Silap Mengelola Gula

 

 

Oleh: Arif Budi Rahman, Peneliti Kebijakan Publik

Kenaikan harga gula, sebagai komoditas strategis selain beras, selalu memantik perdebatan tentang penyebab dan bagaimana potensi solusinya. Urgensi jangka pendeknya adalah menurunkan harga yang selama beberapa bulan terakhir melambung. Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga rata-rata gula nasional masih mencapai Rp 17.950 per kilogram. Angka itu jauh melampaui harga acuan penjualan di tingkat konsumen (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 12.500 per kilogram.

Penyebab kenaikan harga ditengarai karena keterlambatan pengiriman dari negara pemasok akibat pandemi Covid-19 serta terbatasnya pasokan di pasar. Ganguan akses akibat pembatasan jalur transportasi dan logistik di negara pengekspor serta kesulitan mendapatkan kapal pengangkut terkait protokol kesehatan di sentra produksi negara asal turut memperumit proses importasi. Alhasil, gula impor yang diperkirakan masuk pada bulan Maret-April 2020 mundur menjadi Mei-Juni 2020.

Celakanya, kedatangan gula impor tersebut diperkirakan berbarengan dengan musim giling tebu petani. Jadwal musim giling tebu tahun ini diprediksi mengalami kemunduran 3 bulan dari yang biasanya bulan Maret menjadi bulan Juni karena pengaruh perubahan iklim. Penyebab lain adalah panjangnya rantai distribusi. Rantai distribusi yang melibatkan tiga hingga empat distributor membuat harga gula melambung di tingkat konsumen. Menurut Kementerian Perdagangan, ada 11 provinsi yang memiliki empat mata rantai dalam proses distribusi dan perdagangan gula, sedangkan 23 provinsi lainnya melibatkan tiga mata rantai. Rantai distribusi tersebut adalah produsen, distributor, pedagang grosir, pedagang eceran, dan konsumen akhir.

Selain faktor-faktor pembentuk harga seperti produksi, penyimpanan, dan distribusi tersebut, adapula elemen lain yang mengakibatkan harga gula sulit dikendalikan yakni perilaku pengusaha pergulaan. Perilaku aktor gula merujuk bagaimana para pengusaha berinteraksi dalam melakukan kegiatan usahanya. Tata niaga gula cenderung bersifat oligopolistik yakni pemenuhan pasokan dan distribusi gula hanya dilakukan oleh beberapa pelaku usaha, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau kalangan swasta.

Dalam struktur oligopolistik dimana pasar hanya dikuasai sekelompok pemain, membuka celah terjadinya praktik kongkalikong mempermainkan harga. Laporan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan bahwa HET sebesar Rp.12.500/Kg tidak dinikmati pelaku usaha petani rakyat. Bahkan melambungnya harga saat ini justru dinikmati para pelaku usaha besar nasional dan importir karena selisih harga yang signifikan.

Contohnya, harga gula di Indonesia saat ini jauh berada diatas harga internasional. Mengutip data International Sugar Organization, harga gula nasional mencapai 240%-260% lebih tinggi dari harga internasional pada bulan April dan Mei 2020. Harga gula internasional dalam satu tahun terakhir cenderung stabil di harga antara Rp 5.000 sampai Rp 6.000, per kilogram.

Kondisi tersebut menunjukkan ada ketidakberesan pengelolaan pergulaan nasional dari hulu hingga hilir. Modus mengeruk keuntungan besar oleh para pelaku usaha mulai dari ketidak transparan penetapan penerima kuota impor hingga lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menciptakan ruang bagi para pemburu rente untuk menetapkan harga gula secara eksesif.

Dalam jangka panjang, tarik ulur kepentingan di antara pemangku kepentingan terutama petani, pengusaha, dan pemburu rente berpotensi menjadi kendala upaya swasembada gula. Pemerintah sebagai pemilik otoritas nampaknya perlu memimpin orkestrasi penajaman strategi tata niaga gula melalui koordinasi, harmonisasi, breakthrough (terobosan kebijakan). Mengkoordinasikan semua pemangku kepentingan baik secara horizontal (antar kementerian seperti pertanian dan perindustrian) dan vertikal meliputi jenjang terbawah di tingkat petani hingga pelaku usaha gula nasional merupakan pilihan logis. Harmonisai, akurasi dan transparansi data neraca gula perlu mendapat atensi. Keberadaan sebuah lembaga dengan mandat otoritatif dan komprehensif barangkali diperlukan untuk membypass kendala ego sektoral. Hal ini penting sebagai pijakan melakukan terobosan kebijakan guna menggerus hambatan struktural pemberdayaan industri gula domestik.

Ke depan, kolaborasi kerja diharapkan mampu mendorong efisiensi pergulaan nasional. Kemelut pergulaan dengan berbagai indikasi praktik kartel untuk membatasi suplai ke pasar dan mempermainkan harga perlu segera diakhiri. Tanpa keseriusan para pemangku kepentingan, mustahil rasanya Indonesia mampu kembali menjadi salah satu pemain utama gula sebagaimana pada masa kejayaannya beberapa dekade lalu.

BERITA TERKAIT

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…