Pertumbuhan Konsumsi Berpotensi Tertahan

Oleh: Akhmad Akbar Susamto, Ph.D

Dosen FEB Universitas Gadjah Mada

Meskipun kinerja perdagangan dan investasi diperkirakan akan mengalami perbaikan marginal pada tahun 2020, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama ekonomi nasional justru berpotensi tertahan, atau bahkan sedikit melambat. Sejumlah faktor yang berpotensi memperbaiki pendapatan masyarakat tahun depan yaitu :

Pertama, Potensi peningkatan harga komoditas yang menjadi sumber mata pencahariaan masyarakat seperti tanaman sawit. Meskipun demikian, kenaikan harga tersebut relatif tipis.

Kedua, Alokasi anggaran bantuan sosial direncanakan meningkat pada tahun depan yaitu : Anggaran Kartu Sembako Murah (KSM) yang meningkat 35%, Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang naik 37% dan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN) yang naik 83% dibandingkan 2019.

Ketiga, kenaikan upah minimum provinsi yang naik 8,5% diperkirakan juga akan berkontribusi terhadap kenaikan gaji pekerja. Meskipun demikian, dampak peningkatan UMP terhadap pendapatan riil tidak terlalu signifikan mengingat tingkat kepatuhan terhadap regulasi UMP yang masih terbatas dan kondisi perekonomian yang belum kondusif.

Keempat, penyelenggara Pilkada di Sembilan provinsi (26,5% dari total jumlah provinsi di Indonesia)dan 261 Kabupaten/Kota (51% dari total jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia) akan mendorong peningkatan konsumsi di daerah-daerah tersebut.

Kelima, penyelenggara kebijakan moneter pada tahun 2019 yang diperkirakan berlanjut hingga 2020 akan mulai berdampak positif terhadap sektor riil, diantaranya mendorong kenaikan permintaan kredit perumahan, kendaraan bermotor, dan modal kerja.

Sayangnya, disaat ada potensi perbaikan dari sisi pendapatan, sejumlah kebijakan pemerintah lainnya di tahun 2020 malah akan mendorong inflasi dan menggerus daya beli, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah. Beberapa kebijakan tersebut adalah :1. Rencana penghapusan subsidi listrik golongan 900 VA, yang diprediksi akan berdampak pada 6,9 juta pelanggan, 2. Pemangkasan subsidi solar 50% dari Rp2.000/liter menjadi Rp1.000/liter. 3. Pemangkasan subsidi LPG  3 kg sebesar 22% dari Rp69.604 miliar di tahun 2019 menjadi Rp54.435 miliar pada 2020. 4. Kenaikan iuran BPJS kesehatan hingga 100% untuk pelanggan kategori bukan penerima bantuan iuran. Kebijakan ini akan meningkatkan pengeluaran untuk layanan kesehatan bagi 89,7 juta jiwa atau 41% dari total pelanggan BPJS.

Disamping itu, rencana kanaikan cukai rokok sebesar 23% yang akan efektif per 1 Januari 2020 juga berpotensi menaikan harga eceran rokok hingga 35%. Kenaikan cukai rokok di 2020 ini jauh lebih tinggi daripada kenaikan cukai pada 2018 yang mencapai 10%. Dengan jumlah perokok yang mencapai 34% dari total penduduk Indonesia (2016), kenaikan cukai sebesar 23% akan berkontribusi signifikan terhadap inflasi volatile food. Apalagi, bagi masyarakat berpendapatan bawah, rokok adalah salah satu barang yang paling banyak dikonsumsi setelah beras.

Keniakan biaya hidup akibat sejumlah kebijakan pemerintah di atas sangat mungkin akan berdampak lebih besar terhadap daya beli masyarakat dibandingkan dengan lima faktor sebelumnya yang berpotensi mendorong peningkatan pendapatan. Padahal indikasi pelemahan konsumsi masyarakat mulai terlihat sejak triwulan ketiga tahun 2019 ini.

Sejumlah indikator konsumsi masyarakat mulai menunjukan perlambatan yang sangat signifikan. Indeks penjualan riil yang dirilis oleh Bank Indonesia misalnya, menunjukan pertumbuhan yang hanya mencapai 1,4% di triwulan ketiga, setelah di triwulan pertama dan kedua mencapai pertumbuhaan 9,4% dan 4,2%. Pertumbuhan kendaraan bermotor sepanjang tahun ini mengalami kontraksi dibanding tahun lalu.

Melambatnya konsumsi rumah tangga ini berdampak pada penurunan permintaan terhadap barang-barang manufaktur. Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia yang dikeluarkan Nikkei menunjukan kontraksi sektor manufaktur secara persisten sejak bulan Juli hingga Oktober 2019, yang tidak hanya disebabkan oleh penurunan permintaan ekspor, tetapi juga berkurangnya permintaan domestik. (W)

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…