Menunggu Masa Depan KPK

Oleh: Muhammad Fauzan, Guru Besar Hukum Tata Negara FH Unsoed

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan salah satu lembaga negara independen yang lahir pada masa reformasi, yakni dengan diundangkannya UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tugas dan wewenang dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK bersifat independen dan bebas dari kekuasaan mana pun.

Perjalanan KPK sudah hampir 17 tahun dan banyak memperoleh apresiasi dari masyarakat. Di sisi lain, menjadi salah satu lembaga negara yang sangat dipercaya publik, goncangan pun ikut mewarnai perjalanan lembaga ini. Kasus 'Cicak vs Buaya' jilid 1 dan jilid II yang terjadi pada 2009 dan 2012, bahkan pada 2015 hampir terjadi lagi kasus 'Cicak vs Buaya' jilid III.

Bahkan, eksistensi KPK juga sudah beberapa kali percobaan untuk 'diperbaiki' melalui rencana revisi terhadap UU No 30 Tahun 2002. Rencana tersebut oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai upaya sistimetis memperlemah KPK. Di lain pihak ada sebagian masyarakat lain yang menilai revisi sebenarnya juga dalam rangka untuk memperkuat KPK pada masa yang akan datang.

Paling anyar, belakangan ini, beberapa anggota DPR, yakni Masinton Pasaribu, Risa Mariska dari Fraksi PDI Perjuangan, Taufiqulhadi (NasDem), Achmad Baidowi (PPP), Saiful Bahri Ruray (Partai Golkar), dan Ibnu Multazam (PKB), mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Usul tersebut kemudian disahkan menjadi RUU inisiatif DPR. Seperti biasanya usulan tersebut juga menimbulkan pro dan kontra.

Ada beberapa permasalahan dapat ditengahkan; pertama, apakah revisi UU KPK memang diperlukan? Kedua, apakah benar jika revisi UU KPK akan memperlemah KPK atau sebaliknya, memperkuat KPK pada masa yang akan datang?

Yang harus dilakukan para penolak maupun yang mendukung revisi UU KPK untuk secara objektif mengkaji secara mendalam atas RUU yang telah diajukan DPR. Secara konstitusional DPR punya kewenangan untuk mengajukan RUU hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Dalam kondisi normal, berdasarkan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa setiap RUU harus terlebih dahulu masuk Prolegnas yang disusun secara bersama antara presiden dan DPR.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 16 yang menentukan bahwa perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Prolegnas. Kemudian, Pasal 20 ayat (1) menentukan bahwa penyusunan Prolegnas dilaksanakan DPR dan pemerintah. Dengan demikian, kita tidak bisa menyalahkan DPR ketika melaksanakan kewenangannya untuk mengajukan RUU guna merevisi UU KPK.

Materi yang Dipersoalkan

Setidaknya, ada empat hal baru dalam RUU KPK yang menjadi 'sorotan' publik. Pertama, kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Kedua, pembentukan Dewan Pengawas KPK. Ketiga, kewenangan KPK mengeluarkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). Keempat, kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum.

'Kecurigaan' adanya agenda yang tersembunyi dengan diajukannya RUU KPK oleh DPR menjadi RUU inisiatif karena RUU KPK tersebut bukan merupakan dari 55 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2019, di

samping itu ada beberapa poin materi muatan RUU yang konon dapat memperlemah KPK pada masa yang akan datang, yakni rencana pembentukan Dewan Pengawas KPK. Begitukah?

Berdasarkan Pasal 37B RUU KPK meliputi; a. Mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; b. Memberikan izin ppenyadapan dan penyitaan; c. Menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan KPK; d. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK; e. Melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; f. Menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK dan/atau pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tampaknya yang banyak 'disorot' ialah tugas Dewan Pengawas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Tugas ini dianggap berpotensi mengancam independensi KPK, termasuk memberikan izin penyadapan dan penyitaan.

Terkait dengan keharusan adanya izin melakukan penyadapan sebenarnya tidak memiliki urgensitas karena ketentuan Pasal 12 A ayat (1) huruf a RUU KPK penyadapan bisa dilakukan jika terdapat 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup. Oleh karenanya, ketentuan Pasal 12 A ayat (1) huruf b tidak diperlukan, sepanjang memang telah terdapat 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup.

Terkait dengan tugas Badan Pengawas KPK di bidang penegakan kode etik penulis sependapat karena ada pemikiran bahwa keberadaan Dewan Pengawas KPK itu analog dengan keberadaan Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian sebagai lembaga pengawas eksternal dari sebuah lembaga. Dewan Pengawas KPK diharapkan tugasnya hanya berkaitan dengan penegakan kode etik dalam rangka menjaga muruah KPK.

Dalam draf RUU KPK juga ada ketentuan yang dibuat dalam rangka menjamin perlindungan HAM sehingga menurut penulis perlu memperoleh apresiasi hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 40 yang menentukan bahwa KPK berwenang mengeluarkan SP3 dalam perkara tipikor. Ketentuan tersebut sangat mungkin dilandasi beberapa kasus yang 'belum selesai' setelah sekian tahun tanpa kejelasan. Sementara itu, predikat sebagai tersangka sudah terlanjur ditetapkan KPK. Bahkan, ada seorang tersangka yang sampai meninggal dunia belum diproses dan diputus sejak ditetapkan sebagai tersangka.

Sebagaimana diketahui, bahwa pembentukan sebuah UU baru akan terjadi jika ada kesepakatan antara Presiden dan DPR melalui mekanisme yang telah diatur dalam UU No 12 Tahun 2011. Dengan demikian, sangat elegan dan merupakan win-win solution untuk menghadapi gegap gempitanya pro-kontra terhadap RUU KPK semunya kembali kepada aturan dasar dan mekanisme pembentukan perundang-undangan.

Akhirnya, kita semua yang peduli dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi ikut serta mengawasi dan mengikuti proses pembahasan RUU KPK sehingga kekhawatiran untuk memperlemah KPK melalui revisi UU KPK tidak akan terjadi. Para pemrakarsa revisi UU KPK juga punyai komitmen sama bahwa RUU KPK bukan dalam rangka memperlemah KPK, melainkan untuk memperkuat KPK. Akhirnya, marilah kita semua menunggu masa depan KPK melalui revisi UU KPK. (www.mediaindonesia.com)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…