Dilema Bankir Soal Kredit

Himbauan Presiden Jokowi yang mengajak industri perbankan agar lebih peduli melakukan ekspansi kredit lebih agresif, tentunya kita sudah bisa menebak arahnya untuk menggenjot pertumbuhan kredit infrastruktur. Sementara di sisi lain, justru industri perbankan saat ini menghadapi risiko kredit yang meningkat, sehingga yang diperlukan mengerem laju pertumbuhan kredit.

Bankir menghadapi dilemma. Apakah menuruti keinginan Presiden Jokowi agar laju pertumbuhan ekonomi lebih tinggi atau justru mengabaikan anjuran Presiden, untuk fokus berbenah  menyelesaikan portofolio kredit macet sudah semakin membengkak?

Sekilas ajakan Presiden ini ada benarnya, karena sejak 2014 pertumbuhan ekonomi stagnasi di kisaran 5%, bahkan pada 2015 sempat merosot di posisi 4,88%. Pada 2017 pertumbuhan ekonomi hanya bergeming di posisi 5,07%. Pendek kata, siapapun presidennya mendambakan pertumbuhan ekonomi di bawah kepemimpinannya bisa digenjot lebih tinggi.

Beberapa waktu lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pernah membuat simulasi stress test saat perbankan nasional terhadap krisis, terutama jika rupiah disimulasikan mencapai level Rp15.000 per US$. Hasilnya,  ternyata diperoleh sekitar 21 bank akan masuk dalam kluster bermasalah dan bahkan lima bank diantaranya layak ditutup. Untung saja kurs rupiah saat ini masih bertengger di kisaran Rp13.300-Rp 13.600 per US$ sehingga kondisi likuiditas perbankan masih cukup kondusif dana aman.

Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia per September 2017, total kredit yang disalurkan industri perbankan nasional sebesar Rp4.580,40 triliun. Dari jumlah tersebut, kredit yang disalurkan bank-bank BUMN mencapai Rp1.853,36 triliun, sementara kredit bank swasta tercatat sebesar Rp2.727,04 triliun.

Dari kredit yang disalurkan tersebut ternyata, menurut Biro Riset Infobank, ada sebesar Rp259,90 triliun harus direstrukturisasi karena masuk kategori kredit bermasalah (non performing loan—NPL). Jumlah itu hampir separuh dari jumlah kredit macet industri perbankan pada 1998 sebesar Rp650 triliun. Dari jumlah kredit yang direstrukturisasi sebesar Rp259,90 triliun tersebut, 51%-nya berasal dari bank BUMN yang jumlahnya mencapai Rp132,60 triliun.

Rinciannya, kredit bermasalah Bank Mandiri yang harus direstrukturisasi mencapai Rp49,93 triliun, BRI Rp41,37 triliun, BNI Rp28,54 triliun dan BTN Rp12,76 triliun. Itu sebabnya, ini adalah rekor baru setelah krisis 1998, dimana kredit bermasalah bank-bank BUMN hampir mencapai Rp300 triliun saat itu.

Kondisi tersebut hingga akhir 2017 tidak jauh bergeser atau hanya meningkat kurang lebih 10%. Namun esensi masalahnya sama, yakni tumpukan kredit macet masih menjadi pekerjaan rumah industri perbankan.

Itu artinya risiko kredit macet di industri perbankan hingga hari ini terus meningkat, terutama saat rupiah terus tertekan. Walaupun hari ini rupiah mulai stabil di kisaran Rp13.769, namun posisi itu sudah sangat undervalued jika dibandingkan target rupiah dalam APBN 2018 di level Rp13.400.

Masalahnya, beberapa indikasi bahwa risiko kredit masih tinggi dapat diamati dari lima fenomena yang menonjol belakangan ini. Pertama, kebijakan restrukturisasi yang semula 1 pilar kembali ke 3 pilar, itu artinya risiko kredit bermasalah meningkat.

Kedua, kebijakan one obligor yang terkait dengan bank-bank asing dan bank BUMN untuk melakukan merger ataupun akuisisi atau membentuk holding, belum terlaksana dengan mulus. Ini memberi indikasi pemilik tunggal atas beberapa bank masih menakar potensi kredit macet di bank-bank yang dimilikinya. Jika dipaksakan merger dalam kondisi risiko kredit masih tinggi, dikhawatirkan akan menularkan kredit macet di bank lain yang menjadi miliknya.

Ketiga, penyelesaian kredit macet dengan model Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sekarang kerap dijadikan model oleh para debitor nakal atau debitor yang tidak kooperatif untuk melunasi utangnya. Ini menandakan bahwa kredit macet terkadang tidak benar-benar macet, tapi lebih karena ulang debitor nakal untuk menyengajak kreditnya macet.

Untuk itu, kebijakan ekspansi kredit secara agresif dalam situasi risiko NPL relatif besar tidaklah semudah membalik tangan seperti musim Pilkada. Malah bisa terjadi di bulan pertama kredit dikucurkan, langsung macet. Sangat riskan tentu buat bankir.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…