PENGAMAT ENERGI MENILAI REVISI ATURAN ESDM - Berpotensi Hambat Industri Hilir Migas

Jakarta-Pengamat energi menilai, rencana pemerintah mengatur harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi berpotensi menghambat perkembangan industri hilir minyak dan gas bumi (Migas). "Kami khawatir industri hilir menjadi tidak berkembang," ujar Komaidi Notonegoro, pengamat energi di Jakarta, Selasa (10/4).

NERACA

Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute itu, pemerintah seharusnya tidak mencampuradukkan sektor yang menjadi kewenangan fiskal dengan sektor yang lazimnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Terlebih, saat ini, badan usaha niaga penyalur BBM tidak hanya Pertamina, tetapi dari beberapa perusahaan swasta seperti Shell, Total, dan Vivo.

Selama ini, kewenangan pemerintah seharusnya hanya mengatur harga BBM bersubsidi. Dengan memberlakukan kebijakan pengaturan harga BBM nonsubsidi, menurut Komaidi, telah terjadi inkonsistensi kebijakan.

Sebelumnya, pemerintah berencana merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM. Dalam revisi beleid tersebut, penetapan harga jual BBM nonsubsidi nantinya harus mendapatkan persetujuan pemerintah.

Jika pemerintah ingin tetap mengatur harga BBM nonsubsidi, konsekuensinya, pemerintah harus melakukan intervensi agar badan usaha tidak merugi. "Jika harga BBM nonsubsidi diatur, apabila perusahaan mengalami kerugian pemerintah harus intervensi. Jadi, harus satu paket," ujarnya seperti dikutip laman CNNIndonesia.com.

Meski Komaidi memahami maksud baik pemerintah dalam hal ini menjaga daya beli masyarakat. tujuan yang baik harus dilakukan dengan cara yang baik. Dia juga mempertanyakan keputusan pemerintah menambah penugasan penyaluran premium Pertamina dari hanya luar wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali) menjadi seluruh Indonesia. Langkah ini tidak sejalan dengan niat pemerintah untuk menerapkan standar emisi dari Euro 2 ke Euro 4.

"Awalnya kan sudah sepakat premium secara bertahap akan dihilangkan. Jadi (kebijakan penugasan penyaluran premium ke seluruh Indonesia) ini merupakan suatu kemunduran," tutur dia.

Komaidi menyadari kebijakan pemerintah akan disambut oleh konsumen. Namun, Komaidi mengingatkan jika pemerintah terus menerus tidak konsisten dalam menerbitkan kebijakan, lambat laut kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah bakal memudar.

Secara terpisah, Wamen ESDM Arcandra Tahar keberatan jika disebut pemerintah bakal mengatur harga BBM nonsubsidi. Pemerintah, menurut dia, hanya memberikan persetujuan atas usulan penetapan harga dari badan usaha. Namun, dia tak membantah harga usulan dari badan usaha tidak bisa berlaku jika tidak mendapat persetujuan pemerintah. "Harga bukan ditetapkan (pemerintah) tetapi mendapat persetujuan pemerintah kalau ada kenaikan," ujarnya.

Arcandra menekankan kebijakan pengaturan penetapan harga BBM nonsubsidi dilakukan untuk menjaga tingkat inflasi dan daya beli masyarakat. "Kami akan sosialisasikan ke badan usaha sebelum (revisi) Peraturan Menteri diundangkan," ujarnya.

Sebelumnya Pemerintah memutuskan penetapan harga jual eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi oleh badan usaha harus melalui persetujuannya. Hal tersebut tertuang dalam revisi Peraturan Menteri ESDM No 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM yang bakal diterbitkan. "Untuk JBU non-avtur dan non-industri, harga harus disetujui oleh pemerintah," ujar Arcandra, Senin (9/4).

Tadinya, sesuai pasal 4 Permen ESDM terkait, penetapan harga jual eceran jenis BBM beroktan 90 ke atas langsung dilakukan oleh badan usaha niaga, tanpa memerlukan persetujuan pemerintah. Adapun, ke-5 badan usaha niaga yang menyalurkan BBM, yakni PT Pertamina (Persero), PT AKR Corporindo Tbk, PT Vivo Energy Indonesia, PT Shell Indonesia, termasuk PT Total Oil Indonesia.

Arcadra mengungkapkan sesuai instruksi Presiden Jokowi, kenaikan harga BBM umum harus memperhatikan perkembangan inflasi ke depan. "Pemerintah sangat memperhatikan laju inflasi kalau terjadi kenaikan harga BBM jenis Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, dan sebagainya," ujarnya.

Perlu diketahui, bahwa sejak awal tahun, Pertamina telah beberapa kali mengerek harga jual BBM umum untuk menyesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia. Terakhir, pada 24 Maret 2018 lalu, perseroan menaikkan harga jual BBM beroktan 90 atau Pertalite sebesar Rp200 per liter. 

Kementerian ESDM juga akan mengubah batas keuntungan badan usaha penjualan Bahan Bakar Minyak atau BBM non subsidi, seperti Pertamax dan lain-lain. Hal ini dilakukan agar sejalan dengan kebijakan penetapan kenaikan harga yang harus mendapat persetujuan pemerintah.

‎Menurut Arcandra, pemerintah akan meniadakan batas minimal pengambilan keuntungan penjualan BBM non subsidi yang sebelumnya dibatasi sebesar 5%. Sedangkan untuk patokan maksimalnya tetap 10%. "Minimal 5% itu enggak ada lagi. Itu untuk jenis bahan bakar umum non avtur dan industri," ujarnya.

Terkait dengan penetapan kenaikan harga BBM non subsidi, Kementerian ESDM sedang membuat aturan untuk setiap kenaikan harga BBM non subsidi harus melalui persetujuan pemerintah. "Pokoknya mereka akan meminta persetujuan ke kita. Persetujuan itu bukan penetapan harga harus segini, dia ajuin ke kita," tutur dia.

Arcandra menuturkan, hal tersebut merupakan upaya pemerintah untuk membuat harga BBM stabil, sehingga berujung pada pengendalian inflasi. Pasalnya, salah satu pemicu terjadinya inflasi adalah kenaikan harga BBM non subsidi. "Nah ini pemerintah ingin agar inflasi terkendali. Untuk menstabilkan itu, salah satunya adalah menstabilkan harga BBM," ujarnya.

Kuota BBM Subsidi

Sementara itu, Badan Pengatur Hilir (BPH) Minyak dan Gas (Migas) mengusulkan kuota penugasan premium PT Pertamina (Persero) untuk wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali) sama dengan realisasi penjualan tahun lalu. Berdasarkan data BPH Migas, realisasi penjualan premium di Jamali pada 2017 mencapai 5,1 juta kiloliter (kl).

"Kalau mengacu penyaluran premium 2017, realisasi Pertamina di Jamali kan cuma 5,1 juta kl. Kuota minimal segitu," ujar Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa di Jakarta, awal pekan ini.

Dalam revisi aturan baru, pemerintah bakal menambah wilayah penugasan penyaluran premium dari hanya luar wilayah Jamali menjadi seluruh Indonesia.

Fanshurullah mengungkapkan penetapan perubahan kuota BBM penugasan harus melalui sidang komite. Penyelenggaraan sidang komite baru bisa dilakukan setelah revisi Perpres 191/2014 diundangkan. "Di dalam sidang komite kami akan rapat (dengan Pertamina). Kami akan memanggil Pertamina untuk memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dan kemampuan masyarakat," ujarnya.

Jika usulan BPH Migas disanggupi Pertamina, maka total penugasan premium perseroan tahun ini setidaknya mencapai 12,6 juta kl terdiri dari 7,5 juta kl penugasan premium di luar Jamali dan 5,1 juta kl di Jamali. Adapun, besaran kuota penugasan premium tahun lalu mencapai 12,5 juta kl.

Beberapa waktu lalu, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) mendorong pemerintah untuk tidak lagi memproduksi dan menjual bahan bakar minyak (BBM) yang tidak sesuai dengan standar ramah lingkungan. Saat ini beberapa negara lain sudah mengadopsi standar Euro 4.

Menurut Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin, seharusnya pemerintah sudah tidak lagi menjual BBM jenis Premium, Pertalite, Solar, Pertadex, dan Pertamax. Lima jenis BBM tersebut dinilainya tidak memenuhi spesifikasi BBM yang menjadi kebutuhan mesin kendaraan bermotor saat ini.

"Premium 88, Pertalite 90 adalah produk out of date, produk BBM sia-sia karena tidak memenuhi spesifikasi BBM yang menjadi kebutuhan kendaraan yang sudah Euro 2 sejak 2007, bahkan 2013 sepeda motor sudah mengadopsi teknologi Euro 3. Apalagi standar Euro 4 yang mulai diadopsi," ujarnya di Jakarta, pekan lalu.

Ahmad menyarankan kepada pemerintah untuk segera mengganti BBM jenis tersebut dengan Bensin RON 92 dan RON 95 serta Solar 51. Beberapa negara lain sudah mengadopsi hal tersebut, salah satunya adalah Malaysia.

"Demikian halnya dengan Malaysia, dia memperoleh harga Mean Oil Platts Singapore (MOPS) untuk bensin RON 95 yang memenuhi syarat untuk menggerakkan kendaraan berstandar Euro4 setara dengan Rp 7.140. Kemudian Solar 51 setara dengan Rp 7.047," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…