Batik: Motif, Pasar & Budaya

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Penetapan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional tidak hanya mengacu kepada kepentingan budaya karena batik merupakan salah satu warisan budaya, tetapi juga nilai penting terhadap sosial ekonomi, terutama bagi sejumlah daerah yang identik dengan predikat Kota Batik. Bahkan, industri batik mampu menyerap 200 ribu pekerja dan nilai ekspornya bisa menembus US$ 18 juta (Neraca, 25-9-2019). Terkait ini tema Hari Batik Nasional 2019 yaitu “Membatik Untuk Negeri” dengan harapan ada nilai penting batik terhadap geliat ekonomi kerakyatan dan imbas terhadap perekonomian. Sejumlah sentra batik, termasuk Solo juga berkepentingan terhadap pengembangan nilai batik itu sendiri karena selama ini Solo dikenal sebagai sentra industri batik terbesar di Indonesia. Kilas balik penetapan Hari Batik tidak bisa lepas dari komitmen Unesco pada 2 Oktober 2009 menetapkan batik sebagai warisan Kemanusiaan untuk budaya Lisan dan nonbendawi (Masterpieces of the oral and intangible heritage of humanity). 

Relevan dengan peringatan Hari Batik adalah momentum untuk pendataan ulang hak cipta. Hal ini terutama mengacu pengesahan revisi UU no. 19/2002 tentang Hak Cipta. Regulasi memberikan sanksi yang lebih tegas kepada pembajak dan perlindungan bagi pencipta. Oleh karena itu implikasi dari kebijakan ini memberikan peluang bagi industri batik nasional untuk bangkit, terutama terkait dengan ancaman pembajakan motif batik dan sekaligus hal ini menjadi momentum untuk membangkitkan industri batik nasional. Artinya, hal ini menjadi penting terutama dikaitkan pelaksanaan globalisasi karena hak cipta itu sendiri bisa menjadi daya saing karena setiap daerah dan produsen memiliki corak dan ciri khas batik yang berbeda dan unik sehingga menjadi nilai jual tinggi dan sekaligus menjadi daya saing. Artinya, keberagama motif dan corak yang ada di setiap daerah menjadi keunggulan komparatif yang bernilai sangat strategis.

Potensi Batik  

Potensi batik nasional memang cukup besar dan karenanya hak cipta menjadi salah satu upaya untuk mendukung eksistensi batik nasional. Relevan dengan ini, potensi batik di sejumlah sentra batik juga berkembang. Jika dicermati upaya untuk mengangkat pamor industri batik terus dilakukan. Terkait ini, agenda World Batik Summit 2011 tanggal 28 September – 2 Oktober di Jakarta dimaksudkan meneguhkan Indonesia sebagai “Global Home of Batik”, selain itu juga ada Hari Batik Nasional setiap 2 Oktober. Penetapan Hari Batik tidak lepas dari penetapan batik sebagai warisan pusaka dunia oleh Unesco sejak 8 tahun lalu. Bahkan, pemerintah melalui Keppres no. 33/2009 menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional dan ada banyak peluang untuk memanfaatkan batik sebagai potensi pencitraan, termasuk juga bagi sejumlah sentra industri batik.

Esensi dari pengesahan revisi UU UU no. 19/2002 tentang Hak Cipta juga memberikan pengaruh positif bagi kebangkitan industri batik di Solo, Yogya dan sejumlah sentra batik. Tidak bisa dipungkiri bahwa Solo identik dengan batik dan Kampung Laweyan menjadi sentra industri batik. Bahkan Laweyan ditetapkan oleh Jokowi (waktu menjadi Walikota Solo) sebagai kampung batik dan harapan utamanya yaitu menjadikan batik sebagai industri kreatif yang memberikan andil penyerapan tenaga kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kontribusinya terhadap nilai ekonomi. Upaya me-marketing-kan dan memperkuat branding serta positioning Solo sebagai Kota Batik terlihat pada berbagai event yang lekat dengan nuansa batik, mulai dari perhelatan Solo Batik Carnival, Solo Batik Fashion dan berbagai kegiatan lain yang identik dengan batik.

Harapan dari branding, positioning dan komitmen me-marketing-kan Solo sebagai Kota Batik tentu tidak bisa lepas dari komitmen pemerintah menumbuhkembangkan industri kreatif, pemberlakuan otda dan juga penciptaan produk-produk unggulan di daerah yang berbasis ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat sekitar. Batik Solo, Yogya serta semua sentra batik telah menjadi industri rumahan yang melibatkan banyak komponen dan cenderung padat karya sehingga mata rantai dari industri batik sangat kompleks. Persoalannya, saat ini pasar sedang bersaing dengan batik made in Cina, terutama pasca ACFTA. Ancaman lainnya adalah pemberlakuan MEA 2015 sehingga pasar batik akan semakin berkompetisi. Oleh karena itu pengesahan UU no. 19/2002 tentang Hak Cipta memberikan peluang kepada industri batik untuk bangkit dari ancaman pembajakan motif batik. Artinya, ini menjadi tantangan meningkatkan citra Solo sebagai Kota Batik.

Tantangan

Yang juga menarik dicermati saat pembukaan Pekan Batik Internasional di Lapangan Jetayu, Pekalongan tahun 2009 lalu pemerintah menegaskan batik menjadi salah satu produk lokal yang prospektif dikembangkan. Selain itu, industri batik yang padat karya menjadi salah satu potret industri kreatif yang layak dikembangkan. Bahkan, eksistensi batik harus dijadikan momentum untuk mewujudkan komitmen pemerintah terhadap kampanye cinta produk dalam negeri. Artinya, ini juga menjadi tantangan bagi kepala daerah yang menjadi sentra industri batik untuk meningkatkan kualitas produk batik.

Esensi kampanye cinta produk dalam negeri, eksistensi dari produk lokal dan aspek penumbuhkembangan industri kreatif, mantan Presiden SBY saat pembukaan Pameran Inacraft ke-11 di Jakarta Convention Centre 21 April 2009 lalu mengampanyekan cinta produk dalam negeri dan resmi meluncurkan logo ‘Aku Cinta Indonesia 100%’. Aspek terkait hal ini secara tidak langsung implementasi dari Inpres no 2 tahun 2009 tentang Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri atau P3DN yang berlaku Maret 2009.

Harapan utama kampanye ACI 100% yaitu meningkatkan cinta produk dalam negeri dan batik bisa menjadi sarana memulainya. Penetapan Hari Batik Nasional berdasarkan Keppres no. 33 Tahun 2009 juga merupakan upaya memacu industri batik. Artinya, batik nasional tidak hanya dilindungi dengan UU, tapi juga kampanye nasional melalui Hari Batik Nasional yang didukung oleh komitmen Unesco. Sukses mengangkat citra batik akan memacu geliat ekonomi kerakyatan karena batik basisnya adalah industri yang padat karya dengan mata rantai yang kompleks.

 

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…