Mendorong Pariwisata di Era New Normal

 

 

Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti di BKF Kemenkeu *)

 

Awalnya pemerintah berkeyakinan bahwa pembangunan infrastruktur wisata harus selesai di tahun 2020. Hal ini tak lepas dari komitmen menjadikan pariwisata sebagai leading sector yang akan memberikan dampak multiplier terhadap pembangunan sektor-sektor ikutan lainnya. Rampungnya pembangunan infrastruktur juga diharapkan dapat berperan dalam mempercepat implementasi program pembangunan 10 destinasi baru pariwisata super premium. Tak heran jika pemerintah menggeber koordinasi lintas sektor agar dapat bersinergi lebih baik mengingat dalam banyak kasus kendala utama justru muncul dari persoalan di internal ini. Tim gabungan lintas sektor juga dibentuk dengan daftar kinerja unggulan (quick wins) tahun 2019 berupa penggalian secara maksimal beragam potensi wisata di level destinasi melalui pendekatan storynomics tourism, pelibatan peran dari seluruh pemangku kepentingan baik di pusat maupun daerah sekaligus membuka peluang masuknya pendanaan swasta beriringan dengan pendanaan publik via skema public private partnership (PPP) dalam membangun pusat-pusat hiburan.

Tak ketinggalan, pemerintah juga menyelesaikan dokumen Integrated Tourism Master Plan (ITMP) yang berisi dukungan aksesibilitas dan konektivitas antar destinasi pariwisata, peningkatan daya saing sumber daya manusia (SDM) pariwisata dengan masyarakat dan industri, peningkatan promosi pariwisata lewat kegiatan Branding Advertising and Selling (BAS) serta pengembangan wisata berkelanjutan dengan konsep environment community and economic value (ECEV). Di sisi lain, kinerja pariwisata juga terus melejit dalam beberapa dekade terakhir. Pada tahun 2013 saja misalnya kontribusi pariwisata terhadap PDB baru mencapai Rp10,05 juta dolar atau berada di posisi keempat setelah migas, batu bara dan kelapa sawit. Di tahun 2016 sudah meningkat ke posisi runner up menggantikan batu bara dan migas namun masih dibawah sumbangan kepala sawit, dengan besaran 13,45 juta dolar.

Dari sisi devisa negara yang dihasilkan, tahun 2018 mencapai Rp233 triliun dan Rp246 triliun pada 2019. Meski terlihat terus tumbuh secara mengesankan, masih banyak PR wajib dikerjakan pemerintah, terlebih jika membandingkan kontribusi devisa negara pesaing terdekat seperti Thailand yang mampu meraup Rp578,1 triliun dari sektor pariwisatanya. Dari aspek ekonomi mikro, tetesan pariwisata diharapkan mampu menyerap tenaga kerja hingga 13 juta pegawai, indeks daya saing nomor 40 serta jumlah kunjungan wisatawan manca negara 20 juta kunjungan sementara wisatawan domestik mencapai 275 juta kunjungan. 

Era New Normal

Sayangnya, tahun 2020 ditandai dengan bencana wabah pandemi Covid-19 yang menyerang hampir seluruh negara di dunia. Tanpa belas kasihan, bencana ini menyeruak menghancurkan seluruh tatanan ekonomi dan peradaban di dunia. Jutaan orang menjadi korban, jutaan pula menanti hari esok dengan penuh ketidakpastian. Akibat lumpuhnya seluruh aktivitas ekonomi di di masing-masing negara, angka pengangguran dan kemiskinan meroket secara tajam. Globalisasi dan modernisasi ekonomi yang semula amat dipuja, ternyata keropos dan kritis menghadapi terjangan pandemi. Potensi krisis ekonomi pun sudah menghadang di depan mata sehingga inovasi dan terobosan kebijakan dari masing-masing pemimpin menjadi sangat diperlukan. Dibutuhkan pula suatu bentuk dana stimulus pendemi yang jumlahnya sangat signifikan bahkan menggerus arus kas pendanaan negara hingga beberapa tahun ke depan.

Pariwisata tercatat menjadi sektor terpapar paling utama dari bencana pandemi ini. Selain faktor keamanan dan kenyamanan wisata yang tidak terjamin, beberapa kebijakan seperti pembatasan sosial jelas menyebabkan banyak wisatawan mengurungkan niatnya untuk bepergian. Tak heran jika di beberapa pusat destinasi wisata seperti Bali dan Yogyakarta, tingkat hunian kamar hotel mencapai titik nadir terendah dalam sejarah. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor pariwisata juga meningkat pesat seiring dengan peningkatan laju jumlah korban pandemi. Dalam penanganan bencana pandemi secara umum, Pemerintah menggelontorkan dukungan pendanaan dari APBN 2020 sekitar Rp405,1 triliun.

Dari total keseluruhan alokasi belanja tersebut, sekitar Rp150 triliun ditujukan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, Rp110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp75 triliun sebagai tambahan belanja bidang kesehatan dan Rp70,1 triliun sisanya berbentuk insentif perpajakan dan stimulus KUR. Beberapa jenis aktivitas yang masuk dalam skema pemulihan ekonomi nasional melalui dunia usaha diantaranya memberikan stimulus kepada debitur melalui penilaian kualitas kredit hingga Rp10 miliar berdasarkan ketepatan membayar, restrukturisasi kredit tanpa melihat plafon kredit serta kredit UMKM dengan kualitas yang dapat langsung menjadi lancar.

Meski mendapatkan prioritas bantuan dari program stimulus tersebut, hal utama yang dibutuhkan oleh sektor pariwisata adalah kebijakan yang tepat terkait dengan rumusan ke depannya di era ”new normal” ketika masyarakat mulai berani untuk bepergian wisata kembali. Hal positif inilah yang harus ditangkap dengan baik oleh pemerintah terutama ketika banyak pihak memprediksi bahwa pariwisata justru berpeluang melakukan recovery lebih cepat pasca bencana pandemi, asal mampu meyakinkan konsumen tentang standar protokol kesehatan, keamanan dan kenyamanan yang baru di lokasi wisata.

Bencana pandemi ini juga dianggap memberikan perubahan baru di dalam jenis atau tipe dan pengelolaan destinasi wisata termasuk kegiatan ekowisata. Untuk itu perlu evaluasi dan penataan ulang pola perjalanan ekowisata yang disesuaikan dengan kondisi ”new normal”. Ecotourism, adventure tourism, dan wellness tourism diperkirakan akan menjadi primadona baru produk pariwisata di era ”new normal” karena bencana ini memberikan pelajaran kepada masyarakat untuk kembali mencintai alam sembari meningkatkan rasa keperdulian akan pentingnya kegiatan konservasi.

Dalam keterangannya, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) langsung menjawab kebutuhan tersebut melalui pematangan konsep CHR (Cleanlines, Healt and Safety) yang akan wajib diterapkan di seluruh destinasi wisata di tanah air. Di tahap awal, CHR akan diimplementasikan di Bali, Yogyakarta dan Kepulauan Riau kemudian menyusul di lima lokasi destinasi wisata super premium dan akhirnya akan menyeluruh di Indonesia. Untuk item kebersihan, beberapa standar yang akan diatur diantaranya pembersihan ruang dan barang publik dengan disinfektan, ketersediaan sarana cuci tangan dengan sabun, tempat sampah bersih, dan lainnya.

Sementara item kesehatan, protokol yang wajib adalah  koordinasi antara destinasi dengan Satgas COVID-19 daerah dan rumah sakit, pemeriksaan suhu tubuh, gerakan memakai masker, menerapkan etika batuk dan bersin termasuk menghindari berjabatan tangan, serta penanganan bagi pengunjung dengan gangguan kesehatan ketika beraktivitas di lokasi. Standar keselamatan diantaranya pengelolaan pengunjung, pengaturan jumlah kerumunan, pengaturan jarak antar individu, penanganan pengamanan, media dan mekanisme komunikasi penanganan kondisi darurat, dan lainnya.

Kesiapan ini tentu layak diapresiasi bersama sebagai bentuk kemauan untuk segera bangkit menyongsong masa depan yang lebih baik. Secara bersamaan, CHS ini juga akan menjawab problematika daya saing pariwisata Indonesia yang relatif lemah dari sisi kesehatan dan kebersihan, keamanan dan keselamatan serta ketahanan lingkungan. Rendahnya skor pariwisata Indonesia di beberapa variabel tersebut menyebabkan daya saing pariwisata Indonesia hanya menempati peringkat ke-4 di lingkup ASEAN setelah Singapura, Malaysia dan Thailand.

Padahal Indonesia juga memiliki beberapa keunggulan utama daya saing pariwisata di dalam aspek sumber daya alam, budaya dan bisnis pariwisata, prioritas perjalanan dan pariwisata, daya saing harga serta keterbukaan internasional. Untuk itulah, momen bencana pandemic kali ini sebaiknya juga dimaknai sebagai waktu terbaik bagi pariwisata Indonesia untuk kembali berbenah memperbaiki tata kelola sehingga dapat melesat lebih tinggi nantinya di periode ”new normal” yang akan segera kita hadapi. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…