Baleg: Omnibus Law Harus Menyatukan 74 UU

Baleg: Omnibus Law Harus Menyatukan 74 UU 

NERACA

Jakarta - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya mengatakan ada sejumlah persoalan yang harus segera disikapi pemerintah terkait wacana penyatuan UU atau Omnibus Law, salah satunya ada 74 UU yang harus disatukan.

"Di Baleg sendiri banyak hal yang kami diskusikan, masalah Omnibus Law ini adalah mungkin sekitar 74 undang-undang yang harus disederhanakan," kata Willy dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/11).

Karena itu menurut dia, masalah yang dihadapi adalah bukan berapa banyak UU yang dihasilkan namun seberapa harmonis satu UU dengan UU yang lain.

Willy menjelaskan, ada sebanyak 22 UU di antaranya berhubungan dengan ketenagakerjaan, sekitar 20 UU berhubungan dengan investasi yang harus disatukan, dan beberapa regulasi tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)."Ada banyak peraturan perundang-undangan yang mungkin satu sama lain yang tidak harmonis," ujar dia.

Politisi Partai NasDem itu menilai mewujudkan Omnibus Law itu bukan ibarat seperti membangun candi yang dikerjakan dalam tempo satu malam karena di level kementerian saja butuh koordinasi, lalu bagaimana kompartemen turunannya

Menurut dia, Omnibus Law bukan hanya sekedar menyederhanakan jumlah UU namun sejauh mana penyatuan UU itu harmonis menjadi sebuah produk legislasi."Bagaimana prosesnya kita menunggu, karena ini inisiatif pemerintah. Tapi Baleg bersiap-siap untuk kemudian bisa senafas, seiring dan sejalan dengan usulan pemerintah," kata dia.

Namun dia menegaskan bahwa Baleg DPR RI mendukung keinginan politik atau "political will" Presiden Jokowi terkait Omnibus Law karena bertujuan untuk mengatasi masalah cipta lapangan kerja, UMKM, dan investasi.

Anggota Baleg DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Christina Aryani menilai selama ini Baleg mendapatkan sorotan karena nilai kurang produktif dalam menghasilkan produk legislasi, dan selalu pertanyaannya terkait kualitas atau kuantitas.

Dia menilai produk legislasi yang dihasilkan DPR RI seharusnya mengutamakan kualitas karena kalau mempunyai banyak produk legislasi namun berujung pada uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), maka akan dinilai tidak bagus.

"Selama ini kita harus mempunyai acuan, mungkin kita harus lebih realistis, ketika menyusunnya apa yang bisa dicapai dan kita sudah bisa lihat dari selama ini kecenderungannya, asumsi mana yang moderat dan mana yang optimistis," kata dia.

Christina menyarankan agar tiap komisi membahas sekitar dua atau tiga RUU dalam satu tahun. Ant

 

 

BERITA TERKAIT

Kejagung-Kementerian BUMN Rapatkan Pengelolaan "Smelter" Timah Sitaan

NERACA Pangkalpinang - Kejagung bersama Kementerian BUMN akan segera merapatkan pengelolaan aset pada lima smelter (peleburan) timah yang disita penyidik…

KPPU Kanwil I: Harga Beras Berpotensi Bentuk Keseimbangan Baru

NERACA Medan - Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kanwil I Ridho Pamungkas menyatakan harga beras berpotensi membentuk keseimbangan baru.…

DJKI Kembalikan 1.668 Kerat Gelas Bukti Sengketa Kekayaan Intelektual

NERACA Jakarta - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM mengembalikan barang bukti sengketa kekayaan intelektual berupa 1.668…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…