Tradisi Bakar Batu yang biasanya digelar menyambut Ramadhan di Kampung Walesi dan Kampung Tulima di Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, tahun ini tidak diselenggarakan demi mencegah penularan virus corona (Covid-19). Sebelum datangnya pandemi, warga Muslim biasanya menggelar Bakar Batu bersama warga Kristen dan Katolik di halaman Masjid Al Aqsha di Kampung Walesi. Sayangnya tahun ini tradisi tersebut terpaksa digelar di honai (rumah adat) masing-masing.
"Tradisi Bakar Batu ini juga sekaligus sebagai bentuk ucapan syukur bulan Ramadhan telah tiba, sebagai bentuk silaturahmi dan saling meminta maaf dengan seluruh kerabat, baik itu kerabat Muslim maupun kerabat Kristen," kata Tahuluk Asso, pemuka agama Islam di Kampung Walesi, seperti yang dikutip dari kantor berita Antara.
Warga Muslim yang tinggal di Lembah Baliem menyesuaikan tradisi dengan ajaran Islam dalam menggelar Bakar Batu. Babi yang biasanya digunakan dalam tradisi diganti dengan ayam yang sudah disembelih sesuai dengan ajaran agama Islam. Dalam acara itu, para lelaki bertugas menyusun batu di atas tumpukan kayu kering serta dedaunan dan rumput kering yang kemudian akan dibakar.
Tidak jauh dari tempat batu dibakar, sudah disiapkan lubang di tanah. Batu yang sudah dibakar selanjutnya ditata di lubang itu. Bahan makanan seperti sayuran, keladi, ubi jalar, singkong, pisang, dan ayam lantas ditaruh di atasnya. Setelah itu, batu-batu panas akan diletakkan di atas tumpukan makanan.
Setelah sekitar tiga jam, ayam, ubi jalar, singkong, serta sayuran yang diletakkan di antara batu panas itu bisa diangkat dan disantap bersama. "Suku Dani di Kampung Tulima dan Kampung Walesi akan tetap menjaga dan memelihara tradisi bakar batu warisan nenek moyang, walaupun begitu tetap menjaga akidah Islam," kata Abu Hanifah Asso, anak Kepala Suku Tahuluk Asso.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jayawijaya Alpius Wetipo mengatakan tradisi Bakar Batu menyambut Ramadhan di Lembah Baliem merupakan contoh toleransi antar-umat beragama yang perlu dilestarikan. "Kampung Tulima dan Kampung Walesi akan dikembangkan sebagai destinasi wisata pendidikan agar nilai-nilai toleransi diketahui dan diajarkan pada siswa sekolah," katanya.
Transmigran Muslim dari Jawa yang datang sekitar tahun 1960-an ke Lembah Baliem memperkenalkan Islam kepada warga setempat. Selain dari para guru dan transmigran dari Jawa di daerah Sinata, yang kini disebut Megapura, di Distrik Asso-Lokobal, warga asli Lembah Baliem mengenal Islam dari interaksi dengan pendatang dari Bugis.
Merasugun, Firdaus, dan Muhammad Ali Asso disebut sebagai generasi pertama pemeluk Islam di Lembah Baliem pada tahun 1970-an. Mereka berperan dalam menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah tersebut. Kini sebagian Suku Dani yang tinggal di Lembah Baliem memeluk Agama Islam, termasuk di antaranya yang tinggal di Kampung Tulima dan Kampung Walesi.
NERACA Jakarta - Vila mewah Xerana Resort siap untuk dibangun di kawasan Pantai Pengantap, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dengan luas…
NERACA Jakarta – Caffè Vergnano 1882, salah satu merek kopi paling bergengsi dari Italia, resmi membuka outlet pertamanya di Indonesia, menandai…
NERACA Jakarta - Selebriti Mikha Tambayong didaulat menjadi duta pariwisata Taiwan pertama di Indonesia. Dihadapan para awak media Mikha menceritakan…
NERACA Jakarta - Vila mewah Xerana Resort siap untuk dibangun di kawasan Pantai Pengantap, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dengan luas…
NERACA Jakarta – Caffè Vergnano 1882, salah satu merek kopi paling bergengsi dari Italia, resmi membuka outlet pertamanya di Indonesia, menandai…
NERACA Jakarta - Selebriti Mikha Tambayong didaulat menjadi duta pariwisata Taiwan pertama di Indonesia. Dihadapan para awak media Mikha menceritakan…