Waspadai Risiko Finansial

Imbauan Presiden Jokowi agar industri perbankan lebih ekspansif dalam menyalurkan kredit di tengah risiko kredit yang meningkat, tampaknya perlu disikapi secara oleh kalangan bankir.  Pasalnya, tren kredit bermasalah (non performing loan-NPL) mulai meningkat tahun ini.

Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia per September 2017, total kredit yang disalurkan industri perbankan nasional mencapai Rp4.580,40 triliun. Dari jumlah tersebut, kredit yang disalurkan bank-bank BUMN tercatat Rp1.853,36 triliun, sementara kredit bank swasta sebesar Rp2.727,04 triliun.

Dari data penyaluran tersebut, menurut Biro Riset Infobank, ada kredit Rp259,90 triliun harus direstrukturisasi karena masuk kategori kredit bermasalah (NPL), yang jumlahnya hampir separuh dari total kredit macet industri perbankan pada 1998 yaitu Rp650 triliun.

Dari nilai kredit yang direstrukturisasi Rp259,90 triliun tersebut, diantaranya 51% berasal dari bank BUMN yang mencapai Rp132,60 triliun. Rinciannya adalah, Bank Mandiri yang harus direstrukturisasi mencapai Rp49,93 triliun, BRI Rp41,37 triliun, BNI Rp28,54 triliun dan BTN Rp12,76 triliun. Itu sebabnya, besaran NPL ini merupakan “rekor” baru setelah krisis 1998, dimana kredit bermasalah bank-bank BUMN saat itu hampir mencapai Rp300 triliun.

Kita melihat kondisi tersebut hingga akhir 2017 tidak jauh berbeda, atau hanya meningkat kurang lebih 10%. Namun esensi masalahnya sama, yakni tumpukan kredit macet masih menjadi pekerjaan rumah industri perbankan. Artinya, risiko kredit macet di industri perbankan hingga hari ini cenderung terus meningkat, terutama saat rupiah terus tertekan.

Hanya masalahnya, beberapa indikasi bahwa risiko kredit masih tinggi dapat diamati dari lima fenomena yang menonjol belakangan ini. Pertama, kebijakan restrukturisasi yang semula satu pilar kembali menjadi tiga pilar, yang berarti risiko NPL meningkat.

Kedua, kebijakan one obligor yang terkait dengan bank-bank asing dan bank BUMN untuk melakukan merger ataupun akuisisi atau membentuk holding, belum terlaksana dengan mulus. Ini memberi indikasi pemilik tunggal atas beberapa bank masih menakar potensi kredit macet di bank-bank yang dimilikinya. Jika dipaksakan merger dalam kondisi risiko kredit masih tinggi, dikhawatirkan akan menularkan kredit macet di bank lain yang menjadi miliknya.

Ketiga, penyelesaian kredit macet dengan model Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sekarang kerap dijadikan model oleh para debitor nakal atau debitor yang tidak kooperatif untuk melunasi utangnya. Ini menandakan bahwa kredit macet terkadang tidak benar-benar macet, tapi lebih karena ulang debitor nakal untuk menyengajak kreditnya macet

Keempat, kondisi kredit komersial yang merosot tajam selama 2015-2017 belum pulih benar, sehingga tetap dalam bayang-bayang peningkatan risiko kredit. Kelima, fluktuasi harga emas dan minyak mentah dunia masih berlangsung, sehingga sangat berpengaruh terhadap naiknya risiko kredit bank-bank devisa.

Selain kondisi di bank-bank BUMN, salah satu bank swasta nasional juga mengalami peningkatan NPL  cukup memprihatinkan. Menurut laporan keuangan publikasi PT Bank Bukopin Tbk pada 31 Desember 2017, terlihat data rasio kredit bermasalah (NPL- gross) sebesar 8,54% atau melonjak dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya 3,77%

Sementara NPL net pada periode yang sama juga membengkak menjadi 6,37% dibandingkan 2016 sebesar 2,79%. Kenaikan NPL itu melampaui ketentuan batas minimum NPL net yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yaitu maksimal 5%.

Laporan keuangan Bukopin juga mengungkapkan penyaluran kredit perseroan secara individual (bank only) tercatat sebesar Rp67,58 triliun, hanya naik 3% dibandingkan posisi 2016 sebesar Rp65,59 triliun. Dengan total penyaluran kredit tersebut, NPL gross perseroan secara nominal naik dari Rp2,47 triliun menjadi Rp5,77 triliun. Sedangkan NPL net naik dari Rp1,83 triliun menjadi Rp4,18 triliun.

Akibat melonjaknya NPL gross maupun NPL net tersebut, Bukopin harus menyisihkan pencadangan sebesar Rp2,49 triliun. Cadangan itu tentu diambil dari rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio—CAR) Bukopin, sehingga membuat CAR bank itu turun dari 11,37% menjadi 10.51%. Rasio kecukupan modal tersebut juga berada di bawah rasio yang selama ini ditetapkan OJK minimal 11%.

Secara nominal, modal inti Bukopin tergerus dari Rp6,5 triliun menjadi Rp5,18 triliun. Sementara, total modal perseroan turun dari Rp9,2 triliun menjadi Rp7,94 triliun. Adapun kredit macet yang disalurkan pada pihak terkait tercatat sebesar Rp3,38 triliun. Meski demikian, Bukopin masih membukukan laba bersih pada sepanjang 2017 sebesar Rp112,37 miliar, atau turun dibanding posisi 2016 sebesar Rp248,95 miliar.

Kondisi yang dihadapi Bukopin tentu tidak menutup kemungkinan dapat terjadi di empat bank BUMN, bahkan mungkin melanda sejumlah beberapa bank umum swasta lainnya yang berdampak sistemik. Itu sebabnya OJK memberikan waktu kepada perbankan untuk menyelesaikan kredit bermasalah hingga kuartal I-2018. Karena bank sebagai motor pembangunan di negeri ini harusnya mampu mengejar pertumbuhan kinerja sesuai rencana bisnis bank (RBB)-nya. Semoga!

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…