Ironi Pertamina

Oleh: Samsul Hilal, Tenaga Ahli DPR-RI

 

Kinerja Pertamina 2019 kian impresif. Pertamina mencetak rekor setoran pajak dan dividen 2019 yang jumlahnya mencapai Rp136,6 triliun, terdiri dari pajak Rp128,6 triliun dan dividen Rp8,0 triliun. Setoran ini meningkat 13 persen dibandingkan 2018 yang sebesar Rp120,8 triliun (Antara, 19/06/2020).

Pertamina juga menyetor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kegiatan hulu migas dan geothermal sebesar Rp43,7 triliun, serta signature bonus sebesar Rp1,2 triliun sebagai kewajiban dalam perolehan wilayah kerja migas yang baru. Total kontribusi Pertamina kepada negara sepanjang 2019 mencapai Rp181,5 triliun.

Tidak hanya itu. Pertamina juga masuk dalam Top 500 Fortune Global 2019. Peringkatnya melesat menjadi 175, naik 78 tingkat dari sebelumnya di posisi 253 pada 2018. Pertamina bahkan mengalahkan Alibaba dan Facebook.

Prestasi Pertamina ini membanggakan, sekaligus menyedihkan. Membanggakan, karena pada kondisi yang tidak ideal, Pertamina mampu mencatatkan prestasi yang mengesankan dalam skala global dan memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan pada negara. Menyedihkan, karena kondisi yang tidak ideal itu justru diciptakan oleh pemerintah yang seharusnya memberikan kondisi yang ideal kepada Pertamina untuk berkembang pesat.

Kondisi tidak ideal itu setidaknya terlihat pada dua hal: tidak adanya privilege bagi Pertamina dalam memperoleh wilayah kerja migas dan diwajibkannya Pertamina membayar signature bonus untuk memperoleh wilayah kerja migas.

Ketika wilayah kerja migas habis masa kontraknya, ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan pemerintah: memperpanjang kontrak kepada kontraktor eksisting yang notabene adalah kontraktor asing, atau memberikannya kepada Pertamina.

Kebijakan pemerintah terkait hal ini seharusnya mengacu pada putusan Mahkamah Kontitusi No. 036/PUU-X/2012. Menurut MK, negara seharusnya melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya migas nasional. Pengelolaan secara langsung ini merupakan bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting. Dengan pengelolaan secara langsung, seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara sehingga memberi manfaat yang lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud adalah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Merujuk pada amanat konstitusi tersebut, seharusnya Pertamina memperoleh keistimewaan dalam mengelola wilayah kerja migas di Indonesia. Sebagai BUMN migas yang sahamnya seratus persen dimiliki negara, Pertamina seharusnya secara otomatis memperoleh wilayah kerja migas yang sudah habis masa kontraknya sebagai perwujudan penguasaan negara atas sumber daya migas nasional.

Apalagi Pertamina sudah memberikan kontribusi nyata pada negara melalui setoran yang mencapai Rp181,5 triliun pada 2019. Hal ini menjadi bukti pentingnya peran BUMN migas tersebut bagi negara. Seluruh hasil kinerja Pertamina disetorkan kepada negara, baik berupa pajak, dividen, juga PNBP, termasuk signature bonus sebesar Rp1,2 triliun.

Namun kebijakan pemerintah berbeda. Melalui Permen ESDM No.23/2018, pemerintah memprioritaskan kontraktor eksisting untuk tetap menjadi pengelola di wilayah kerja migas yang sudah habis masa kontraknya. Dengan permen ini, kontraktor eksisting diberikan prioritas untuk mengajukan proposal terlebih dahulu dengan membayar signature bonus yang sudah ditetapkan formulanya.

Aturan ini sama saja dengan memberikan kesempatan kepada kontraktor asing untuk terus menguasai pengelolaan migas nasional walaupun telah puluhan tahun berada di Indonesia. Penerapan permen ini antara lain dilakukan dengan keputusan Kementerian ESDM pada 23 Juli 2019 yang memperpanjang kontrak Blok Corridor kepada ChonocoPhillips hingga 2043.

Perpanjangan kontrak ini sangat disayangkan mengingat Blok Corridor masih menyimpan cadangan gas terbukti cukup besar, menurut SKK Migas, mencapai 4 triliun kaki kubik (TCF). Produksi gas Blok Corridor merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 1.100 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau setara 12% dari total produksi gas domestik.

Padahal sebelumnya pemerintah telah mengambil kebijakan pemberian prioritas kepada Pertamina. Pada 31 Juli 2018 pemerintah telah memberikan pengelolaan Blok Rokan kepada Pertamina setelah sebelumnya dikelola oleh Chevron Pacific Indonesia. Pada 1 Januari 2018, pengelolaan Blok Mahakam diserahkan kepada Pertamina, setelah sebelumnya dikelola oleh Total E&P Indonesia dan Inpex Corporation. Alih kelola ini menjadi sejarah industri migas nasional karena Blok Mahakam selama 50 tahun dikuasai asing.

Sayangnya, pemberian Blok Mahakam dan Blok Rokan kepada Pertamina diiringi dengan kewajiban membayar signature bonus yang nilainya besar. Untuk memperoleh Blok Mahakam, Pertamina diwajibkan membayar signature bonus sebesar US$41 juta.

Yang fenomenal, besarnya signature bonus yang diwajibkan kepada Pertamina untuk dapat mengelola Blok Rokan yang nilainya mencapai US$784 juta. Inilah angka signature bonus terbesar dalam sejarah pengelolaan migas di Indonesia. Untuk membayar signature bonus Blok Rokan yang sangat besar ini, Pertamina terpaksa berutang melalui penerbitan global bond atau surat utang di pasar modal Singapura yang nilainya mencapai US$750 juta.

Pemberlakuan signature bonus pada Pertamina ini janggal. Tujuan penerapan signature bonus antara lain untuk menunjukkan bonafiditas dan kesungguhan kontraktor dalam mengelola blok migas yang dimenangkan, sekaligus untuk mencegah terbengkalainya pengelolaan blok migas tersebut. Tentunya pemerintah sudah mengetahui bonafiditas dan kesungguhan Pertamina dalam mengelola blok migas.

Dengan memberlakukan kewajiban signature bonus pada Pertamina berarti pemerintah memperlakukan Pertamina dengan posisi yang sama seperti kontraktor asing. Padahal Pertamina adalah BUMN migas yang seratus persen sahamnya dimiliki negara. Berbeda dengan kontraktor asing, Pertamina menyerahkan seluruh hasil kinerjanya kepada negara.

Sesuai dengan amanat konstitusi, Pertamina merupakan representasi negara yang seharusnya secara otomatis memperoleh wilayah kerja migas yang sudah habis masa kontraknya. Oleh karena itu, pemberlakuan signature bonus pada Pertamina adalah tidak tepat. Kewajiban signature bonus baru relevan jika dikenakan pada kontraktor asing atau swasta.

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…