RUU Pengkerdilan Koperasi

 

Oleh : Suroto, Ketua Koperasi Trisakti (KOSAKTI), Alumnus Unsoed

 

Setelah UU Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 24 Mei 2014, atas inisiatif pemerintah telah disusun kembali Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perkoperasian yang baru.

Tapi rupanya, RUU Perkoperasian yang saat ini dalam pembahasan tahap akhir sebelum dibawa ke Rapat Paripurna, ternyata tidak banyak memperhatikan masalah fundamental koperasi dan justru kerdilkan koperasi.

Dalam RUU Perkoperasian tersebut, nilai-nilai demokrasi, keswadayaan, gotong royong, kekeluargaan  diakui, tapi begitu membaca isi batang tubuhnya secara menyeluruh, nilai-nilai tersebut ternyata justru dioposisi. Pasal-pasal dalam batang tubuh RUU tersebut banyak yang menghantam langsung jantung jatidiri koperasi.

Dekopin Wadah Tunggal?

Dalam RUU Perkoperasian tersebut, Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) didorong jadi wadah tunggal organisasi gerakan koperasi (pasal 130). Kemudian semua koperasi diwajibkan membayar iuran untuk Dekopin (pasal 82 huruf h dan pasal 132). Ditambah lagi, pemerintah wajib sediakan pendanaan dari sumber alokasi APBN dan APBD (pasal 133) untuk Dekopin. 

Tunggalisasi wadah gerakan koperasi secara paksa ini tentu bertentangan dengan prinsip kerja koperasi yang demokratis, yang mendapat jaminan konstitusi kita. Sebab, UUD 1945 pasal 28 D secara tegas memberikan jaminan kebebasan bagi setiap orang untuk berserikat dan berkumpul.

Organisasi gerakan koperasi yang berhasil dimanapun di dunia ini selalu mengikuti mekanisme demokrasi sebagai prinsip kerja penting mereka.  Prakarsa dari anggota-anggotanya untuk mengambil manfaat berkoperasi mendorong mereka untuk bergabung dan mengembangkan organisasi mereka agar lebih kuat.

Sebaliknya, model-model pengembangan organisasi yang berjalan secara atas-bawah (top down) ternyata tak hanya menemui kegagalan, memandegkan dinamika organisasi, tapi juga tak berkelanjutan. 

Iuran bagi sebuah organisasi gerakan adalah penting untuk membiayai organisasi, tapi dengan mewajibkanya bagi anggotanya melalui alat kewenangan yang diatur oleh undang-undang bukan hanya akan menghancurkan asas kesukarelaan koperasi, tapi fungsi resiprokasinya juga akan menjadi hilang. Dekopin sebagai sebuah organisasi syah-syah saja memberlakukan konsep iuran kepada anggotanya, tapi tentu tidak dengan cara paksa dengan mewajibkannya dengan undang-undang. 

Pengalokasian secara wajib untuk pendanaan kegiatan Dekopin dari sumber APBN / APBD juga bukan saja bertentangan dengan konsep kemandirian koperasi, tapi ini tentu akan menjadi preseden buruk, sebab semua organisasi masyarakat akan bergantung pada sistem pendanaan pada sumber uang negara. 

Belajar dari berbagai keberhasilan organisasi gerakan koperasi dunia, ternyata justru yang terpenting adalah bagaimana membangun otonomi gerakan koperasi. Kalaupun mereka membentuk organisasi gerakannya itu bersifat alamiah yang ditumbuhkan dari bawah sebagai kebutuhan dan mandiri.

Sebut misalnya gerakan koperasi di Jepang, Amerika, Italy, yang ditopang oleh kekuatan organisasi-organisasi koperasi sektoralnya yang kuat, dan baru membentuk organisasi payung nasional mereka sendiri secara otonom dan mandiri.  

Intervensi

Dalam RUU ini begitu banyak pasal-pasal yang justru mendorong terjadinya intervensi terhadap koperasi dan berpotensi untuk kembali jadikan koperasi semata sebagai “alat pembangunan” ketimbang sebagai organisasi dan perusahaan yang otonom dan mandiri untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Misalnya potensi birokratisasi dalam proses pendirianya (pasal 11), mengintervensi masuk sampai soal perencanaan kerja koperasi (pasal 77, 78,79,80) sampai dengan alokasi hasil usaha koperasi (pasal 87) yang seharusnya menjadi urusan internal koperasi.  

Pengalaman terbaik di lapangan, koperasi itu berkembang karena justru bertumpu pada kemampuan mereka mengatur dirinya sendiri (self regulated organization).  Pemerintah itu cukup mengatur tiga hal penting, yaitu merekognisi nilai-nilai dan prinsip koperasi dan praktek tata kelola terbaik koperasi di lapangan, memberikan distingsi dibandingkan dengan usaha swasta yang mengejar keuntungan semata, dan memberikan perlindungan bagi upaya perusakan terhadap nilai dan prinsip koperasi serta kepentingan publik pada umumnya.  

Memasukkan pengaturan yang terlalu teknis ke dalam RUU ini terlihat hanya hanya akan posisikan undang-undang menjadi rompi pengaman bagi kepentingan elit yang ingin memanfaatkan koperasi untuk kepentingan “proyek” mereka. Selain akan berpotensi moral hazard dan menjadi birokrasi penghambat tumbuh dan berkembangnya koperasi secara alamiah.  

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidangnya di Afrika Selatan akhir tahun 2016 mengakui koperasi sebagai gerakan otonom untuk menolong diri sendiri melalui cara kerjasama diantara anggotanya itu sebagai warisan bukan benda (intangible herittage) dunia.  Sebelumnya juga Resolusi PBB No. 56/114 tahun 2001 dan juga dan juga Rekomendasi ILO (International Labour Organization) nomor 193 Tahun 2002 sangat jelas dan tegas mengatur agar koperasi itu diakui sebagai organisasi otonom dan pemerintah dalam perananya penting untuk mengaktifkan mekanisme keswadayaan koperasi, bukan justru mengintervensinya ke dalam urusan rumah tangga yang terlalu teknis.

Definisi koperasi menurut hasil Konggres gerakan koperasi dunia, ICA (International Co-operative Alliance) tahun 1995 di Manchester, Inggris, secara jelas dan tegas menyebut bahwa koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi sosial, ekonomi dan budaya mereka bersama melalui perusahaan yang mereka kelola dan kendalikan secara demokratis. 

Kita juga dapat belajar dari masa lalu, koperasi itu kehilangan kemandirian dan prakarsanya karena terlalu banyak diintervensi dan diberikan banyak fasilitas. Proyek pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) di masa Orde Baru ketika diberikan banyak fasilitas ternyata justru gagal.

Di masa lalu, Inpres No.74/1973 posisikan KUD sebagai koperasi pertanian multifungsi lalu diperkuat oleh Inpres No. 4 /1984 yang memiliki kedudukan tunggal sebagai koperasi di Desa dengan berbagai fasilitasnya. Tapi begitu reformasi dan semua fasilitas itu dicabut ternyata tidak memiliki kemampuan untuk merespon pasar dan apalagi sebagai organisasi mandiri yang berkelanjutan.  

Pengkerdilan

Sebagai upaya untuk merespon gejala perubahan ekonomi global juga RUU yang ada tidak menunjukkan respon yang memadai. Koperasi di berbagai belahan dunia telah menunjukkan efektifitasnya dalam berbagai sektor ekonomi. Koperasi ternyata menujukkan sebagai alternatif layanan yang terbaik, baik itu sektor ekonomi kovensional keseharian seperti keuangan, ritel, pertanian, peternakan, hingga layanan publik dan bahkan alternatif bisnis kekinian basis platform seperti misalnya koperasi Stocksy, Resonate dan lain sebagainya.  

Dalam RUU, koperasi hanya diakui sebagai badan hukum penerima penyisihan laba BUMN dan BUMD dan bukan dijadikan alternatif bagi badan hukum BUMN dan BUMD (Pasal 122).  RUU Perkoperasian yang ada hanya tempatkan koperasi sebagai lembaga yang inferior dengan diposisikan sebagai badan hukum kelas dua. Padahal, koperasi adalah merupakan alternatif badan hukum yang diakui oleh negara selain Perseroan, Yayasan maupun Perkumpulan

Praktik membuktikan, bahwa koperasi ternyata sukses menjadi badan hukum bagi penyelenggaraan layanan publik.

Sebut saja misalnya di Amerika Serikat yang banyak dituduh sebagai negara kapitalis. Disana, satu koperasi listrik yang bernama National Rural Electricity Co-operative (NRECA) yang menjadikan pelanggan sebagai pemilik perusahaan listrik mereka sendiri beroperasi di 46 negara bagian Amerika Serikat dan masif ada di desa-desa. Jaringan rumah sakit terbesar di kota Washington yaitu Group Health Co-operative (GHC) ternyata adalah juga koperasi milik warga kota mereka.

Upaya pengkerdilan ini juga terlihat dari legitimasi bagi kebijakan model paket input yang tempatkan posisi koperasi agar menjadi alternatif kelembangaan keuangan demokratis yang kuat dimiliki oleh pelanggan atau nasabahnya, tapi posisikan koperasi hanya sebagai penerima akses kredit dari  perbankan (Pasal 123).

Padahal, kelembagaan keuangan koperasi yang secara kuantitas maupun kualitas kalah jauh jika dibandingkan dengan perbankkan swasta dan milik negara karena mereka tidak dijamin melalui lembaga penjaminan, dieliminasi dari UU Bank Indonesia dan UU Perbankkan. Tidak pernah diberikan privelege kebijakan yang sama seperti kebijakan talangan (bailout) ketika hadapi krisis , tidak diberikan dana penempatan pemerintah, subsidi bunga bagi bank, dan lain sebagainya. 

Lembaga keuangan koperasi itu ketika di negara lain diberikan perlakuan sama dengan bank, mereka ternyata mampu berdiri kuat dan juga menjadi lembaga keuangan terbaik di negaranya seperti misalnya Koperasi Dejardin Group yang pernah jadi bank of The Year Canada, Bank Populaire di Perancis yang jadi bank of the year di Perancis, atau Nokyoh yang merupakan bank petani yang sangat kuat dimiliki petani di Jepang.    

 

Secara keseluruhan, RUU ini pada dasarnya kalau dibiarkan menjadi UU maka akan berpotensi membuat koperasi semakin kerdil dan terlempar dari lintas bisnis modern. Upaya untuk membangun demokrasi ekonomi dan atasi kesenjangan ekonomi tentu juga akan semakin jauh.  Ini tentu tidak bisa kita biarkan begitu saja.

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…