Ketahanan Pangan Lebih Dari Ketersediaan dan Stabilitas Pasokan

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengingatkan fokus kebijakan terkait pasokan pangan nasional dinilai ketinggalan zaman karena ketahanan pangan saat ini lebih dari ketersediaan domestik dan stabilitas pasokan pangan. "Sejak pertengahan 1990-an, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB sudah menambahkan akses individu atau keterjangkauan makanan dan preferensi makanan individu, serta pemanfaatan keamanan pangan dan manfaat gizi untuk mencapai yang disebut ketahanan pangan," kata Anggota Dewan Pembina CIPS Arianto A Patunru, seperti dikutip Antara, kemarin.

Menurut dia, berbagai dimensi tersebut mencerminkan sisi permintaan keamanan pangan yang kerap diabaikan pemerintah dalam upaya menjamin keamanan pangan. Ia berpendapat bahwa konsepsi keamanan pangan tersebut menunjukkan bahwa solusi yang lebih efektif untuk masalah ini adalah meningkatkan persaingan di pasar pangan domestik. Persaingan yang dimaksud adalah mengarah pada kemajuan teknologi, peningkatan kualitas makanan dan penurunan harga.

"Persaingan di pasar pangan domestik dan peningkatan ketersediaan pangan membuka peluang terciptanya pasar dan juga impor yang lebih murah. Para elite politik di Indonesia sebagian besar mengabaikan pentingnya impor untuk mencapai ketahanan pangan," katanya. Hal tersebut, lanjutnya, karena mereka memiliki pemahaman yang salah kalau impor adalah penyebab tidak tercapainya ketahanan pangan, sehingga sejumlah undang-undang bahkan menetapkan impor hanya diperbolehkan ketika suplai domestik tidak cukup.

Arianto menambahkan, tidak ada pemerintahan yang berhasil merencanakan produksi dan konsumsi secara akurat untuk seluruh negeri, apalagi sebuah negara dengan populasi yang sangat besar seperti Indonesia. Selain itu, ujar dia, data pangan menjadi salah satu hal yang sering dipermasalahkan, seperti data total luas panen sawah antara Kementerian Pertanian berbeda dengan data BPS.

Kemudian, lanjutnya, data mengenai jumlah impor garam industri yang diperlukan juga berbeda antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Perindustrian. Beberapa lembaga juga memiliki data konsumsi beras per kapita yang berbeda. Dengan ketidaksesuaian data ini, koordinasi pusat pasokan makanan tidak mungkin dilakukan. "Ketika harga pangan di tingkat domestik melambung, pemerintah akhirnya mengizinkan impor bahan pangan. Namun para importir harus melalui proses perizinan yang rumit," ucapnya.

 

 

BERITA TERKAIT

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab  NERACA Probolinggo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Perhatikan Batasan dalam Berkonten di Media Sosial

  NERACA Jember - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkomitmen meningkatkan literasi digital masyarakat menuju Indonesia #MakinCakapDigital2024. Dalam rangka…

Infobrand.id Gelar Indonesia Digital Popular Brand Award untuk ke 32 Kalinya

Infobrand Gelar Indonesia Digital Popular Brand Award untuk ke 32 Kalinya NERACA Jakarta – Di tengah persaingan yang semakin sengit,…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab  NERACA Probolinggo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Perhatikan Batasan dalam Berkonten di Media Sosial

  NERACA Jember - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkomitmen meningkatkan literasi digital masyarakat menuju Indonesia #MakinCakapDigital2024. Dalam rangka…

Infobrand.id Gelar Indonesia Digital Popular Brand Award untuk ke 32 Kalinya

Infobrand Gelar Indonesia Digital Popular Brand Award untuk ke 32 Kalinya NERACA Jakarta – Di tengah persaingan yang semakin sengit,…