Paradoksal Gage Diterapkan di Masa Pandemi Covid-19

Oleh: Deddy Herlambang, Direktur Eksekutif Instran

Rekayasa nopol ganjil genap ( gage) diberlakukan kembali pada tanggal 3 Agustus 2020 di wilayah DKI Jakarta. Rekayasa gage diberlakukan seperti sedia kala, yakni pelarangan kendaraan roda empat penumpang (mobil) bernopol gage sesuai tanggal kalender di 25 ( dua puluh lima ) ruas jalan. Kalau kondisi normal tetap penting rekayasa gage diberlakukan untuk mengurai kemacetan di waktu jam lalu lintas padat padat dan mengurangi emisi karbon asap kendaraan bermotor.

Sementara khusus untuk masa pandemic covid-19 seperti saat ini adalah sangat tidak tepat apabila gage diberlakukan. Sangat paradoks ketika gage diberlakukan namun grafis pandemic covid-19 belum mencapai puncak.  Bila gage diterapkan otomatis publik akan kembali menggunakan angkutan umum massal, sementara angkutan umum massal juga masih terbatas keterisian maksimal 30 – 50 %.  Saat ini moda MRT, KRL dan BRT (bus TJ) yang ada di Jakarta telah nyaman sesuai protokol kesehatan untuk dengan load factor (LF) 30 – 50 %. Apabila gage berlaku, LF bisa lebih dari 50%, karena pengguna kendaraan pribadi akan switching mengunakan angkutan umum massal.  Bila hal ini dipaksakan pengkondisian jaga jarak antar penumpang sesuai arahan satuan tugas covid-19 akan gagal.

Bagi golongan masyarakat mampu, rekayasa gage ini bukan menjadikan sebuah masalah, mereka dapat membeli mobil lagi sesuai nopol gage yang dikehendaki atau beli kendaraan roda-2 baru. Tentunya tidak semua golongan masyarakat kita mampu membeli mobil lagi dan beli kendaraan roda-2. Yang tidak mampu, mereka inilah yang bakal menggunakan angkutan massal seperti MRT, KRL dan BRT. Sekedar contoh; ketika gage belum diberlakukan setiap hari Senin pagi pasti di stasiun-stasiun KRL di Bogor, Cilebut, Bojongede dan Citayam over kapasitas antrian stasiun karena pengguna KRL memasuki ke peron stasiun dibatasi maksimum 30 %. Lalu bagaimana bila gage diberlakukan ?

Diprediksikan bila gage diterapkan sebagian pengguna kendaraan pribadi gage sebelumnya akan menggunakan angkutan massal ini termasuk MRT dan BRT.  Sebelum pandemic ketika pemberlakuan gage September 2019, terjadi peningkatan rata-rata penumpang KRL sebanyak 7,4 % (KCI) dan BRT ( bus TJ) sebanyak 25-30 % (data diolah).  Bila merujuk persentase peningkatan penumpang tersebut, dipastikan akan terjadi peningkatan penumpang juga di angkutan umum massal ketika gage diberlakukan dalam masa pandemic covid-19.

Menurut Data BPS DKI Jakarta Oktober 2018, jumlah kendaraan roda-4 (mobil) sebanyak 3.997.670, kalau saat ini bisa kita asumsikan 4 juta mobil. Perhitungan ini mendekati dengan data  Perhimpunan Studi Pengembangan Wilayah tahun 2018, jumlah kendaraan bermotor yang beredar di jalan DKI Jakarta sebanyak 18 juta, bila segmen mobil sebanyak  19,58 %, maka akan didapat jumlah mobil sebanyak 3.524.400. Tentunya jumlah mobil tersebut di tahun 2020 sekarang akan berjumlah 3.947.328 (kenaikan 6% / tahun). Informasi dari Dishub DKI bahwa jumlah proporsi gage adalah seimbang 50,05% : 49,95% (50/50), maka 1.973.664 mobil akan digunakan setiap hari ketika gage diberlakukan. Namun khusus pandemic kali ini ada pengkondisian 50% bekerja di rumah dan 50% kerja di kantor, bisa diasumsikan 986.832 akan mengunakan jalan raya sesuai gage dan tentu sisanya 986.832 ( -/+ 1 juta ) yang mobilnya dilarang terkena kalender gage akan mencari angkutan umum untuk bekerja di Jakarta.

Barangkali masih ada masyarakat 1 jutaan yang akan menggunakan angkutan umum – mungkin ada yang beli mobil dan sepeda motor baru tapi tidak akan signifikan – ketika gage diberlakukan. Jam gage berlaku pukul 6.00 – 10.00 dan 16.00 – 21.00, sehingga ada skenario lain dengan menggunakan mobil di atas jam 10.00 dan pulang jam 21.00 ketika jam gage selesai ( jumlah skenario ini yang masih sulit dihitung). Paling tidak kita ambil porsi 50% dari demand 1 juta tersebut, yakni 500.000 yang akan menggunakan KRL dan BRT untuk diberikan ruang sesuai protokol kesehatan. Perlu antisipasi sejak dini, jangan selalu di hilir khususnya di sektor transportasi selalu menjadi korban penyebaran covid-19 menjadi klaster baru bila memang tiada ruang lagi untuk physical distancing. Mengingat kita belum mencapai puncak pandemic ( belum ada tren penurunan), pemberlakuan gage ini adalah gambling kesehatan publik bila terpaksa menggunakan angkutan umum massal. 

Sebenarnya telah ada bus bantuan khusus hari senin pagi dari Pemprov DKI ( Bus Sekolah), Bus BPTJ ( JA connection) dan Bus Damri untuk opsi kepadatan di Stasiun Bogor dan Bojonggede. Bila sarana bus yang tersedia masih seperti sebelumnya nampaknya masih kurang banyak mengingat kita masih menggunakan protokol kesehatan (jaga jarak min. 1 meter). Persoalan ini idealnya juga menjadi tanggung jawab pemda setempat dalam mengatur pergerakan warganya bila akan bekerja. Sebaiknya Pemda Kota Bogor dan Kabupaten Bogor menggadakan bus-bus juga untuk transportasi warganya bila mau bepergian/bekerja ke Jakarta untuk mendukung new normal (kebiasaan baru). Sekarang ini sangat banyak bus-bus pariwisata yang mengganggur dapat diberdayakan/disewa oleh pemda setempat untuk mengurai kepadatan di stasiun-stasiun KRL. Tentunya bila tidak ada kluster baru covid-19 dalam angkutan umum yang akan mendapatkan citra positif (benefit) juga pemda setempat.

Skenario yang lain adalah kembalikan jadual KRL/MRT dan BRT seperti semula ( normal sebelum pandemic ) untuk mengurai kepadatan di stasiun KRL dan halte BRT. Sebagai contoh saat ini operasi jam KRL terbatas hanya sampai jam 21.00 dan BRT jam 22.00, lebih baik ditambah seperti sedia kala sampai jam 23.30 untuk antisipasi bila ada yang bekerja sampai shift malam sebagai akibat pembagian jam kerja semasa pandemi.

Skenario yang terakhir inilah yang sudah sering kita sampaikan bahwa yang terpenting adalah atur hulu bukan di hilir. Di hilir di sektor transportasi semua sarana dan prasarana terbatas, kapasitas  tidak akan bisa ditambah langsung 50 %. Pada moda KRL sarana kereta dan di prasarana trek/lintas terbatas demikian pula di moda darat yang terbatas adalah sarana bus nya. Makanya khusus masa pandemic ini sangatlah paradoks apabila gage diterapkan sementara angkutan umum massal masih sangat terbatas.

Lebih baik atur di hulu untuk mengatur shift waktu bekerja daripada memberlakukan gage karena kondisi kesehatan publik belum normal. Shift kerja sehari bisa dibagi 3 x shift atau bekerja bergantian 2 hari 1 kali. Kita berharap satuan tugas covid-19 mampu berkoordinasi dengan Kemendagri, Kemenaker dan KemenBUMN termasuk  pemda dan suku dinas terkait untuk lebih bersemangat dan lebih bekerja-sama dalam mengatur pembagian waktu kerja di DKI Jakarta. Sekedar ilustrasi pembagian waktu kerja; khusus hari Senin 50 % perkantoran/mall dapat diliburkan untuk menghindari blunder/penumpukan penumpang di stasiun-stasiun KRL. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…