Perkebunan, Pendapatan dan Perekat

Oleh: Bambang

Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Bio Industri

Benar, kinerja ekspor perkebunan sudah tidak diragukan lagi. Hal ini terlihat dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa  kontribusi sektor perkebunan terhadap perekonomian nasional tahun 2018 naik 22,48 persen dibandingkan dengan kontribusi 2014.

Sedangkan PDB perkebunan 2014-2018 sebesar Rp 2.192,9 triliun. Angka sementara, PDB sektor pertanian pada triwulan satu 2019 mencapai Rp 3,7 triliun, dimana tanaman perkebunan menyumbang Rp 106,95 miliar. Angka tersebut didapat dari sektor perkebunan kelapa sawit, kopi, kakao, rempah-rempah dan lainnya.

Melihat tingginya PDB yang dihasilkan dari komoditas perkebunan maka perlu ada penguatan perkebunan melalui penyempurnaan regulasi yang berlaku yang tertuang dalam peraturan pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri Pertanian (Permentan), hingga Surat Keputusan (SK). Sehingga regulasi harus disesuaikan dengan kondisi saat ini, hal tersebut berlaku untuk semua komditas perkebunan.

Lebih lanjut, penyempurnaan regulsi perkebunan perlu dilakukan bukan sekedar untuk memperkuat komoditas perkebunan, tapi juga untuk membangun perkebunan yang lebih besar lagi baik perkebunan swasta, perkebunan negara, ataupun perkebunan rakyat.

Bahkan penyempurnaan regulasi ini perlu dilakukan untuk bisa mengintegrasikan antara perkebunan milik perusahaan swsata, dan pemerintah dengan perkebunan milik rakyat. Ini perlu dilakukan karena secara umum luas perkebunan masih didominasi oleh perkebunan rakyat, artinya perkebunan milk perusahaan wajib melakukan kemitraan dengan perkebunan milik rakyat.

Hanya dengan kemitraanlah perkebunan bisa terangkat mengingat luas perkebunan di Indonesia mayoritas dikuasai oleh rakyat. Lebih dari itu, hanya dengan melakukan kemitraanlah maka dapat meningkatkan produktivitas perkebunan rakyat. Dan hanya dengan melakukan kemitraan jugalah industri pengolahan di dalam negeri bisa memenuhi pasokan atau bahan baku sesuai dengan kriterianya.

Contoh, kakao potensi produktivitas bisa mencapai 4 ton/hektar/tahun, sementara saat ini produktivitas petani kakao hanya 500 kg/hektar/tahun. Lalu pada kelapa sawit milik petani mandiri produktivitas tanadan buah segar (TBS)-nya hanya berkisar antrara 16 – 18 ton/hektar/tahun, padahal seharusnya bisa mencapai 36 ton/hektar/tahun.

Sehingga dengan melakukan kemitraan bukan tidak mungkin akan meningkatkan produktivitas petani pekebun, hal ini karena mayoritas lahan perkebunan dikuasi oleh petani mandiri.

Namun disisi lain, dengan terus tumbuh kembangnya komoditas perkebunan di Indonesia maka tidak sedikit pihak yang ingin mengkerdilkannya. Pengkerdilan terhadap komoditas perkebunan di Indonesia dapat terlihat dari berbagai kebijakan yang memperhambat masuknya hasil perkebunan asal Indonesia ke negara eksportir. Meskipun pada dasarnya negara tersebut sangat membutuhkan hasil perkebunan asal Indonesia.

Diantaranya kelapa sawit mulai dari aturan sustainable (keberlanjutan), kakao mulai dari aturan fermentasi dan non fermentasi, dan lainnya. Melihat hal tersebut maka yang harus dilakukan yaitu menyatukan kekuatan antara pelaku usaha, petani, hingga pemangku kebijakan, baik di pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah (Pemda).

 

BERITA TERKAIT

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…

BERITA LAINNYA DI

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…