Akibat Pabrik di Dalam Negeri Tutup - Impor Plastik dan Produk Berbahan Baku Plastik Melonjak Tajam

NERACA

Jakarta – Nilai impor plastik dan barang dari plastik pada Januari 2011 mencapai US$ 480,1 juta, atau mengalami kenaikan sebesar 48,49% dibandingkan Januari 2010. Kenaikan impor disebabkan tidak beroperasinya PT Polytama Propindo.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai impor plastik dan barang dari plastik pada Januari 2010 sebesar US$323,3 juta. Sedangkan nilai impor pada Desember 2010 sebanyak US$ 476,1 juta.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (INAPlas) Fajar AD Budiyono mengatakan, pabrik polypropilena (PP) milik Polytama telah berhenti beroperasi sejak Agustus 2010. Sehingga pasokan PP dari dalam negeri mengalami penurunan. Sementara produksi PP oleh Tripolita, hanya sebesar 20 ribu - 33 ribu ton perbulan, padahal kebutuhan nasional sebesar 960.000 ton per tahun atau 80.000 ton per bulan.

“Lonjakan impor ini dipastikan karena tambahan impor yang diperlukan untuk mengisi kebutuhan yang selama ini dipasok oleh Polytama sekitar 15.000—20.000 ton per bulan. Ini jelas merupakan kerugian devisa bagi negara dan ini juga memperburuk kondisi industri kecil,” jelasnya.

Terhentinya operasi Polytama akibat distopnya pasokan propilena dari PT Pertamina lantaran masalah hutang piutang yang belum tuntas. Namun Fajar mengungkap bahwa masalah ini sudah selesai secara business to business dan tinggal menyisakan masalah administrasi.

“Secara B to B sudah selesai. Sekarang tinggal harus mengurus beberapa dokumennya saja. Dalam kondisi ini, seharusnya Pertamina bisa mengalah dengan memasok kembali bahan baku ke Polytama toh sudah ada jaminan kepastian pembayaran utangnya,” katanya.

Fajar menyebut, kalangan industri berharap pasokan kembali normal pada bulan ini, dan jika hingga awal bulan belum terselesaikan, maka asosiasi akan meminta campur tangan pemerintah untuk melakukan intervensi.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Industri Kemasan Fleksibel Indonesia (Rotokemas) Felix S Hamidjaja. Menurutnya penurunan pasokan membuat impor mengalami lonjakan.

“Produsen bahan baku plastik terbesar di dalam negeri yakni PT Tri Polyta Indonesia Tbk dan PT Polytama Propindo berhenti berproduksi sejak Agustus lalu. Ditambah lagi, ada sekitar 1-2 pabrik di wilayah Asia yang juga berhenti berproduksi,” terangnya.

Sementara itu, merger yang dilakukan PT Chandra Asri dan Tri Polita, imbuhnya, belum dapat memenuhi pasokan bahan baku plastik secara maksimal. Namun jika PT Chandra Asri Petrokimian (PT CAP perusahaan asil merger PT Chandra Asri dengan Tri Polyta) dapat meningkatkan kapasitas produksi hingga 2-3 kali lipat maka kebutuhan dalam negeri akan terpenuhi.

Menurutnya akibat kurangnya pasokan bahan baku, pengiriman barang kemasan plastik menjadi tersendat. Ditambah lagi adanya Bea Masuk terhadap bahan baku plastik. Terutama untuk kemasan produk biskuit dan permen. Namun, sambung dia, hal itu belum banyak mempengaruhi penjualan kemasan plastik.

Akibat bahan baku yang diimpor dan adanya BM, lanjutnya, produsen mulai menaikan harga sebesar 4%. Hal ini berpengaruh terhadap kinerja perusahaan yang mengalami penurunan.

“Harga naik membuat penjualan menurun. Kita belum pernah membahas ini dengan pemerintah, karena industri hilir tidak pernah didengar. Pemerintah suka menunda. Koordinasi antara industri hulu dan hilir plastik juga tidak baik. Belum ada titik temu. Industri kami selalu terdzholimi,” tegas Felix.

Impor Kendaraan Meningkat.

Sementara itu, data BPS juga memperlihatkan, impor kendaraan bermotor dan komponennya mengalami kenaikan pada Januari 2011 menjadi US$ 485,1 juta dari US$ 482,4 pada Desember 2010. Sedangkan impor, pada Januari 2010 adalah US$ 344,2 juta.

Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongky D Sugiarto mengatakan, peningkatan impor untuk kendaraan bermotor dan bagiannya merupakan hal yang wajar. Pasalnya, hal itu tidak mempengaruhi tingkat penjualan.

Menurut Jongky, tidak semua kendaraan bermotor dan bagiannya, baik dalam kondisi utuh atau completely built-up (CBU) maupun terurai alias completely knocked down (CKD), tidak bisa diproduksi di dalam negeri.

“Bahkan seperti Toyota di Jepang juga melakukan impor dari Perancis dan Italia. Kalau di Indonesia, misalnya kita impor mobil kelas premium seperti Lexus. Tidak mungkin tidak impor. Semua CBU dan CKD pasti tidak semuanya bisa diproduksi di dalam negeri, karena faktor teknologi dan ekonomi,” jelas Jongky.

BERITA TERKAIT

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

BERITA LAINNYA DI Industri

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…