstil, cat, kosmetik dan farmasi.

Beberapa waktu lalu, Agus didampingi Sekretaris Jenderal Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono serta Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Muhammad Khayam menerima kunjungan Direksi dan Komisaris TPPI. Pertemuan ini menindaklanjuti peninjauan langsung Presiden Joko Widodo ke TPPI pada akhir Desember 2019.

Pada kesempatan itu, Presiden Komisaris TPPI Ardhy N. Mokobombang menyampaikan, saat ini di TPPI terdapat proyek revamping platforming dan aromatik yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas platforming unit dari 50.000 barrel per hari menjadi 55.000 barrel per hari dan kapasitas produksi paraxylene 600.000 ton per tahun menjadi 780.000 ton per tahun dengan biaya pembangunan sebesar USD180 juta.

Presiden Direktur TPPI Yulian Dekri menambahkan, pekerjaan Basic Engineering Design Package (BEDP) yang sedang dikerjakan oleh UOP sejak Maret 2020, akan ditaregtkan selesai pada akhir September 2020. “Pembangunan lima tangki saat ini sedang dalam tahap pembangunan yang diperkirakan secara keseluruhan tangki-tangki tersebut akan selesai pada pertengahan Desember 2021,” ungkapnya.

Sementara itu, proyek revamping TPPI akan dilaksanakan pada awal 2022 bersamaan dengan pelaksanaan turn around, sehingga pada kuartal I-2022 diharapkan kilang sudah dapat beroperasi secara penuh. “Terkait dengan dukungan TPPI untuk mengurangi produk impor paraxylene, kami sudah mulai mengoperasikan unit produksi paraxylene sejak Agustus 2020 secara dual mode (menghasilan produk petrokimia dan produk BBM) dan akan ditingkatkan secara bertahap,” papar Yulian.

Sementara itu, Direktur Pemasaran TPPI Darius Darwis menyatakan, kebutuhan domestik paraxylene saat ini sebesar 1 juta ton per tahun, sedangkan pemasok dari dalam negeri selain TPPI adalah Kilang RU IV Pertamina yang mempunyai kapasitas produksi sekitar 200.000 ton per tahun. Dengan demikian, selama TPPI tidak berproduksi, terdapat impor Paraxylene sekitar 800.000 ton per tahun.

Sehingga untuk mengurangi impor paraxylene pada tahun 2021, TPPI akan memproduksi sejumlah 280.000 ton per tahun paraxylene selain juga memproduksi pertamax. Bersama dengan produksi paraxylene Pertamina sebesar 220.000 ton per tahun, total produksi paraxylene dalam negeri menjadi 500.000 ton per tahun, atau dapat mengurangi impor sejumlah 50% dari kebutuhan dalam negeri dan menurunkan defisit transaksi berjalan sesuai arahan Presiden Joko Widodo saat mengadakan kunjungan ke TPPI tahun lalu.

Pada tahun 2022, dengan selesainya proyek Revamping tersebut, TPPI akan dapat meningkatkan produksi Paraxylene menjadi 780,000 ton per tahun, sehingga tambahan produksi tersebut dapat memenuhi seluruh kebutuhan Paraxylene dalam negeri bersama-sama dengan Pertamina.

Bahkan, sebelumnya Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan mengatakan pengembangan industri kimia berbasis methanol sudah sangat mendesak dan urgen.

"Pengembangan industri methanol sangat penting untuk mendukung kemandirian industri, mendukung daya saing industri nasional serta menopang pembangunan industri berkelanjutan dan yang utama memangkas defisit neraca perdagangan yang terjadi lantaran ketergantungan tinggi pada impor," ungkap Johnny.

Menurut Johnny investasi di sektor petrokimia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir masih tergolong minim. Kondisi ini berdampak pada ketergantungan impor yang tinggi lantaran minimnya suplai bahan baku industri hulu petrokimia.

"Kapasitas produksi dalam negeri untuk bahan baku petrokimia baru mencapai 2,45 juta ton. Sementara itu, kebutuhan dalam negeri mencapai 5,6 juta ton per tahun. Dengan kata lain, produksi dalam negeri baru memenuhi 47 persen kebutuhan domestik. Sisanya, yaitu sebesar 53% harus dipenuhi melalui impor,” ujar Johnny

Lebih lanjut Johnny mengatakan kebutuhan akan metanol semakin meningkat, Indonesia baru memiliki satu produsen yang kapasitas produksinya 660 ribu ton per tahun. Alhasil, ketergantungan impor methanol tergolong tinggi.

"Nilai impor methanol mencapai USD 12 miliar atau setara Rp 174 triliun per tahun. Pasalnya, metanol merupakan senyawa intermediate yang menjadi bahan baku berbagai industri, antara lain industri asam asetat, formaldehid, Methyl Tertier Buthyl Eter (MTBE), polyvinyl, polyester, rubber, resin sintetis, farmasi, Dimethyl Ether (DME), dan lain sebagainya," jelas Johnny.

Alasan lain, kata Johnny, yang mendasari strategisnya pengembangan industri methanol adalah karena beberapa produk turunannya, seperti biodiesel dan dimetil eter (DME) merupakan bahan bakar alternatif. Dengan demikian, impor minyak yang selama ini membebani neraca dagang RI bisa dikurangi melalui pengembangan industri methanol.

“Lebih lagi, industri methanol akan mendukung program pemerintah, yakni pengalihan dari bahan bakar berbasis BBM ke biodiesel," papar Johnny.

Sebaliknya, johny mengatakan bila pengembangan industri methanol ditunda, sementara pemakaian biodiesel sebagai bahan bakar semakin berkembang, maka ketergantung impor akan semakin tinggi.

 

 

 

BERITA TERKAIT

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…

BERITA LAINNYA DI Industri

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…