Perlukah Gaduh Utang?

Belakangan ini banyak pihak “gaduh” melihat membengkaknya utang pemerintah Indonesia. Meski demikian, total utang Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun,  Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim posisinya sangat aman dan well manageable. Namun kalangan pengamat ekonomi tetap menyuarakan pemerintah tetap harus waspadai terhadap risiko yang dapat menghadang setiap saat di masa depan.

Utang memang belakangan menjadi alternatif bagi negara berkembang maupun negara maju untuk menutupi defisit anggaran negara. Selain itu, masalah nilai tukar mata uang juga ikut memengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tolok ukur untuk melihat perkembangan suatu negara. Selain pengaruh pergerakan nilai tukar, juga menjadi indikator kewaspadaan terhadap potensi naik dan turunnya utang luar negeri pemerintah merupakan dampak adanya selisih kurs.

Menurut data Bank Indonesia, hingga Februari 2018 utang negara mencapai US$357,5 miliar atau setara Rp4.919,2 triliun). Dari jumlah tersebut, total defisit APBN yang ditargetkan pada 2018 sebesar Rp325,9 triliun. Artinya, total utang Indonesia sebesar Rp4.919,2 triliun itu masih akan bertambah, karena itu adalah posisi Februari 2018. Dalam APBN 2018 pemerintah mencanangkan tambahan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp727,3 triliun.

Memang disayangkan produktivitas utang tersebut dinilai banyak kalangan masih sangat rendah, hal ini terbukti dari pertumbuhan ekonomi yang terlihat di level 5% dalam dua tahun terakhir. Dan perlu mewaspadai adalah, tren nilai tukar rupiah kian melemah terhadap dolar AS di kisaran Rp13.600-Rp 13.750 per US$.

Menariknya lagi, Ketua Umum PPP Muchammad Romahurmuziy (Rommy) mengatakan, di tahun politik ini, segala kebijakan pemerintah dipersoalkan, salah satunya utang pemerintah. Utang bukanlah hal yang dilarang selama untuk kegiatan yang produktif dan di-manage dengan baik."Tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak berutang, bahkan Amerika Serikat menjadi raksasa ekonomi dunia di bawah utang yang telah berjalan lebih dari 200 tahun," ujarnya di Semarang, Sabtu (14/4).  

Menurut UU No 13/2003 tentang Keuangan Negara, utang pemerintah memang dibatasi maksimal 60% terhadap produk domestik bruto (PDB). Saat ini total utang pemerintah per Februari 2018 berjumlah Rp4,034 triliun atau 29,2% terhadap PDB.

Nah, sebagai perbandingan, rasio utang Jepang mencapai 230% terhadap PDB. Tapi bunga surat utang Indonesia tidak bisa disamakan dengan Jepang. Bunga Indonesia mahal karena inflasi lebih tinggi yakni 3,6% di 2017, sementara Jepang sempat deflasi. "Jadi, karena utang pemerintah jauh di bawah batas maksimum, perdebatan soal utang RI tidak perlu dibuat gaduh," tegas Rommy.

Di sisi lain, kompleksitas utang dan risikonya memang selalu ada. Karena itu, wajar jika pemerintah perlu memberi perhatian khusus, terutama terkait pertumbuhan utang yang membengkak tersebut. Pasalnya, pertumbuhan utang rerata 14% per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi hanya 5%. Ini tentu saja menggambarkan kelesuan ekonomi, memang ada pergerakan ekonomi tapi sangat lamban. Sementara pergerakan utang begitu cepat.

Kemudian, total aset negara yang diklaim Menteri Keuangan, setelah mengalami revaluasi, tumbuh 239% menjadi Rp5.456,88 triliun pada saatnya bisa terkejar oleh total utang yang telah mencapai Rp4.919,2 triliun. Apalagi tambahan aset itu bukan dari hasil pembelian, pembuatan, atau produktivitas alat negara, melainkan hanya financial engineering saja. Sementara tambahan utang itu adalah nyata.

Faktor lain adalah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPR) Kemenkeu mencatat risiko tingkat bunga naik. Refixing interest rate risk naik menjadi 19% dari sebelumnya 18,7%. Lalu, debt maturity 1 tahun meningkat dari 8,8% menjadi 9,4%. Untuk debt maturity jangka 3 tahun naik dari 23,6%  menjadi 23,9%. Untuk jangka waktu 5 tahun naik dari 38,9% menjadi 39,2%. Kenaikan risiko ini terjadi seiring dengan kenaikan utang pemerintah.

Yang perlu diperhatikan lagi, risiko fluktuasi kurs. Sejak The Fed mengumumkan akan menaikkan Fed Fund Rate (FFR) sebanyak 4 kali sepanjang 2018, rupiah terus terdepresiasi ke posisi Rp13.760, melampaui target kurs dalam APBN 2018 sebesar Rp13.500. Hal ini akan menambah komponen utang luar negeri yang berdenominasi dolar AS. Itu artinya, rugi selisih kurs akan menambah beban utang Indonesia, apalagi pada Mei-Juni 2018 akan ada jadwal utang jatuh tempo maupun eksekusi kenaikan suku bunga The Fed, nilai tukar rupiah dipastikan bakal melemah lagi. Untuk itu, pemerintah mewaspadai kurs rupiah menjadi sangat penting terkait dengan total utang pemerintah.

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…