Bagi Hasil Pajak di Era Pandemi

 

 

Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu *)

 

Meski sudah mereda, penulis mencermati sempat muncul polemik berkepanjangan terkait isu percepatan penagihan Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak oleh Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah Pusat. Secara ringkas kronologisnya dimulai ketika Pemda DKI Jakarta menyampaikan surat resmi kepada Pemerintah Pusat yang menunjukkan angka kurang bayar DBH Pajak untuk tahun anggaran 2019 sekitar Rp5,2 triliun. Merujuk kepada mekanisme pembayaran alokasi DBH setiap tahunnya, potensi munculnya kurang bayar atau lebih bayar adalah hal yang lumrah dan biasa terjadi karena memang perhitungan DBH relatif berbeda dengan perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Alokasi Khusus (DAK), meski ketiganya merupakan bagian dari Transfer ke Daerah (TkD). Jika perhitungan DAU dan DAK lebih bersifat pasti dan dapat diproyeksi, maka DBH sedikit berbeda karena alokasinya di APBN didasarkan kepada proyeksi angka penerimaan yang akan dibagihasilkan, namun saat akan dibayarkan kepada daerah penerima didasarkan pada angka realisasi penerimaan di tahun berjalan.  

Dalam Undang-undang (UU) Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, DBH ini didefinisikan sebagai hak daerah atas pengelolaan sumber-sumber penerimaan negara yang dihasilkan dari masing-masing daerah, yang besarnya ditentukan atas daerah penghasil (by origin) yang didasarkan atas ketentuan perundangan yang berlaku. Berdasarkan regulasi, DBH dapat dibagi menjadi DBH perpajakan serta DBH sumber daya alam (SDA). Sumber-sumber penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan meliputi pajak penghasilan PPh) pasal 21 dan pasal 25/29 orang pribadi, pajak bumi dan bangunan (PBB) dan Cukai Hasil Tembakau (CHT). Sementara itu, sumber-sumber penerimaan SDA yang dibagi hasilkan adalah minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, panas bumi dan perikanan.

Mekanisme dan Fakta

Proses penyaluran DBH dari pusat ke daerah dilaksanakan melalui periodisasi triwulanan setiap tahunnya. Triwulan I akan dicairkan paling lambat Maret, triwulan II di bulan Juni, triwulan III bulan September dan triwulan IV paling lambat di Desember. Sama halnya dengan DAU, karena bersifat block grant maka pemanfaatan DBH diserahkan kepada diskresi masing-masing daerah kecuali DBH yang bersifat earmark seperti DBH Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan DBH SDA Kehutahan Dana Reboisasi (DR) yang penggunaannya sudah diarahkan. Dengan demikian daerah dapat menggunakan alokasi DBH tersebut untuk kebutuhan belanja apapun yang menjadi prioritas masing-masing baik operasional maupun belanja fisik pembangunan. Dilihat dari aspek filosofi, DAU dan DAK dibentuk untuk mengurangi ketimpangan antar daerah (horisontal imbalances) di era desentralisasi fiskal sementara DBH ditujukan untuk mengurangi ketimpangan veritkal (vertical imbalances) antara pusat dan daerah.

Karena sifat block grant dari mekanisme DBH tersebut, tak heran jika Provinsi DKI Jakarta kemudian bermaksud untuk meminta percepatan pelunanasan kurang bayar DBH pajak tahun anggaran 2019 sekitar Rp5,2 triliun, terlebih di tengah masa pandemi wabah Covid-19 ini. Meski APBD Provinsi DKI Jakarta selalu tercatat menjadi yang terbesar diantara seluruh daerah di Indonesia, gelombang resesi yang muncul memang membawa dampak signifikan pada penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang menjadi primadona utama di DKI Jakarta. Penerapan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang pertama serta terus diperpanjang mau tak mau juga membawa konsekuensi meningkatnya kebutuhan alokasi belanja sosial yang harus ditanggung oleh APBD Provinsi DKI Jakarta, meski sebetulnya sedikit dibantu juga oleh belanja APBN. Menjaga arus kas daerah dalam APBD menjadi dasar pertimbangan lainnya.

Di sisi lain, dasar pertimbangan mengapa Pemerintah Pusat belum mengalokasikan kurang bayar (KB) DBH, juga didasarkan atas aturan yang sudah ditetapkan setiap tahunnya, dimana sebelum ditetapkannya KB DBH tersebut perlu diperhitungkan terlebih dahulu selisih antara DBH yang ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan yang dibagihasilkan terhadap DBH yang telah disalurkan dalam tahun anggaran berjalan tersebut. Menurut data pemerintah pusat, perhitungan alokasi DBH pajak untuk Provinsi DKI Jakarta di APBN 2019 mencapai Rp16,1 triliun, sedangkan prognosis realisasi DBH tahun 2019 turun menjadi Rp14,8 triliun sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 180/PMK.07/Tahun 2019 tentang Perubahan Rincian Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) Triwulan IV Tahun Anggaran 2019. Di dalam PMK juga disampaikan bahwa prioritas penyaluran DBH triwulan IV tahun 2019 akan diberikan untuk penyelesaian sebagian kurang bayar DBH hingga tahun 2018 sebagaimana ketetapan PMK Nomor 140/PMK.07/2019.

Satu hal lainnya yang perlu dipahami juga bahwa penyaluran kurang bayar pemerintah selalu dijalankan berdasar hasil audit resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) via Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) audited. Audit BPK dimaksud bertujuan untuk memberikan kepastian berapa sesungguhnya realisasi penerimaan yang dibagihasilkan pada tahun anggaran berjalan. Dengan demikian ketika melakukan penghitungan, maka realisasi penerimaan LKPP audited ini akan dibandingkan dengan besaran alokasi yang sudah disalurkan pada periode sebelumnya. Hingga Desember 2019, angka realisasi penyaluran DBH 2019 versi pemerintah sudah mencapai Rp9,7 triliun, sedangkan sisa penyaluran sebesar Rp5,2 triliun seperti yang disampaikan Provinsi DKI Jakarta akan diperhitungkan sebagai KB DBH tahun anggaran 2019 berdasarkan audit BPK atas LKPP TA 2019, yang sampai dengan saat ini audit tersebut belum dilaksanakan.

Dari penjelasan tersebut, Pemerintah Pusat dan Provinsi DKI Jakarta memang memiliki dasar argumentasi masing-masing secara proporsional. Tak salah jika akhirnya solusi mempercepat pembayaran kurang bayar DBH pajak di bulan April 2020 dari yang seharusnya dilaksanakan pada bulan Agustus 2020, sekiranya menjadi opsi terbaik sekaligus menunjukkan itikat positif dari pemerintah pusat kepada daerah untuk tetap menjaga tata kelola anggaran dengan baik namun juga mampu menjukkan fleksibilitas yang diperlukan di tengah masa-masa sulit kali ini. Dan seyogyanya, Provinsi DKI Jakarta juga berbalas untuk menunjukkan gelagat positif yang sama terkait pemanfaatan dana-dana tersebut. Masih tingginya beban belanja operasional dalam APBD sekiranya perlu dicermati sebagai salah satu opsi terbaik dalam melakukan skema re-alokasi belanja.

Sebagai catatan, penyesuaian belanja operasional di dalam APBD juga dimungkinkan berdasarkan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Keuangan (Menkeu) Nomor 119/2813/SJ dan Nomor 177/KMK.07/2020 tentang Percepatan Penyesuaian APBD Tahun 2020 Dalam Rangka Penanganan Covid-19 Serta Pengamanan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional. Terkait percepatan penyesuaian APBD, secara umum diinstruksikan kepada masing-masing Kepala Daerah untuk menyesuaikan pendapatan dari Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memperhitungkan potensi pajak/retribusi sekaligus perkiraan asumsi makro. Penyesuaian belanja daerah juga dimungkinkan untuk rasionalisasi belanja pegawai yang meliputi tunjangan tambahan penghasilan, honorarium dan uang lembur.

Rasionalisasi belanja barang dan jasa juga diatur sekurang-kurangnya 50% untuk item belanja perjalanan dinas, barang pakai habis, cetak, pakaian dinas, pemeliharaan, perawatan kendaraan, sewa, jasa kantor, konsultasi, tenaga ahli, konsumsi rapat sekaligus sosialisasi. Khusus untuk rasionalisasi belanja modal juga diarahkan minimal 50% meliputi pengadaan kendaraan, mesin/alat berat, tanah, renovasi gedung/ruangan plus pembangunan gedung baru. Hasil dari keseluruhan penyesuaian ini kemudian diarahkan untuk penambahan belanja bidang kesehatan dan hal-hal lain terkait kesehatan dalam pencegahan dan penanganan pandemi, penyediaan jaring pengaman sosial via bansos untuk masyarakat miskin yang mengalami penurunan daya beli sekaligus penanganan dampak ekonomi termasuk UMKM dan koperasi sebagai upaya pemulihan perekonomian di daerah.  

Peningkatan level koordinasi dengan pusat juga perlu terus ditingkatkan sehingga pemanfaatan sumber daya bersama dapat lebih optimal. Beberapa percepatan regulasi TKD dalam penanganan bencana wabah juga dapat dimanfaatkan. PMK Nomor 19/PMK.07/2020 terkait Penyiapan Dana Pencegahan dan/atau Penanganan Covid-19 yang bersumber dari Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dan Dana Insentif Daerah (DID). Selain itu disahkan pula Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 6/KM.7/2020 tentang Penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Kesehatan dan Dana Bantuan Operasional Kesehatan Dalam Rangka Pencegahan dan/atau Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Dengan PMK Nomor 19/2020, maka daerah dapat menggunakan alokasi DBH yang terdiri dari DBH CHT, DBH Sumber Daya Alam (SDA) selain DBH Kehutanan DR, dan DBH SDA Migas dalam rangka Otonomi Khusus. Secara reguler, DBH CHT ini digunakan minimal 50% untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sementara untuk DBH SDA Migas Otonomi Khusus, sebelumnya minimal 15% untuk kesehatan dan perbaikan gizi. Dalam kondisi pandemi ini, kedua komponen DBH tersebut diperbolehkan untuk dipakai sebagai dana pencegahan dan/atau penanganan COVID-19. Penggunaan sisa 50% DBH Cukai dan 85% DBH SDA Migas diserahkan kepada Pemda sesuai kebutuhan daerahnya masing-masing. Hal yang sama juga diamanatkan untuk penggunaan DID penyaluran tahap I dan II yang terkait dengan pemanfaatan pelayanan dasar publik bidang kesehatan.

Untuk mekanisme DAK Fisik Bidang Kesehatan dan Dana Bantuan Operasional Kesehatan, jika memang daerah belum menganggarkan maka dapat diperbolehkan melakukan revisi kegiatan dan anggaran dengan tetap mendapatkan rekomendasi teknis dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai pemangku sektoralnya. Apabila sudah diberikan rekomendasi Kemenkes, maka DAK Fisik Bidang Kesehatan untuk Covid-19, dapat dicairkan paling lambat 7 hari kerja setelah dokumen rencana kegiatan diterima Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (Kepala KPPN) dan tercantum dalam sistim informasi perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi. Khusus untuk Dana Bantuan Operasional Kesehatan tahap I, dinyatakan bahwa daerah tidak perlu menyampaikan laporan realisasi tahun sebelumnya serta tidak memperhitungkan sisa dana di Rekening Kas Umum Daerah (RKUD). Untuk Dana Bantuan Operasional Kesehatan Tahap II, maka daerah perlu menyampaikan laporan realisasi tahun 2019, laporan penyerapan dan penggunaan tahap I tahun 2020. Selain itu, juga memperhitungkan sisa dana di RKUD tahun sebelumnya.

Dalam skema perlindungan sosial, Provinsi DKI Jakarta juga dapat bersinergi dengan program-program terkait dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok sebesar Rp25 triliun, bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dibayarkan mulai April 2020, kartu sembako naik menjadi Rp200.000 selama 9 bulan untuk 20 juta penerima, kartu prakerja juga naik menjadi Rp20 triliun untuk dapat mengcover sekitar 5,6 juta pekerja informal (termasuk pelaku usaha mikro dan kecil), pembebasan biaya listrik 3 bulan untuk 24 juta pelanggan 450VA sekaligus diskon 50% untuk 7 juta pelanggan 900VA bersubsidi.

Sebagai catatan penutup dari seluruh penjelasan, persoalan sinergi dan koordinasi sekali lagi tetap menjadi kata kunci yang mudah diucapkan namun terasa sangat sulit dijalankan. Mengingat saat ini seluruh dunia sedang dilanda wabah pendemi Covid-19, tak ada alasan lagi untuk tidak mengedepankan asas kolaborasi ini. Pemerintah Pusat tidak akan mampu mengatasi permasalahan wabah jika daerah dan seluruh pemangku kepentingan yang terkait tidak memberikan support secara maksimal. Karenanya hilangkan seluruh perbedaan atas dasar pertimbangan apapun karena masa depan bangsa dan negara ada ditangan para pemangku kepentingan saat ini. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.  

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…