Perlukah Kredit Pendidikan?

Ketika Presiden Jokowi mengusulkan agar perbankan mengucurkan dana kredit pendidikan baru-baru ini, banyak pihak termasuk kalangan perbankan merasa tertegun sejenak. Pasalnya, kondisi perbankan di dalam negeri saatnya ini menghadapi tantangan tidak ringan seperti biaya dana (cost of fund) yang masih besar, beban kredit macet (non performing loan-NPL) yang relatif masih tinggi serta ancaman lembaga Fintech (financial technology) yang marak belakangan ini.  

Presiden membandingkan dengan kondisi perbankan di Amerika mengeluarkan jumlah kredit pendidikan lebih besar dari total pinjaman bagi kartu kredit. Lantas Jokowi meminta perbankan Indonesia bisa mencontohnya guna memperbaiki taraf pendidikan di dalam negeri.

Namun patut disadari, ide Jokowi soal kredit pendidikan tersebut bukan tanpa risiko. Di Amerika Serikat saja, program student loan ini membuat para sarjana harus menanggung utang dan tidak sedikit yang gagal melunasinya. Menurut The Wall Street Journal (16/2) yang mengutip studi yang dirilis Brookings Institute, menemukan bahwa mereka yang telah lulus sejak 2010 sebagian besar gagal melunasi utang pinjaman mereka selama empat tahun. Persoalan tersebut akhirnya menjadi sorotan bank sentral AS (The Fed).

Gubernur The Fed Jerome Powell seperti dikutip CNBC mengatakan, fasilitas student loan di AS bisa berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi. Hal ini bahkan menjadi pembahasan utama Kongres AS yang coba menemukan penyelesaiannya. Powell menyoroti kenyataan masih ada orang-orang yang belum melunasi tagihan mereka sehingga mempengaruhi stabilitas ekonomi orang bersangkutan.

Kita harus mencatat bahwa setiap ide bagus bisa saja menghasilkan dampak sampingan yang negatif. Bayangkan, kalau kredit bank diberikan atas dasar demokratis, semua orang termasuk mahasiswa punya hak untuk ngutang dan harus diberi utang. Padahal belum punya pekerjaan, penghasilan, dan aset apapun, dipastikan fasilitas kredit akan lenyap tak berbekas.

Tidak hanya itu. Menristek Dikti M Nasir mengakui soal risiko seperti itu. Dia menceritakan pengalaman program pemberian kredit yang sama pada 1985. Saat itu, rata-rata penerima Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) sebagian besar tidak mampu memenuhi kewajibannya alias gagal bayar (default).  

“Tapi apa yang terjadi pada kasus periode saya, itu rata-rata pada tidak membayar semua. Nanti ijazahnya ditahan, tapi ternyata mereka tidak butuh ijazahnya, tapi hanya butuh fotokopi ijazah yang dilegalisir,” ujar Nasir usai rapat terbatas mengenai Peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia dengan Presiden Jokowi seperti dikutip Antara.

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jimmy Ph Paat juga meragukan tujuan mulia dari gagasan Jokowi itu. Dia menduga dasar pemikiran Jokowi itu seolah mereka yang ingin masuk ke perguruan tinggi berasal dari kelas menengah yang tersentuh akses perbankan dan mampu meminjam uang dalam bentuk kredit pendidikan.

“Asumsinya kalau orang-orang yang dipinjamkan, nanti kalau udah kerja duitnya gede sehingga bisa mengembalikan. Nah, kalau itu asumsinya berarti ini kelirukan,” kata Jimmy seperti dikutip laman Tirto.id belum lama ini.  

Artinya, para mahasiswa yang sudah lulus belum tentu mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi. Andaikan saja bagi yang baru lulus S-1 menerima penghasilannya sekitar Rp3-5 juta per bulan, toh akan menjadi beban bagi mereka karena harus melunasi utang di kampus tempat mereka belajar.

Jika melihat UU No. 12/2012 Tentang Pendidikan Tinggi disebutkan, pemerintah pusat dan daerah, serta perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini diatur dalam Pasal 76 ayat (1). Kemudian pada ayat (2) pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan beasiswa bagi mahasiswa berprestasi, membebaskan biaya pendidikan, serta pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus atau telah memperoleh pekerjaan.  

Menurut hemat kami, niat baik student loan atau apapun namanya kredit termasuk upaya pengentasan UMKM tetap harus memperhatikan kriteria obyektif. Ini supaya tidak menghasikan kredit macet yang pada akhirnya dapat membangkrutkan lembaga keuangan, seperti kasus Freddie Mac dan Fennie Mae di AS. Dengan demikian, pemerintah tetap berhati-hati menyalurkan fasilitas kredit seperti ini agar perbankan domestik tetap sehat dan menjadi motor pembangunan di negeri ini.  

BERITA TERKAIT

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…