BI Jamin Penyaluran Kredit UMKM Tak Turun - Risiko Obligasi Rendah

 

 

 

NERACA

 

Batam - Bank Indonesia (BI) menjamin industri perbankan tidak akan menurunkan penyaluran kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) karena diberikan relaksasi penyaluran pembiayaan melalui obligasi yang risikonya lebih rendah. “Meskipun risiko pembiayaan melalui obligasi lebih rendah daripada kredit, keuntungan utama bank masih bersumber dari pendapatan bunga kredit, termasuk kredit UMKM," kata Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo seperti dikutip Antara, kemarin

Selain itu, diklaim Dody, bank juga sudah diwanti-wanti untuk memitigasi risiko kredit bermasalah dari penyaluran kredit tahun ini. Dengan demikian, bank seharusnya sudah memiliki strategi untuk meningkatkan penyaluran kredit. "Karena rohnya perbankan, saya tidak melihat pada suatu saat nanti akan beralih bank lebih baik membeli surat berharga dibanding menyalurkan kredit," ujar Dody di sela diskusi Pra-Rakorpusda BI di Batam.

Dody juga melihat pendapatan bunga dari kredit masih menggiurkan ketimbang bunga dari obligasi. Pendapatan bunga ini yang masih menjadi sumber keuntungan bank sehingga bank akan sulit meninggalkan intermediasi melalui kredit. "Apakah bank malas memberikan pinjaman, lebih baik membeli surat utang. Timbang bunganya, bunga kredit lebih besar daripada dia membeli surat utang," kata Dody yang juga baru disetujui DPR sebagai Deputi Gubernur BI.

Bank juga tidak bisa sembarangan jika ingin memanfaatkan relaksasi pembiayaan melalui obligasi. Pasalnya, pembiayaan obligasi yang dihitung sebagai kredit hanya untuk obligasi berperingkat layak investasi dan diterbitkan korporasi non-bank dan non-IKNB. "Surat berharga itu merupakan surat berharga yang rated, jadi yang punya rating dan kami akan juga mengatur bahwa SSB itu harus yang berkualitas baik," katanya.

Pada tanggal 16 Juli 2018, BI resmi menerapkan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) untuk mengganti ketentuan rasio pendanaan terhadap simpanan (Loan to Funding Ratio/LFR). RIM merupakan parameter baru kemampuan intermediasi perbankan. Perbedaan mendasar dari RIM dibanding LFR adalah perbankan dapat menyalurkan kredit atau pembiayaan dengan cara membeli obligasi korporasi, tidak hanya dengan menyalurkan pembiayaan kredit ke nasabah. Adapun rasio RIM masih sama dengan LFR, yakni 80 s.d. 92 persen. Jika perbankan memiliki RIM di bawah 80 persen atau di atas 92 persen, BI akan mengenakan sanksi berupa penambahan setoran giro.

Dalam berbagai kesempatan, BI menyebut dua faktor yang menyebabkan lemahnya pertumbuhan kredit. Pertama, sikap perbankan yang lebih selektif menyalurkan kredit di tengah tingginya rasio kredit seret. Rasionya sempat lama bertengger di kisaran 3% sebelum turun menjadi 2,59% pada Desember 2017. Namun, rasionya kembali merangkak naik menjadi 2,88% per Februari 2018. Faktor kedua, permintaan kredit yang masih rendah dari korporasi. Jika melihat kondisi itu, ketentuan RIM memang bisa dipandang sebagai solusi bagi perbankan dalam mengatasi gangguan penyaluran dana.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual pun menyambut positif ketentuan tersebut. Dampak ketentuan itu, permintaan obligasi dari perbankan bakal membesar. Alhasil, pendanaan korporasi lewat pasar modal berpotensi semakin berkembang. “Harapannya begitu,” kata David.

Adapun korporasi terpantau semakin gencar menerbitkan obligasi untuk mencari pendanaan selain dari kredit bank. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sepanjang 2017 lalu, total penerbitan obligasi mencapai Rp 150,2 triliun, naik 25,5% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 111,9 triliun. Sedangkan obligasi syariah (Sukuk) mencapai Rp 6,5 triliun atau naik 50% dari tahun sebelumnya 4,32 triliun.

Meski begitu, David menilai, ketentuan baru BI tersebut tidak akan serta merta membuat bank jadi malas menyalurkan kredit. “Bank lebih suka sebenarnya menyalurkan kredit dibanding obligasi, (karena) obligasi ini kan tidak ada klausul kolateral (jaminan) yang jelas, tergantung penerbit obligasi mau mengikat dengan kolateral apa atau tanpa kolateral,” kata dia.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, kebijakan ini mungkin bisa menjadi solusi jangka pendek di tengah perlambatan kondisi ekonomi dan meningkatnya risiko kredit seret. “Barangkali bagi bank lebih aman menempatkan di obligasi korporasi, sudah di-rating Pefindo, risiko sudah diukur. Kalau bank keluarkan kredit, harus analisa dulu,” ucapnya.

Namun, ia memberikan beberapa catatan. Pertama, ketentuan tersebut bisa menjadi disinsentif untuk penyaluran kredit. Dalam arti, bank lebih fokus membeli obligasi daripada menyalurkan kredit. Ia memahami, seiring meningkatnya permintaan obligasi, imbal hasil-nya (yield) semakin murah sehingga kurang menguntungkan bagi perbankan. “Pasti ada masa kejenuhan,” kata dia.

 

BERITA TERKAIT

HUT Ke 61, TASPEN Gelar Empat Kegiatan Sosial

HUT Ke 61, TASPEN Gelar Empat Kegiatan Sosial NERACA  Jakarta – PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) (TASPEN)…

Sektor Keuangan Siap Memitigasi Dampak Konflik Timur Tengah

    NERACA Jakarta – Rapat Dewan Komisioner Mingguan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 17 April 2024 menilai stabilitas sektor…

Rupiah Melemah, OJK Diminta Perhatikan Internal Bank

      NERACA Jakarta – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan memandang bahwa…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

HUT Ke 61, TASPEN Gelar Empat Kegiatan Sosial

HUT Ke 61, TASPEN Gelar Empat Kegiatan Sosial NERACA  Jakarta – PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) (TASPEN)…

Sektor Keuangan Siap Memitigasi Dampak Konflik Timur Tengah

    NERACA Jakarta – Rapat Dewan Komisioner Mingguan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 17 April 2024 menilai stabilitas sektor…

Rupiah Melemah, OJK Diminta Perhatikan Internal Bank

      NERACA Jakarta – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan memandang bahwa…