Kemandirian Masyarakat dalam Transformasi Pelayanan Perpajakan

 

Oleh: Rifky Bagas Nugrahanto, Staf Ditjen Pajak *)

Saat ini, era new normal menjadi ajang kemampuan adaptasi tiap-tiap negara melakukan pemulihan ekonominya. Pemerintah pun dituntut dapat konsisten standar pelayanan publik dan  menciptakan kebijakan yang dapat mendukung dan mampu memberikan keamanan dalam segi protokol kesehatan.

Pemerintah pun sekarang ini mencoba mengubah prosedur pelayanan publik yang semula bertumpu pada tatap muka, kemudian sedikit – demi – sedikit beralih memanfaatkan layanan daring. Seperti halnya dalam merayakan Hari Pajak di tengah pandemi covid-19 ini, bukan hanya seminar, banyak pelayanan-pelayanan perpajakan dialihkan dengan memanfaatkan teknologi.

Namun, bagaimanakah kita mengukur kepuasan penggunaan pelayanan publik tersebut ? Ombudsman RI pun menjelaskan bahwa ada dua model pengukuran berdasarkan jenis penyelenggara pelayanan yakni pengukuran kepuasan pelanggan (privat) dan pengukuran kepuasan masyarakat (publik). Pada organisasi privat, pengukuran kepuasan pelanggan (costumer satisfaction) biasa dilakukan dengan cara melakukan riset pasar atau riset marketing, sementara pada organisasi publik biasanya berupa survey kepuasan masyarakat (SKM) yang hasilnya ditampilkan dalam bentuk Indek Kepuasan Masyarakat (IKM) (Muslimin B Putra, 2020).

Dalam konteks pelayanan publik, pengukuran kepuasan masyarakat telah dimandatkan kepada penyelenggara pelayanan publik melalui Undang-Undang No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik bahwa penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat sebagai upaya membangun sistem yang adil, transparan dan akuntabel. Survei kepuasan diatur secara teknis pelaksanaan survei tersebut ke dalam Peraturan Menteri PAN-RB No. 16/2014 tentang Pedoman Survei Kepuasan Masyarakat terhadap Penyelenggara Pelayanan Publik. Permenpan-RB No. 16/2014 kemudian disempurnakan melalui Permenpan-RB No. 14/2017 tentang Pedoman Survei Kepuasan Masyarakat Unit kerja Penyelenggara Pelayanan Publik.

Ruang lingkupnya bahwa survei kepuasan masyarakat adalah pengukuran secara komprehensif kegiatan tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran atas pendapat masyarakat. Survei kepuasan seharusnya dilaksanakan sekali setahun oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai informasi dasar untuk meningkatkan pelayanan dan melakukan inovasi pelayanan. Hasil survei kepuasan juga seharusnya dipublikasikan melalui media, baik media massa maupun media sosial yang dimiliki penyelenggara pelayanan publik dalam bentuk skoring (kuantitatif) atau baik-buruk (kualitatif).

Pertanyaannya ialah, dengan ada perubahan prosedur seperti saat ini dengan memprioritaskan penggunaan teknologi, apakah seluruh lapisan masyarakat dapat menyerap dan memanfaatkan pelayanan secara daring ini? Bisa dilihat bahwa masih ada kesenjangan tingkat pendidikan maupun perbedaan budaya di wilayah Indonesia. Perbandingannya bisa diukur, sebagai contohnya penetrasi penggunaan teknologi bagi masyarakat kota besar sudah luas, karena dekat dengan kehidupan sehari-hari dan menuntut fleksibilitas. Sedangkan daerah kota terpencil maupun daerah ujung timur penetrasi internet dilihat kurang tinggi untuk penggunaan teknologi pelayanan publik.

Peranan Kanal Pajak

Bagi Ditjen Pajak bahwa upaya pemanfaataan satu kanal informasi melalui kanal situs pajak, diperuntukan untuk semua Wajib Pajak karena adanya pembatasan tatap muka untuk layanan tertentu. Terlebih pelaporan daring sudah mulai dibiasakan mulai tahun 2015. Bagi masyarakat yang terbiasa dengan mengakses internet mungkin mudah dan cepat memahami. Sehingga sebuah keterlambatan dalam melaporkan kewajiban perpajakan, dapat dianggap sebuah kesengajaan, karena diberikan rentang jangka waktu pelaporannya.

Berbeda dengan hal Wajib Pajak yang aktivitasnya memerlukan bantuan tatap muka untuk menggunakan pelayanan. Dengan alasan ingin karena kurang cakap atau terbiasa dibantu oleh petugas pelayanan langsung, mungkin dalam kondisi normal masih diterima. Namun dengan kondisi saat ini apakah masih harus mengikuti kebiasaan seperti itu? Sebetulnya prosedur saat ini diyakini untuk mengubah pola pikir berpindah ke teknologi demi terjaminnya informasi perpajakan yang utuh.

Namun dibandingkan dengan di Jawa, wilayah Papua maupun Papua Barat masih terbatas dalam penggunaan teknologi hanya untuk penggunaan sosial media dan masih mengutamakan birokrasi persuratan yang panjang, penetrasi pelayanan publik masih membutuhkan upaya yang lebih. Luasnya wilayah pun menyiratkan bahwa penyuluhan yang diharapkan masih berupa tatap muka, masih sulit menciptakan kesadaran untuk secara mandiri mengakses informasi pada kanal yang disediakan.

Konteksnya ialah jika masih mengharapkan perlakukan secara manual pelayanan dari seorang petugas, berarti ada ketergantungan, terlebih akan menimbulkan sense of conflict of interest, dikarenakan ada sedikit perbedaan perlakuan yang diberikan. Karena public service sangat berbeda sekali dengan hospitality. Dalam konsep hospitality, ada perbedaan perlakukan atas kompensasi dari pengguna berikan untuk mendapatkan pelayanan yang maksimal. Sedangkan pelayanan publik, semua masyarakat memperoleh standar pelayanan yang sama tanpa dipungut biaya sedikit pun.

Membangun Kemandirian

Arah pelayanan publik atas perpajakan saat ini, diharapkan juga membangun kemandirian sebagai warga negara yang sadar akan tugas dan kewajiban. Perubahan ini pun juga menjadi upaya memberikan kepastian waktu dikarenakan prosesnya terekam dalam aplikasi dan membantu mengurangi biaya pengadministrasian yang tidak diperlukan.

Bayangkan saja, jika semua masih dilakukan manual, bagaimana jika masyarakat tidak diupayakan dididik untuk serius memanfaatkan teknologi pada kondisi pandemi besar ini, di samping pembenahan jaringan yang berkualitas menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Pelayanan publik seharusnya akan lebih diarahkan pada tanya jawab melalui telepon maupun web chat, dan berkomunikasi melalui surat elektronik yang tercatat. Kesadaran akan pengunaan teknologi secara menyeluruh ini, pastinya akan membantu dalam pengalokasian pengawasan perpajakan yang lebih demi mengoptimalkan penerimaan negara maupun sebagai sarana proyeksi kemampuan perekonomian di suatu daerah.*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…