Dinamika Pilkada 2018 Semakin Memanas

 

Oleh : Airlangga, CEO Strategic Assessment

Dua bulan memasuki tahap kampanye pada Pilkada serentak 2018, persoalan daftar pemilih masih menjadi permasalahan yang hingga kini belum terselesaikan, termasuk di dalamnya perekaman kartu identitas elektronik. Persoalan tersebut tampaknya terjadi karena kurang update nya data penduduk, misalnya pemilih yang sudah meninggal dunia, tapi belum dicoret oleh petugas pemutakhiran data pemilih. Tingkat profesional yang tinggi tentunya dibutuhkan bagi penyelenggara Pilkada di daerah guna tercipta data pemilih yang valid agar persoalan tersebut tidak menjadi hambatan yang berarti bagi pentahapan Pilkada 2018 selanjutnya.

Penyiapan daftar pemilih merupakan hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan Pilkada, karena daftar pemilih rawan dimanipulasi untuk kemenangan Pilkada baik oleh Paslon dan pendukungnya maupun oleh penyelenggara Pilkada. Ketidakvalidan DPT (Daftar Pemilih Tetap) berpotensi menimbulkan konflik, gugatan hukum dan bahkan rendahnya kualitas hasil Pilkada terkait banyaknya kepentingan berbagai pihak. Yang lebih memprihatinkan adanya penemuan oleh Panwaslu di beberapa daerah jumlah DPS (Daftar Pemilih Sementara) melebihi jumlah warga desanya. Hal ini memungkinkan adanya upaya pengelembungan daftar pemilih untuk diarahkan memilih Paslon (pasangan calon, red) tertentu ataupun hanya kesalahan teknis penyelenggara Pilkada dan kemungkinan Disdukcapil setempat kurang konsisten mencatat data penduduknya. Oleh karena itu, tidak menimbulkan kegaduhan dalam tahapan berikutnya. Untuk mengantisipasi kesalahan DPT maka KPU diharapkan melakukan sosialisasi dan Bimtek DPS perbaikan secara optimal.

Di sisi lain, perekaman KTP-el masih menjadi kendala dalam penetapan daftar pemilih Pilkada mengingat belum tuntasnya perekaman KTP-el di seluruh Indonesia.  Wilayah Papua merupakan daerah yang paling rendah tingkat perekaman KTP-el, terkait berbagai kendala  teknis dan sosial budaya. Masalah perekaman KTP-el tersebut akan mengganggu dalam pelaksanaan pemilihan serta dapat memicu konflik antara pemilih dan penyelenggara.

Sementara itu, perusakan Alat Peraga Kampanye (APK) Paslon merupakan bentuk kasus tindak pidana Pemilu (Tipilu), dan jika tidak segera ditindaklanjuti oleh Panwaslu ataupun Gakumdu serta Adhyaksa Command Center dikhawatirkan menimbulkan keresahan dan kecurigaan antar pendukung Paslon yang dapat memicu permusuhan dan aksi anarkis. 

Sementara itu, berbagai pelanggaran masih ditemukan di beberapa daerah di antaranya terkait kasus hukum yang menimpa calon kepala daerah, pembagian uang yang dianggap sebagai money politics, penggunaan fasilitas negara dalam kampanye dialogis, maupun penyelenggara Pilkada yang ikut serta menjadi partisipan salah satu pasangan calon tertentu. Sejumlah pelanggaran tersebut perlu diupayakan penyelesaiannya, terutama oleh pihak pengawas dan aparat penegak hukum terpadu agar tercipta pelaksanaan Pilkada yang bersih, kredibel, dan bermartabat sebagai edukasi politik bagi masyarakat.

Di sisi lain, terkait dengan masalah banyaknya gugatan kepada KPU oleh para Paslon ke PT TUN, perlu disikapi secara cermat oleh KPU, sehingga jika diyakini pihak KPU yang benar, maka upaya hukum untuk mengajukan kasasi ke MA perlu dilakukan, demi keadilan dalam penyelenggaraan Pilkada.

Beberapa Paslon kepala daerah hingga kini terus aktif melakukan sosialisasi visi dan misi guna menggalang dukungan masyarakat. Kegiatan tersebut sejalan dengan tahapan Pilkada serentak 2018 yang tengah memasuki masa kampanye untuk memperebutkan suara masyarakat dengan berlomba-lomba meningkatkan strateginya untuk menyejahterakan masyarakat dan membangun daerahnya masing-masing. Pelaksanaan kegiatan politik pada tahap kampanye tentunya didukung oleh beberapa partai politik pendukung masing-masing Paslon dengan mengoptimalkan mesin partai agar dapat berjalan maksimal dalam menarik simpati masyarakat guna mendulang suara sebanyak-banyaknya.

Para Paslon kepala daerah terus aktif melakukan kampanye melalui berbagai kegiatan dan strateginya masing-masing. Kunjungan ke daerah-daerah atau roadshow masih dinilai efektif untuk menarik dukungan, namun memerlukan waktu dan energi yang cukup mengingat luasnya daerah. Dalam kampanyenya secara umum diwarnai dengan menyampaikan visi dan misinya serta janji-janji politik jika dirinya terpilih sebagai kepala daerah.

Selain itu, sosialisasi program masing-masing Paslon juga dikemas dengan berbagai kegiatan yang dapat bersentuhan langsung dengan tataran grassroots, misalnya pelaksanaan bakti sosial dengan memanfaatkan pemeriksaan kesehatan maupun kegiatan lain yang dinilai lebih efisien dan lebih tepat sasaran.

Sementara itu, adanya Paslon yang melakukan kampanye negatif cenderung mencela buruknya kinerja gubernur lama, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan ketersinggungan yang  memicu permusuhan antar Paslon maupun pendukungnya. Semestinya para Paslon melalukan kampanye secara santun dan damai serta tidak provokatif, sehingga masyarakat secara sadar terketuk hatinya untuk mendukungnya.

Para pendukung Paslon cenderung memanfaatkan kegiatan sosial untuk melakukan kampanye, seperti halnya kegiatan bakti sosial dimanfaatkan untuk mencari dukungan dari beberapa pendukung Paslon dalam Pilgub Jawa Barat. Begitu pula terlihat adanya Ormas ataupun organisasi lainnya yang cenderung digunakan untuk kepanjangan tangan Paslon dengan melakukan kegiatan sosial maupun kemanusiaan,  namun kegiatan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan politik. Hal tersebut menunjukkan adanya bentuk kampanye terselubung yang dilakukan oleh para pendukung Paslon, sehingga Panwaslu perlu lebih cermat dan tegas dalam melakukan pengawasan kampanye.

Para pendukung Paslon melakukan berbagai kegiatan untuk mengarahkan dukungan masyarakat ke Paslon tertentu seperti agar masyarakat memilih pemimpin seiman.  Begitu pula, penyelenggaraan Kongres Umat Islam Sumut (KUISU) di Medan yang dihadiri tokoh muslim nasional cenderung bernuansa politis terkait Pilkada di Sumatera Utara. Hal ini terlihat semakin kentalnya politik identitas yang muncul menjelang Pilkada, sehingga dikhawatirkan memicu konflik antar umat dengan latar belakang dukungan politik yang berbeda.

Pada pelaksanaan Pilkada serentak 2018 ini, tidak sedikit mendapat tanggapan dari beberapa kalangan, terutama akademisi yang menilai bahwa Pilkada dianggap sebagai bentuk demokratisasi yang kaya akan identitas daerah yang tengah melaksanakannya, namun Pilkada juga dinilai miskin akan gagasan, terutama ide-ide strategis untuk menyejahterakan masyarakat dan membangun daerahnya masing-masing. Fenomena politik tersebut akan membuat para pemilih akan mengalami polarisasi identitas, seperti kesukuan atau keagamaan yang sebenarnya dapat membahayakan demokrasi itu sendiri. Kegiatan yang nyata-nyata beririsan dengan konsep ini adalah gencarnya gerakan beberapa kelompok masyarakat yang terus memanfaatkan kegiatan ibadah, seperti Gerakan Indonesia Sholat Subuh Berjamaah.

Sentuhan-sentuhan agama menurut beberapa kalangan dikhawatirkan menjadi batu sandungan pelaksanaan dan martabat demokrasi, contohnya adalah pada pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu yang sarat dengan kepentingan yang dikemas dengan politik identitas yang menyangkut suku, agama, ras, dan antar golongan. Bahkan, hingga saat ini imbas dari politik identitas pada Pilkada DKI masih terasa, terutama polarisasi masyarakat yang terkesan terus mengerucut kepentingannya, terutama menjelang Pemilu legislatif dan Pilpres 2019 mendatang.

Persoalan lain adalah masih ditemukannya ketidaknetralan aparatur sipil negara yang secara kasat mata ikut berpartisipasi dan mendukung salah satu Paslon tertentu. Kondisi tersebut tentu saja menjadi pelajaran buruk bagi masyarakat yang terus mengedepankan slogan jujur dan berkeadilan. Di samping itu, ketidaknetralan ASN apabila tidak ditangani secara maksimal dikhawatirkan menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk menirunya. Oleh karena itu, sanksi yang tegas dan berkeadilan perlu dilakukan demi terciptanya demokratisasi yang bermartabat sesuai dengan UU ASN dan UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Sementara itu, maraknya penyebaran konten-konten provokatif di Medsos oleh para pendukung Paslon Pilkada di berbagai daerah juga berpotensi menimbulkan ketersinggungan dan permusuhan yang memicu konflik antar pendukung, sehingga Panwaslu dan pihak Kemenkominfo perlu meningkatkan pengawasan terkait penyebaran konten-konten provokatif tersebut.

 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…