Pengaruh Nilai Tukar ?

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, Msi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Pilpres 2019 dipastikan terjadi rematch Jokowi – Prabowo setelah deklarasi Kamis 9 Agustus 2018 sehingga ada duet Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno. Euforia pilpres ternyata justru dibayangi kondisi makro ekonomi yang tidak baik dan situasi yang cenderung memanas menjelang pilpres dan juga faktor era global ternyata berdampak terhadap laju inflasi sehingga Juli 2018 mencapai 0,28 persen. Hal ini secara tidak langsung memicu pertanyaan apakah inflasi Juli 2018 mengindikasikan sentimen positif terhadap pemulihan permintaan dan daya beli masyarakat atau justru dampak pelemahan rupiah yang kini mencapai Rp.14.400 dan diprediksi bisa tembus Rp.15.000 sampai akhir tahun menjelang pilpres 2019? Meski inflasi Juli 2018 masih terkendali tapi inflasi inti menjadi ancaman karena mencapai 0,41 persen dan periode Januari - Juli pengaruh inflasi inti sebesar 1,78 persen dan inflasi umum sebesar 2,18 persen. Fakta ini tentu menjadi tantangan duet Jokowi – Ma’ruf Amin dan Prabowo – Sandiaga Uno yang akan bertarung di pilpres 2019.

Jika dicermati periode Agustus 2017 justru terjadi deflasi 0,07 persen dan tentu menjadi tantangan bagi inflasi Agustus 2018. Argumen yang mendasari adalah tekanan terhadap nilai tukar yang terus merosot, sengketa dagang AS – Tiongkok yang berpengaruh bagi komponen produk impor untuk proses produksi dan juga faktor sosial politik menjelang pilpres yang akan rematch antara Jokowi – Prabowo. Faktor inflasi inti yang mencapai 0,41 persen adalah yang tertinggi sejak Januari 2018 sedangkan hal ini dipengaruhi oleh pertama: interaksi permintaan dan penawaran barang-jasa, kedua: lingkungan eksternal misalnya nilai tukar rupiah, harga komoditas internasional, inflasi pada mitra dagang dan ketiga: ekspektasi inflasi pedagang dan konsumen.

Perbaikan

Kalkulasi psikologis konsumtif bisa dibenarkan jika laju inflasi inti Juli 2018 tidak bisa terlepas dari perbaikan daya beli karena adanya pembayaran gaji ke-14 untuk PNS. Hal ini menjadi signal positif terhadap potensi daya beli terutama signifikansi terhadap laju penjualan ritel yang sebelumnya sempat meredup dengan dalih peralihan konsumsi dari model tradisional (offline) ke alternatif modern yang bersifat online. Implikasi transaksi online yang mendukung daya beli dan permintaan tersebut ternyata juga diimbangi oleh kenaikan harga tarif paket internet di 82 kota sehingga secara tidak langsung ini juga berpengaruh terhadap besaran inflasi inti pada Juli 2018. Artinya, mengendalikan inflasi menjadi tantangan bagi duet Jokowi – Ma’ruf Amin dan Prabowo – Sandiaga Uno.

Jika benar adanya bahwa laju inflasi Juli 2018 dipengaruhi perbaikan daya beli maka ini menjadi preseden yang baik ditengah iklim panas di tahun politik pasca pilkada serentak dan menjelang pilpres 2019. Meski demikian, hipotesa kedua bahwa laju inflasi Juli ini terkait dengan tekanan terhadap nilai tukar rupiah harus juga dipertimbangkan. Realitas nilai tukar rupiah pada 2 Januari 2018 yaitu Rp.13.542 dan turun pada 25 Januari 2018 menjadi Rp.13.290 sedangkan pada 1 Agustus 2018 sebesar Rp.14.442. Artinya, bukan tidak mungkin jika laju inflasi Juli 2018 dipengaruhi oleh efek berantai dari pelemahan rupiah. Jadi, efek depresiasi rupiah sekitar 0,7 persen per bulan atau 7,8 persen sejak Januari 2018 mulai memberikan pengaruh terhadap sejumlah komoditi barang, terutama yang bersifat impor dan tentu kekhawatiran terhadap daya saing produk akan menurun.

Sinergi dari imbas depresiasi rupiah maka beralasan jika inflasi Juni lalu dipicu bahan makanan 4,67 persen, terutama ikan segar dan daging ayam ras, sementara telur ayam ras dan cabai merah deflasi. Sebaliknya di Juli 2018 ternyata ditopang kelompok bahan makanan 0,86 persen, kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,45 persen, kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 0,16 persen, kelompok sandang 0,29 persen, kelompok kesehatan 0,27 persen dan kelompok pendidikan, rekreasi dan olah raga 0,83 persen. Inflasi juli 0,28 persen tidak bisa lepas dari pengaruh kenaikan harga telur ayam (14 persen), daging ayam ras (6,9 persen) dan cabai rawit (19 persen) sedangkan yang deflasi yaitu daging sapi 1,34 persen, bawang putih 4,7 persen dan cabai merah besar 6,6 persen. Faktor pemicu dari telor dan daging ayam terhadap laju inflasi Juli 2018 tidak bisa terlepas dari impor bahan pangan unggas yang masih impor yaitu bungkil kedelai.

Fakta lain yang tidak bisa diabaikan dari inflasi Juli 2018 adalah kenaikan harga BBM non-subsidi sebagai konsekuensi dari kenaikan harga minyak mentah dunia. Padahal, konsumsi BBM non-subsidi cenderung menjadi bagian dari biaya produksi karena tidak semua armada menggunakan solar dan premium yang masih disubsidi. Artinya, kondisi ini memberikan andil terhadap besaran inflasi inti dan juga inflasi Juli 2018. Yang juga harus menjadi perhatian yaitu pengaruh harga gandum terhadap semua produk olahan berbahan baku gandum karena Indonesia masih mengimpor gandum dan tekanan nilai tukar rupiah jelas berdampak terhadap harga impor gandum sehingga imbasnya tentu ke harga produk hasil olahan berbahan dasar gandum. Jadi logis jika sumbangan kelompok makanan masih relatif tinggi terhadap laju inflasi Juli 2018.

Ancaman

Fakta inflasi Juli 2018 bisa dicermati dalam dua aspek, pertama: dampak dari faktor perbaikan daya beli masyarakat akibat pembayaran gaji ke-13 bagi PNS dan mungkin sisa dana lebaran yang masih beredar, meski akhir Juli masyarakat juga disibukan oleh pembayaran uang sekolah. Artinya, faktor perputaran uang secara teoritis memang bisa menjadi argumen dibalik laju inflasi karena pengaruhnya terhadap keseimbangan antara permintaan dan penawaran barang -  jasa. Kedua: tekanan terhadap nilai tukar rupiah berpengaruh terhadap sejumlah bahan baku yang tergantung impor sehingga berdampak terhadap harga produk olahan yang masih mengacu impor. Semakin tinggi depresiasi maka tekanan terhadap rupiah semakin kuat dan tentu imbasnya adalah komponen dari produk yang bahan bakunya tergantung impor maka harganya semakin meninggi dan tentu imbasnya juga berpengaruh terhadap daya saing produk juga neraca perdagangan.

 Faktor iklim sospol menjelang pilpres pasca deklarasi duet Jokowi – Ma’ruf Amin dan Prabowo – Sandiaga Uno perlu diwaspadai karena imbasnya terhadap inflasi tahunan. Terkait ini, komitmen terhadap inflasi nasional dipatok 3,5 persen (plus minus 1 persen) dan pada 2020 dan 2021 sebesar 3 persen (plus minus 1 persen).

Perlu ekstra hati-hati di sisa waktu sampai akhir tahun agar inflasi tetap terkendali dan tidak memicu sentimen terhadap target pertumbuhan. Oleh karena itu, inflasi inti pada Juli 2018 harus dicermati agar tidak semakin liar memicu inflasi akhir tahun 2018 sehingga berpengaruh terhadap geliat sektor riil di pasar domestik. Argumen memanasnya iklim sospol pasca deklarasi tentu perlu dicermati agar pilpres tetap terkondisi aman dari aspek sosial ekonomi.

 

BERITA TERKAIT

Kenaikan Gaji Hakim, Langkah Nyata Pemerintah Perkuat Supremasi Hukum

  Oleh: Hasna Miftahul, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan komitmen serius dalam membenahi…

Ungkap Kasus Judi Daring, Selamatkan Perputaran Uang Capai Miliaran

    Oleh : Santi A.Y,  Mahasiswa Pascasarjana di Jakarta   Masyarakat dikejutkan dengan keberhasilan aparat keamanan, khususnya jajaran Kepolisian…

Apdes Menyokong Kemandirian Kesehatan Desa

    Oleh: Budi Wicaksono, Pengamat Kebijakan Publik     Pemerintah menunjukkan komitmen nyata dalam memperluas akses kesehatan yang terjangkau…

BERITA LAINNYA DI Opini

Kenaikan Gaji Hakim, Langkah Nyata Pemerintah Perkuat Supremasi Hukum

  Oleh: Hasna Miftahul, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan komitmen serius dalam membenahi…

Ungkap Kasus Judi Daring, Selamatkan Perputaran Uang Capai Miliaran

    Oleh : Santi A.Y,  Mahasiswa Pascasarjana di Jakarta   Masyarakat dikejutkan dengan keberhasilan aparat keamanan, khususnya jajaran Kepolisian…

Apdes Menyokong Kemandirian Kesehatan Desa

    Oleh: Budi Wicaksono, Pengamat Kebijakan Publik     Pemerintah menunjukkan komitmen nyata dalam memperluas akses kesehatan yang terjangkau…