Perlu SOP Tes Covid-19

Pemerintah sekarang sudah menetapkan standardisasi harga tes covid-19 (Rapid Test) yaitu maksimal Rp 150.000. Sebelum tarif standar itu keluar, banyak orang terutama calon penumpang pesawat atau kereta api (KA) jarak jauh mengeluhkan besaran biaya rapid test yang mencapai Rp 200.000-Rp 300.000. Jelas, indikasi ini merupakan peluang komersialisasi di tengah kondisi pandemi Covid-19.

Nah, ketika Presiden memerintahkan kepada Ketua Gugus Tugas Covid-19 Letjen TNI Doni Monardo, terungkap bahwa “Bapak Presiden menugaskan Menteri Kesehatan untuk menentukan standardisasi harga,” ujar Doni saat memberikan keterangan pers seusai rapat terbatas pada Kamis (4/6).

Presiden sepertinya sudah mengetahui adanya komersialisasi tersebut, dan akhirnya memerintahkan penetapan standar biaya tes covid-19 agar tidak membebani masyarakat yang akan bepergian. Ada dua jenis alat tes, yaitu tes swab(polymerase chain reaction-PCR) dan tes cepat (rapid test).  Tes swab digunakan untuk mengetahui apakah positif covid-19, sedangkan tes cepat digunakan untuk mengetahui indikasi terkena virus korona.

Hasil tes bebas covid-19 memang sangat dibutuhkan masyarakat yang ingin bepergian. Surat keterangan uji tes PCR dengan hasil negatif atau surat keterangan rapid test dengan hasil nonreaktif yang masing-masing berlaku 14 hari itu, menjadi salah satu syarat mutlak untuk bepergian menggunakan transportasi darat, laut, dan udara.

Sayangnya, Kemenkes tidak mengeluarkan standar operasional prosedur (SOP) bahwa urutan pertama tes Covid-19 harusnya rapid test. Baru setelah hasilnya jika reaktif maka berikutnya wajib melakukan PCR test. Dalam kenyataan di lapangan seringkali dijumpai langsung dilakukan PCR test massal, dan sama sekali tidak didahului oleh rapid test. Mengapa? Karena biaya PCR test jauh lebih mahal dari rapid test.

Anehnya lagi, besaran biaya tes itu berbeda-beda di setiap rumah sakit (RS) sehingga menimbulkan tuduhan adanya komersialisasi. Tes cepat yang relatif lebih murah ketimbang tes swab paling banyak diminati sehingga menjadi ladang bisnis yang menggiurkan sampai-sampai surat palsunya sempat dipasarkan lewat aplikasi.

Indikasi adanya komersialisasi tes cepat diungkapkan Wakil Ketua Ombudsman Republik Indonesia Lely Pelitasari Soebekty. Komersialisasi di atas penderitaan rakyat tentu saja tak sedap dipandang apalagi sengaja diciptakan.  Penggunaan hasil tes bebas covid-19 semakin melebar, tidak lagi hanya untuk kepentingan perjalanan sesuai SE Gugus Tugas Nomor 9 Tahun 2020. Banyak sektor lain ikut-ikutan, misalnya untuk pendaftaran masuk perguruan tinggi. Beberapa rumah sakit mensyaratkan orang berobat harus lolos rapid test. Bahkan, rumah sakit mensyaratkan orang yang menunggui kerabatnya dirawat mesti lolos rapid test.

Nah, jelas hukum pasar berlaku, semakin banyak permintaan, harga kian membubung tinggi. Di sinilah peran negara untuk mengendalikan harga. Komersialisasi tes cepat harus segera diakhiri jika memang pemerintah benar-benar mengurusi rakyatnya. Mengurusi rakyat bukanlah slogan, melainkan dalam tindakan nyata. Apalagi, biaya tes cepat sudah melampaui harga tiket pesawat. Bisa dipahami adanya perbedaan biaya tes cepat sebab alat yang diimpor juga bervariasi harganya.

Selain itu, pasti ada biaya tambahan karena petugas membutuhkan alat pelindung diri saat menjalankan tugas. Akan tetapi, perbedaan harga yang sangat timpang satu sama lain, tentu sulit diterima akal waras. Masyarakat sudah teriak hingga sampai kapan pun, biaya tes Covid-19 tetap selangit.

Adalah sangat rasional dan sesuai dengan tujuan negara melindungi rakyatnya, pemerintah sejatinya dapat membebaskan biaya tes Covid-19. Bagaimanapun, negara intervensi menjaga kesehatan masyarakat dengan menjamin rakyat Indonesia bebas Covid-19 di masa mendatang. Tidak ada ruginya negara memberikan subsidi besar untuk kepentingan kesehatan rakyat keseluruhan. Semoga!

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…